Selasa, 10 Juli 2018

Pusing Mikir Susu

Doktrinasi yang tidak diimbangi akal sehat itu berbahaya,
karena membuat akal berkabut, merusak kewarasan berpikir,
dan membutakan mata.
@noffret


Susu jadi topik hangat, akhir-akhir ini, setelah terungkap bahwa susu kental manis—yang banyak beredar di pasaran—ternyata bukan susu. BPOM mengungkap bahwa produk yang disebut susu kental manis sebenarnya tidak memiliki kandungan susu, atau dengan kata lain tidak bisa disebut susu. BPOM juga mengeluarkan kebijakan baru terkait pemasaran susu kental manis, meliputi kemasan sampai periklanannya.

Tentu saja itu langkah bagus yang layak diapresiasi, agar masyarakat tidak terus terbuai oleh “khayalan atau angan-angan kosong” terkait susu yang ternyata bukan susu. Cuma, yang membuat saya tidak habis pikir, kenapa persoalan ini baru terungkap dan baru dinyatakan sekarang?

Aneka produk yang disebut susu kental manis telah ada sejak bertahun-tahun lalu, bahkan sejak saya masih kecil. Artinya, sudah puluhan tahun. Selama puluhan tahun, ada jutaan orang yang mengonsumsi, berkeyakinan bahwa mereka mengonsumsi susu, dan ternyata tertipu. Saya tahu betul soal itu, karena... saya tidak doyan susu.

Ada cukup banyak makanan/minuman di dunia ini, yang saya tidak doyan, dan tidak pernah saya konsumsi. Susu termasuk di antaranya. Jadi, jika sewaktu-waktu saya dihadapkan minuman susu atau teh, saya akan pilih teh. Sebegitu tidak doyan pada susu, hingga saya menjauhi minuman apa pun yang di dalamnya terkandung susu. Misalnya kopi susu, es susu, atau minuman ala STMJ. Susu yang saya maksud di sini susu asli, yaitu susu sapi.

Keluarga maupun teman-teman saya tahu, saya tidak doyan susu. Meski begitu, saya suka makan roti dengan tambahan “susu kental manis cokelat”—kalian pasti paham yang saya maksud. Dalam keseharian, saya kadang menikmati irisan roti tawar yang diberi susu cokelat kental tersebut, karena rasanya enak dan cukup bisa bikin kenyang.

Kadang, ada teman melihat saya menikmati roti semacam itu, dan bertanya, “Kamu tidak doyan susu, tapi kok makan roti pakai susu?”

Saya menjawab, “Ini bukan susu, ini cuma cokelat cair.”

Teman-teman mengira saya bercanda. Kadang saya berusaha meyakinkan mereka bahwa yang disebut “susu kental manis”, yang saya pakai untuk makan roti, bukan susu. Tapi mereka tidak percaya. Keluarga saya juga tidak percaya, ketika saya mencoba menjelaskan pada mereka bahwa itu bukan susu.

Sebenarnya, dari dulu saya sudah tahu bahwa “susu kental manis” itu bukan susu. Tapi tidak ada yang percaya, bahkan orang-orang terdekat saya. Umpama dulu saya menuliskan hal itu di blog, saya pun yakin kalian tidak akan percaya!

Sekarang, saat catatan ini diunggah ke blog, ada banyak teman saya di dunia nyata yang ikut membaca, dan mereka pasti ingat bahwa saya sudah pernah mengatakan kepada mereka, bahwa yang mereka sebut susu itu sebenarnya bukan susu. Dan saya mengatakan hal itu bukan kemarin, tapi bertahun-tahun lalu!

Dan, seperti yang disebut tadi, mereka tidak percaya!

Kini, ketika BPOM—yang dianggap lembaga kredibel—mengeluarkan fatwa bahwa susu kental manis bukanlah susu, terus terang saya ingin tertawa. Dikandani awit mbiyen, kok ora percoyo!

Terus terang, saya tidak terlalu peduli dengan “urusan susu yang ternyata bukan susu”. Karena, seperti yang disebut tadi, saya tidak doyan susu, dan tidak pernah mengonsumsi susu. Jadi, berita itu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi saya. Sementara untuk “susu kental manis”—yang belakangan disebut bukan susu—dari dulu saya sudah tahu. Jadi, sekali lagi, urusan itu tidak punya dampak apa pun bagi saya. Toh saya mengonsumsi produk itu dengan kesadaran penuh bahwa itu bukan susu.

Yang membuat saya berpikir terkait hal ini adalah... betapa kebohongan yang diulang terus menerus bisa diyakini sebagai kebenaran, termasuk “kebohongan” soal susu yang sebenarnya bukan susu. Pernahkah kita memikirkan hal itu?

Ada ribuan—oh, well, jutaan—orang yang percaya mentah-mentah bahwa susu kental manis adalah susu, dan mereka memegang kepercayaan itu sedemikian teguh. Mereka membeli produk itu untuk dikonsumsi sendiri, atau diberikan pada anak-anak, dengan keyakinan penuh bahwa itu susu. Mereka percaya itu susu, dan mereka percaya susu baik untuk kesehatan. Kenapa? Karena mereka terus dibombardir doktrin yang mengatakan bahwa itu susu!

Pagi hari, saat mata baru melek, mereka menonton televisi, dan muncul iklan “susu”—awalilah hari dengan segelas susu. Oh, well, kedengarannya indah.

Siang hari, sambil leyeh-leyeh, mereka kembali menonton televisi, dan lagi-lagi muncul iklan “susu”—selalu penuhi kebutuhan nutrisimu. Oh, well, kebutuhan nutrisimu.

Sore hari, televisi kembali menemani waktu istirahat sepulang kerja, dan lagi-lagi muncul iklan “susu”—jangan lupa minum susu biar tulang tidak keropos. Oh, well, kedengarannya penting.

Malam hari, saat keluarga berkumpul menyembah televisi, iklan “susu” pun muncul berkali-kali, kali ini memperlihatkan seorang anak yang tampak sehat meminum segelas “susu” dengan lahap. Dan para orang tua pun mengingatkan anak-anak mereka untuk tidak lupa minum susu sebelum tidur.

Dengan doktrin yang terus memborbardir kehidupan dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, bagaimana mereka tidak percaya?

Kebohongan yang diulang dan terus diulang akan dipercaya sebagai kebenaran. Joseph Goebbels, pakar propaganda NAZI, sangat tahu hal itu. Karenanya, ketika dia memulai program propaganda, hal pertama yang dia siapkan adalah TOA. Goebbels tahu, yang penting bukan benar atau tidak benar, tapi pengulangan. Sesuatu yang tak masuk akal sekali pun akan terdengar benar, jika didoktrinkan berulang-ulang.

Dan doktrinasi/propaganda ala Goebbels terus hidup, dari zaman ke zaman, hingga ke zaman kita. Kenapa? Karena teknik itu memang terbukti berhasil.

Kenyataannya, sebagian besar kita memang lebih mudah percaya doktrinasi dan propaganda, daripada meluangkan waktu untuk memeriksa apa yang kita percaya. Kita adalah bangsat-bangsat pemalas! Sebegitu pemalas, hingga kita enggan untuk menengok dan memeriksa, apakah yang kita percaya memang benar... ataukah hanya kita anggap kebenaran karena didoktrinkan sebagai kebenaran.

Seperti susu yang ternyata bukan susu. Sesuatu yang bukan susu bisa dipercaya jutaan orang sebagai susu... kenapa? Jelas bukan karena susu! Tetapi karena kita didoktrin untuk percaya bahwa itu susu! Betapa hebatnya propaganda, dan betapa brengseknya kesadaran kita.

Persoalan susu mungkin sepele, karena tidak menyangkut “harga diri” orang per orang. Ketika orang-orang mulai sadar bahwa yang mereka yakini sebagai susu ternyata bukan susu, mereka dengan mudah menyalahkan produsen, misal, “Iklannya nggak bener!” atau “Pembohongan publik!”

Kita merasa tertipu akibat propaganda mereka, dan kita bisa dengan mudah mengakui bahwa selama ini telah tertipu. Tapi bagaimana jika kita menjadi korban penipuan, tapi tidak bisa mengakui karena terkait harga diri?

Oh, well, ada jutaan orang yang tertipu oleh sesuatu, tapi mereka tidak bisa mengakui apalagi mengatakannya terang-terangan, karena berkaitan dengan harga diri mereka. Dalam contoh yang mudah, penipuan itu berbunyi, “Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki.”

Itu serupa propaganda ala Goebbels, yang terus menerus disuarakan, didoktrinkan, digembar-gemborkan. Realitasnya? Oh,well, saksikan sekelilingmu. Berapa banyak orang bercerai, berapa banyak keluarga berantakan, berapa banyak anak telantar, berapa banyak pasangan terlilit utang, berapa banyak rumah tangga hancur, berapa banyak korban broken home.

Tapi persis seperti Goebbels, para pengusung propaganda itu tidak malu untuk terus gembar-gembor. Dan persis seperti korban-korban di zaman NAZI, sebagian kita masih termakan propaganda itu, karena terus menerus didoktrinkan.

Sekarang, umpamakan saja kau termakan propaganda itu, dan menikah, dengan keyakinan bahwa kau akan bahagia dan lancar rezeki. Ketika kemudian kau mendapati realitas bahwa pernikahan tidak seindah yang dijanjikan—karena nyatanya hidupmu malah keblangsak—apakah kau punya keberanian untuk mengakui terang-terangan?  

Jawabannya jelas, tidak!

Kenapa? Karena itu terkait harga dirimu. Kau tidak akan bisa mengaku terang-terangan bahwa kau menyesal dan merasa tertipu setelah menikah, karena itu sama artinya melukai egomu sendiri, sekaligus menyakiti perasaan pasanganmu. Bagaimana mungkin kau akan mengakui terang-terangan bahwa kau menyesal dan merasa tertipu, sementara kau masih ada dalam ikatan penipuan itu?

Terdengar pahit? Oh, hell, kebenaran memang pahit, sialan! Siapa yang mengatakan bahwa kebenaran terasa manis? Kalau terasa manis, sejak dulu kita sudah akrab dan dekat kebenaran! Faktanya, kita asing dengan kebenaran. Karena pahit, karena tidak enak, karena itu menyakiti ego kita. Karena kita—keparat-keparat pemalas ini—lebih suka menerima “kebenaran” daripada kebenaran. Persis seperti kita yang mudah menerima “susu” hanya karena itu disebut susu.

Yang paling ironis dan paling mengerikan dari semua ini adalah... bagaimana kalau susu yang benar-benar susu pun sebenarnya tidak benar? Ini seperti kesalahan yang diduplikasi sebagai kesalahan, lalu diklaim sebagai kebenaran.

Ada buku bagus berjudul “Unlimited Power”, yang ditulis Anthony Robbins. Buku itu merupakan satu di antara banyak buku lain yang secara rinci dan gamblang menjelaskan bahwa susu—yang benar-benar susu—sebenarnya bukan sesuatu yang layak kita konsumsi. Bukannya menyehatkan sebagaimana yang kita percaya selama ini, susu—yang dihasilkan dari sapi atau hewan lain—sebenarnya justru merusak kesehatan peminumnya.

Terdengar mengejutkan?

Yang asing dari kenyataan, kebenaran memang mengejutkan.

 
;