Anak-anak lahir tanpa pilihan, tumbuh besar
tanpa pegangan, menikah tanpa kesadaran,
lalu punya anak-anak tanpa pengetahuan. Mengerikan!
—@noffret
tanpa pegangan, menikah tanpa kesadaran,
lalu punya anak-anak tanpa pengetahuan. Mengerikan!
—@noffret
Seorang bocah lelaki diikat tali pada lehernya, dan si ayah menariknya seperti seekor anjing. Sambil berteriak marah, sang ayah menarik dan menyentak tali di tangannya, dan bocah laki-laki yang terikat tali itu pun tersandung-sandung. Bocah itu terlihat merangkak di atas trotoar, seiring tarikan tali di lehernya, terjatuh dan tersandung-sandung sepanjang sekitar 100 meter.
Adegan itu tidak terjadi dalam film atau sinetron, tetapi benar-benar terjadi di dunia nyata, tepatnya di provinsi Zhejiang, Cina. Adegan itu, tanpa sepengetahuan si pelaku, direkam oleh seseorang, kemudian diunggah ke internet. Dalam video itu sempat terdengar umpatan si ayah, “Aku akan membesarkanmu seperti seekor anjing!”
Warga yang menyaksikan video itu pun marah, dan mengutuk perilaku si ayah yang dinilai di luar batas kewajaran. Ketika diwawancarai media, ayah yang kejam itu menyatakan bahwa yang dilakukannya (mengikat leher anaknya kemudian menariknya sepanjang trotoar) adalah bentuk hukuman, karena si anak bermain-main di luar rumah ketika seharusnya belajar.
Setengah tahun sebelum menyaksikan video tersebut, saya sempat menyaksikan video lain yang isinya tak jauh beda—kemarahan seorang ayah pada anaknya. Video itu sempat viral di Twitter, dan banyak orang yang marah saat menyaksikannya.
Berdasarkan adegan video yang saya saksikan, seorang lelaki memasuki sebuah warnet dengan langkah bergegas, melongok-longok ke setiap bilik warnet, sampai kemudian menemukan yang ia cari. Dengan ekspresi marah, tiba-tiba lelaki itu menarik seseorang dari dalam bilik warnet, lalu menyeretnya sepanjang lorong warnet. Yang diseret adalah anaknya—seorang bocah laki-laki.
Adegan itu pun menarik perhatian orang-orang di warnet. Melihat amarah si bapak, si penjaga warnet bahkan tidak berani menagih biaya internet si bocah. Jadi, bocah itu terus diseret sampai ke luar warnet, kemudian dimarahi dan ditempelengi di tempat parkir depan warnet. Si bapak seperti tak peduli orang-orang menyaksikannya. Dia terus memarahi dan menempelengi anaknya.
Di luar dua video tersebut, di dunia nyata saya telah menyaksikan begitu banyak perilaku kekerasan yang dilakukan orangtua kepada anak-anaknya. Sebagian dari yang pernah saya saksikan di dunia nyata bahkan jauh lebih sadis dan mengerikan daripada dua adegan video tadi.
Saya pernah melihat orangtua yang menenggelamkan kepala anaknya ke dalam bak air, sampai si anak nyaris kehabisan napas. Saya juga pernah menyaksikan orangtua yang menyabetkan ikat pinggang pada anaknya, hingga kulit si anak terluka dan berdarah. Ada pula orangtua yang sengaja menyimpan rotan dengan tujuan untuk “mendidik” anak-anaknya. Jika si anak dinilai nakal, si orangtua akan mengambil “senjata andalan” itu, kemudian menyabet-nyabetkannya ke tubuh si anak hingga sekujur tubuhnya memerah. Daftarnya masih panjang.
Mungkin seorang anak sewaktu-waktu berbuat kenakalan yang membuat orangtuanya marah. Tapi haruskah kenakalan seorang anak dihukum dengan cara-cara mengerikan seperti itu? Saya tidak tahu. Saya belum pernah punya anak, sehingga tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orangtua yang punya anak. Tetapi saya pernah menjadi anak-anak, sehingga tahu bagaimana rasanya menjadi anak.
....
....
Yang ingin saya paparkan dalam tulisan ini sebenarnya adalah konsekuensi serta tanggung jawab orangtua, khususnya dalam mendidik dan membesarkan anak.
Hidup adalah soal pilihan. Ada yang memilih melajang, ada yang memilih menikah. Ada yang memilih punya anak, ada pula yang memilih tidak punya anak. Masing-masing pilihan itu mengandung konsekuensi dan tanggung jawab, dan setiap kita tidak bisa lari dari tanggung jawab atas konsekuensi pilihan yang kita ambil.
Orang yang memilih melajang, misalnya, mungkin harus menghadapi konsekuensi hidup sendirian. Tetapi dia bertanggung jawab pada diri sendiri. Sebaliknya, orang yang memilih menikah mungkin menjalani kehidupan yang lebih menyenangkan, karena memiliki pasangan. Tetapi tanggung jawab seorang yang menikah tentu tidak sebebas seorang lajang. Seorang suami atau seorang istri tidak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri, tetapi juga pada pasangannya.
Begitu pula soal punya anak atau tidak. Pasangan yang memilih dan memutuskan untuk punya anak tentu harus siap menanggung konsekuensi dan tanggung jawab atas pilihannya. Konsekuensi dan tanggung jawab itu tidak hanya kemampuan melahirkan secara layak, tetapi juga mendidik dan membesarkan secara layak pula. Orang tidak bisa seenaknya melahirkan anak-anak dan kemudian menghadapinya tanpa tanggung jawab. Tidak ada anak yang meminta dilahirkan. Untuk setiap anak yang dilahirkan ke dunia, ada tanggung jawab orangtuanya.
Tanggung jawab orangtua kepada anak bahkan tidak hanya urusan mendidik dan membesarkan, tetapi juga menyiapkan mental agar benar-benar mampu menghadapi anak. Fakta banyaknya anak yang menghadapi kekerasan orangtuanya—sebagaimana yang saya contohkan di awal catatan ini—adalah bukti betapa orangtua belum mampu menyiapkan mentalnya sendiri dalam menghadapi dan membesarkan anak. Mereka masih berpikir egosentris, bahwa anak harus menjadi cermin dirinya, tanpa memahami bahwa dia dan anaknya adalah dua makhluk berbeda.
Mungkin anak kita nakal dan susah diatur. Tapi anak siapa yang tidak...? Rata-rata anak memang nakal dan susah diatur, karena memang begitulah anak-anak. Tinggal bagaimana mental si orangtua dalam menghadapi si anak, itulah yang membedakan. Orangtua yang kurang menyiapkan mentalnya mungkin menghadapi si anak dengan kekerasan, sementara orangtua yang telah menyiapkan mentalnya dapat menghadapi si anak dengan lebih baik.
Karenanya, kewajiban pertama untuk menjadi orangtua bukan apa pun, melainkan menyiapkan mental untuk menjadi orangtua. Sebelum memutuskan untuk punya anak, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku memang benar-benar telah siap untuk memiliki anak?” Karena punya anak tidak bisa disamakan dengan punya baju atau barang lain yang bisa dibuang atau diperlakukan seenaknya jika dianggap menjengkelkan.
Setelah mempertanyakan mental diri sendiri, tanyakan pula, “Apakah aku telah mempersiapkan kehidupan yang layak untuk calon anakku?” Untuk menjawab pertanyaan itu, kita butuh dua hal, yaitu pengetahuan yang cukup dalam hal mendidik dan membesarkan anak, serta persiapan untuk memberikan penghidupan yang layak. Tanpa adanya dua hal itu, memiliki anak bisa menjadi spekulasi yang mengerikan. Tidak hanya mengerikan bagi si orangtua, tapi juga mengerikan bagi si anak.
Seperti ilustrasi kekerasan orangtua terhadap anak yang saya contohkan di atas. Kenyataan semacam itu terjadi, sering kali, karena kurang atau tidak adanya persiapan yang matang si orangtua sebelum memutuskan punya anak.
Hidup masih pas-pasan, misalnya, tapi memutuskan punya banyak anak. Apa akibatnya? Beban jelas bertumpuk. Ketika anak-anak lahir dan tumbuh, yang terbebani oleh keadaan itu bukan hanya si orangtua, tetapi juga anak-anak. Diakui atau tidak, ketiadaan uang sering kali menjadi bahan bakar pertengkaran suami istri. Kondisi hidup yang menekan sering kali menjadikan sumbu emosi sangat pendek, sehingga pasangan suami istri mudah meledak. Ketika pertengkaran suami istri terjadi, siapakah yang menjadi korban pertama? Anak-anak!
Ada jutaan orang di dunia ini yang trauma dan memandang buruk pernikahan, karena memori dan bawah sadar mereka masih terus merekam pertengkaran-pertengkaran orangtuanya. Kalau kau punya teman psikolog, tanyakan hal itu, dan mereka akan memberikan jawaban yang sama. Memori paling jernih adalah memori anak-anak. Kita melakukan apa pun, mereka akan terus ingat. Jika mereka tidak ingat, memori itu akan tersimpan di bawah sadar mereka, dan kemudian mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya.
Karenanya, setelah mempertanyakan mental diri sendiri, tanyakan apakah kita juga telah mempersiapkan kehidupan yang layak untuk anak-anak yang akan dimiliki. Selain pengetahuan yang cukup dalam hal mendidik dan membesarkan, orangtua juga wajib memberikan penghidupan yang layak untuk anak, meski ukuran “kelayakan” bisa sangat relatif. Cobalah pikirkan fakta berikut ini:
Jika kehidupan kita sudah cukup nyaman atau mapan, dengan ekonomi yang cukup untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, kenakalan anak-anak tidak akan terlalu menyita pikiran kita. Kenapa? Karena masalah kita hanya anak-anak. Kita tidak punya masalah dengan uang atau kebutuhan sehari-hari. Hasilnya, ketika anak-anak kadang nakal atau melakukan hal-hal yang menjengkelkan, kita tidak terlalu emosi. Kita bisa menghadapi anak-anak dengan akal sehat dan pikiran jernih. Menghadapi kenakalan mereka, kita bisa menanganinya dengan lembut dan penuh kasih.
Sebaliknya, jika kehidupan sangat pas-pasan, hingga kita sering kesulitan memperoleh kebutuhan sehari-hari, maka kenakalan anak-anak akan menjadi masalah besar. Kenapa? Karena masalah kita sudah terlalu banyak! Akibatnya, ketika anak-anak kadang nakal atau melakukan hal-hal menjengkelkan, kita pun langsung emosi. Karena emosi mendidih, kita pun menghadapi serta memperlakukan mereka dengan tidak layak. Dari situlah sering kali munculnya kekerasan dan penganiayaan terhadap anak-anak.
Orangtua A dan orangtua B bisa jadi melakukan tindakan yang jauh berbeda ketika menghadapi anak dengan kenakalan yang sama. Apa yang membedakan? Latar belakang mereka! Orangtua yang telah menyiapkan mental dalam menghadapi anak-anak sering kali dapat memperlakukan anak-anak secara lebih baik, daripada orangtua yang tidak menyiapkan mental dalam menghadapi anak-anak. Yang menjadi crusial point di sini bukan perilaku si anak, melainkan kesiapan orangtua!
Setiap orangtua mengharapkan anak yang baik—itu benar. Yang kadang mereka lupa, anak yang baik membutuhkan didikan serta cara membesarkan yang juga baik.