Senin, 01 Juni 2015

Menyanyi dengan Tajwid

Ada dua lelaki di Malaysia, yang suaranya mampu
meruntuhkan hati para bidadari hingga mereka turun dari langit.
Namanya Iwan dan Amir.
@noffret


Iwan adalah penyanyi dan pencipta lagu terkenal Malaysia, sedangkan Amir adalah vokalis Uk’s (baca: Yukis), group musik papan atas Malaysia. Mereka adalah dua dari sedikit penyanyi Malaysia yang bisa menyanyi dengan sangat indah dan tartil, hingga saya sering berpikir mereka menyanyi dengan tajwid.

Perkenalan saya dengan lagu-lagu Malaysia diawali ketika saya bekerja di pabrik ini, seusai lulus SMA. Di pabrik batik itu terdapat sebuah radio-tape besar, dan para pekerja di sana sering menyetel stasiun radio yang memutar lagu-lagu Malaysia. Jadi, setiap hari, telinga saya pun “didoktrin” untuk menyimak dan menikmati lagu-lagu Malaysia. Dari situlah kemudian saya mengenal Iwan, Amir Uk’s, Zamani Slam, Amy Search, hingga Saleem Iklim.

Bertahun kemudian, saat tidak lagi bekerja di pabrik tersebut, saya masih suka mendengarkan lagu-lagu Malaysia, meski tidak semuanya. Saya bahkan sempat berlangganan majalah musik terbitan Malaysia, bernama URTV (baca: Yu Ar Tivi), demi bisa terus mengikuti perkembangan dunia musik negeri jiran. Dari URTV saya semakin tahu seluk beluk dunia hiburan—khususnya musik—Malaysia, siapa saja yang terlibat, dan nama-nama penyanyi Malaysia yang saya hafal semakin banyak.

Sebagaimana Indonesia, Malaysia juga memiliki banyak penyanyi dan musisi hebat. Meski di Malaysia juga ada penyanyi buruk serta musik yang buruk, sebagaimana di Indonesia. Tetapi, menyangkut musik, ada satu hal yang sangat saya kagumi dari Malaysia. Mereka sangat menghargai suara si penyanyi, dan tidak mempedulikan penampilan fisik. Dengan kata lain, orang jelek kayak apa pun bisa menjadi penyanyi di Malaysia, asal memiliki suara yang bagus.

Hal itu berbeda dengan Indonesia. Diakui atau tidak, pentas musik di Indonesia kadang kurang berlaku adil. Ada orang-orang yang memiliki suara sangat indah, tetapi sulit masuk dunia musik Indonesia, karena kebetulan memiliki tampilan fisik kurang menarik. Sebaliknya, ada orang-orang yang suaranya pas-pasan tapi bisa menjadi penyanyi di Indonesia, karena kebetulan memiliki tampilan fisik menawan.

Kenyataan yang terjadi di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakatnya. Orang Indonesia, tampaknya, lebih bisa mengapresiasi musik jika si penyanyi memiliki tampilan menawan. Akibatnya, produser musik di Indonesia pun memperhitungkan tampilan fisik, agar penampilan si penyanyi bisa “dijual”. Jadi, kalau kita mendapati para penyanyi Indonesia rata-rata ganteng dan cantik, latar belakang itulah penyebabnya.

Sekali lagi, hal itu berbeda dengan Malaysia. Di dunia musik, masyarakat Malaysia memahami bahwa yang paling penting untuk diapresiasi adalah suara dan kualitas musiknya, bukan semata penampilan fisik si penyanyi. Tak peduli seperti apa pun, orang bisa mudah menembus pentas musik di Malaysia jika memang memiliki suara yang hebat, dan masyarakat Malaysia pun tetap mengapresiasi mereka.

Memang, di Malaysia ada penyanyi-penyanyi yang memiliki suara bagus dan tampilan menawan—misalnya Siti Nurhaliza—tetapi lebih banyak yang tidak. Amir Uk’s, misalnya, tidak bisa dibilang ganteng. Sementara Iwan memiliki penampilan yang lebih mirip preman daripada penyanyi. Tetapi, jika dua lelaki itu mulai menyanyi, semesta akan hening, burung-burung akan berhenti berkicau, langit seperti bergetar, dan para bidadari turun dari tangga pelangi.

Selama bertahun-tahun, saya tidak pernah bosan mendengarkan Amir atau Iwan menyanyi. Mereka tidak hanya memiliki suara yang sangat bagus, tetapi juga cara menyanyi yang sangat... sangat bagus, hingga saya berpikir mereka tidak hanya menyanyi dengan panduan notasi musik, tetapi juga dengan tajwid. Saat menyanyikan lagu bernada tinggi, misalnya, Amir sangat... sangat memukau. Kemampuannya meninggikan oktaf suara mungkin hanya dapat ditandingi Mariah Carey.

Amir atau Iwan pasti menguasai tajwid, hingga bisa membedakan idzhar, ikhfa, iqlab, hingga idgham bighunah dan idgham bilaghunah. Hasilnya, ketika mereka menyanyi, semesta pun bergetar.

Omong-omong, tajwid adalah “melakukan sesuatu dengan elok dan indah, atau bagus dan membaguskan”. Istilah “tajwid” berasal dari bahasa Arab—“jawwada”—yang berarti “mengeluarkan huruf dari tempatnya, dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya”. Dalam pembacaan Al-Qur’an, tajwid adalah ilmu yang mempelajari cara membunyikan/menyuarakan/mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tajwid itulah yang membedakan efek suara yang dihasilkan oleh pembacaan Al-Qur’an.

Jadi, kalau suatu waktu kita mendengar orang membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan kita merasakan hati bergetar, hingga ingin terus mendengarkannya, maka bisa dipastikan orang itu membaca Al-Qur’an dengan tajwid. Itulah cara pembacaan Al-Qur’an yang benar. Tak peduli dibaca orang Jawa, orang Madura, orang Batak, atau orang mana pun, pembacaan Al-Qur’an akan memberikan efek positif dan keindahan yang sama, dengan syarat mutlak—dibaca dengan tajwid.

Sebaliknya, jika kita mendengar orang membaca Al-Qur’an, tetapi kita malah merasa terganggu, dan suasana jadi tidak nyaman karena bising, bisa jadi orang itu membaca Al-Qur’an secara asal-asalan dan tidak dengan tajwid, atau bisa pula karena TOA yang digunakannya perlu dimatikan. Menggunakan tajwid atau tidak menggunakan tajwid, itulah esensi penting dalam membaca Al-Qur’an.

Meski ilmu tajwid sering dipahami berkaitan erat dengan pembacaan Al-Qur’an, tetapi sebenarnya tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an. Saya sepakat dengan Wikipedia yang mendefinisikan tajwid sebagai, “ilmu yang mempelajari cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran maupun bukan.”

Dalam perspektif saya, tajwid adalah ilmu tentang kemampuan dalam menghayati sesuatu, sehingga kita bisa mengetahui secara pasti mana yang benar, dan meletakkannya di tempat yang paling benar.

Dalam tajwid pembacaan Al-Qur’an, misalnya, kita harus tahu dari bagian tenggorokan mana suatu huruf keluar, dan kita harus menyuarakan huruf itu dengan bagian tenggorokan yang benar. Dari situlah kemudian muncul bacaan yang disebut idzhar, ikhfa, idgham, dan lain-lain. Melalui tajwid, kita tahu mana bacaan (ayat) yang harus dibaca dengan jernih dan jelas, serta mana bacaan yang harus dibaca dengan efek gumam.

Nah, kemampuan seperti itulah yang saya bayangkan dimiliki oleh Iwan atau Amir di Malaysia, hingga mereka bisa menyanyi dengan sangat indah dan membius. Saya membayangkan, ketika mereka menyanyi dan menghadapi partitur, mereka tidak hanya memperhatikan notasi musik yang harus dipatuhi, tetapi juga memperhatikan tajwid nyanyian mereka, sehingga dapat menyanyikannya dengan benar dan indah.

Melalui lagu-lagu yang saya dengarkan, Amir maupun Iwan sangat tahu cara menggunakan pernapasan perut dan pernapasan dada seiring tinggi rendahnya nada, serta bagian mana yang harus dinyanyikan dengan suara jelas dan jernih, dan mana yang harus dilagukan dengan efek gumam. Oh, well, mereka pasti tahu cara membedakan idzhar dan idgham!

Itulah yang membedakan antara “penyanyi” dan “orang yang sekadar menyanyi”.

Di dunia ini, mungkin semua orang yang hidup di bawah langit dapat menyanyi. Jangankan orang dewasa, bahkan anak-anak balita pun bisa menyanyi. Tetapi ada perbedaan esensial antara “penyanyi” dan “orang yang sekadar bisa menyanyi”. Penyanyi adalah orang yang menyanyi dengan pengetahuan, dalam arti tidak asal menyanyi.

Percaya atau tidak, suara dapat dilatih. Orang yang suara aslinya cempreng bisa berubah sangat indah saat menyanyi, jika mendapat latihan yang tepat, dan menjalani proses latihan yang ketat. Tetapi menyanyi tidak hanya membutuhkan suara yang bagus, melainkan juga pengetahuan mengenai nada, cara memanfaatkan pernapasan perut dan dada, sampai pengetahuan tentang cara memunculkan suara dari rongga mulut. Penyanyi menguasai pengetahuan itu—sesuatu yang tidak dipahami orang-orang yang sekadar menyanyi.

Begitu pun dalam hal lain—menulis, melukis, menari, sampai pantomim. Setiap orang bisa menulis, of course. Tetapi ada perbedaan esensial antara “penulis” dan “orang yang sekadar bisa menulis”. Begitu pun, setiap orang mungkin bisa melukis dan menari atau main pantomim. Tetapi, sekali lagi, ada perbedaan esensial antara “pelukis” dan “orang yang sekadar bisa melukis”, antara “penari” dan “orang yang sekadar bisa menari”. 

Pesan penting yang ingin saya sampaikan melalui uraian ini adalah, “Lakukan apa pun pekerjaan kita dengan tajwid”. Artinya, dengan sungguh-sungguh pengetahuan, penuh penghayatan dan kedalaman, sehingga orang-orang yang menikmati pekerjaan kita bisa mendapat kepuasan. Karena selalu ada perbedaan antara “bekerja” dan “sekadar melakukan pekerjaan”.

Jika kita memilih menyanyi sebagai jalan hidup, menyanyilah dengan tajwid. Jika kita memilih menulis atau melukis sebagai pilihan hidup, menulis atau melukislah dengan tajwid. Artinya, jangan asal menyanyi, jangan asal menulis, dan jangan asal melukis. Karena alam semesta selalu tahu, mana yang bekerja dengan hati, dan mana yang bekerja sekadar untuk gaji.

 
;