Bukan boleh tidaknya bersuara yang jadi masalah.
Tapi jika suaramu mengganggu atau memekakkan
telinga orang sebelahmu, itulah masalahnya.
—@noffret
Tapi jika suaramu mengganggu atau memekakkan
telinga orang sebelahmu, itulah masalahnya.
—@noffret
Di sebuah pemukiman, ada masalah yang semula sepele tapi kemudian meresahkan masyarakat. Masalah itu dimulai oleh seorang lelaki—sebut saja namanya Mister X.
Semula, di hari-hari sebelumnya, pemukiman itu bisa dibilang damai, tenang, tanpa masalah. Sampai suatu hari, Mister X mengaji (membaca Al-Qur’an) seusai shalat subuh di masjid. Jadi, setelah shalat subuh berjamaah selesai di masjid, Mister X akan menyiapkan mic untuk dirinya sendiri, kemudian mengaji sekitar setengah jam sampai satu jam, dan suaranya dikeraskan oleh TOA masjid hingga terdengar kemana-mana.
Mungkin Mister X berniat baik—ia bermaksud ibadah, sekaligus memperdengarkan ayat-ayat suci kepada masyarakat yang tinggal di pemukimannya. Kenyataannya, pemukiman itu memang dihuni masyarakat muslim. Yang menjadi masalah, ternyata tidak semua masyarakat yang tinggal di pemukiman itu senang.
Beno (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu penghuni pemukiman yang terganggu akibat suara Mister X. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah bank yang biasa jaga malam. Ia pulang ke rumah seusai subuh, dan biasanya akan tidur, beristirahat, lalu bangun siang hari, dengan tujuan bisa bekerja kembali dengan baik, dengan tubuh yang segar. Tetapi, sejak Mister X mengaji setiap habis subuh, Beno sulit istirahat, tidak bisa tidur, karena suara Mister X mengganggunya.
Reni (juga bukan nama sebenarnya) adalah siswa sekolah yang rajin belajar, dan termasuk murid berprestasi. Dia kebanggaan orangtua dan sekolahnya. Tetapi, sebagaimana Beno, Reni juga bermasalah dengan suara Mister X. Dia biasa belajar setelah shalat subuh di rumahnya, dan kini tidak bisa lagi belajar seperti biasa akibat konsentrasinya buyar gara-gara suara Mister X yang masuk ke rumahnya setiap pagi.
Selain Beno dan Reni, ada banyak orang di pemukiman itu yang juga tidak senang dengan suara Mister X setiap pagi, karena dianggap mengganggu. Ada ibu yang jengkel, karena bayinya selalu terbangun dan menangis setiap kali suara Mister X mulai terdengar dari TOA masjid, padahal si bayi baru saja tidur. Ada orang-orang yang biasa menikmati pagi yang hening dan tenang kini terganggu, dan lain-lain, dan lain-lain.
Sebenarnya, masyarakat tidak mempersoalkan kalau Mister X mau mengaji—selama apa pun, di mana pun, dan di waktu kapan pun. Mereka tentu akan membiarkan Mister X membaca Al-Qur’an, karena itu termasuk ibadah. Yang dipersoalkan masyarakat adalah suaranya. Suara Mister X yang dikeraskan TOA masjid memasuki rumah-rumah yang biasanya tenang dan hening, mengganggu orang-orang yang biasa beraktivitas di pagi hari, dari yang mau belajar sampai yang mau istirahat.
Susahnya, ketika harus berurusan dengan hal-hal semacam itu, masyarakat merasa segan jika harus ribut. Mereka merasa serba salah jika akan menegur Mister X dan memintanya agar tidak mengeraskan suaranya setiap pagi. Masih banyak orang yang merasa “pekewuh” (tidak enak hati) jika ingin menegur orang lain apabila berhubungan dengan agama, atau hal-hal yang berkaitan dengan agama. Seperti dalam kasus Mister X. Masyarakat di pemukiman itu pun hanya bisa resah, tapi memilih diam.
Mister X tentu tidak bermaksud buruk, dia pasti berniat ibadah, dan berpikir yang dilakukannya adalah hal baik. Tetapi dia mungkin tidak sempat berpikir lebih panjang, dan tidak memperhitungkan apakah masyarakat akan senang dengan yang dilakukannya, atau sebaliknya.
Kadang-kadang, niat baik justru menimbulkan keresahan bahkan masalah, akibat dilakukan tanpa pertimbangan matang dan pemikiran bijaksana. Beribadah tentu hal baik, dan membaca Al-Qur’an adalah aktivitas terpuji. Tapi mengeraskan suara melalui TOA hingga mengganggu orang-orang lain tentu bukan hal baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak terpikir oleh Mister X. Akibatnya, setiap habis subuh, dia terus saja menyiapkan mic untuk mengeraskan suaranya, hingga didengar masyarakat di pemukimannya.
Yang membuat masyarakat merasa segan untuk menegur Mister X, karena mereka tidak bisa memastikan bagaimana reaksi Mister X. Jika Mister X seorang salih dalam arti sebenarnya, dia tentu akan memahami permintaan masyarakatnya, dan dengan sepenuh pemakluman akan melirihkan suara agar ibadahnya tidak mengganggu orang lain. Tetapi bagaimana kalau tidak...?
Bagaimana kalau Mister X menjawab, misalnya, “Aku beribadah di masjid, di rumah Tuhan. Aku beribadah untuk Tuhan, bukan untuk kalian. Kalau Tuhan saja tidak ribut, kenapa kalian malah ribut?”
Jika Mister X menjawab seperti itu, yang timbul kemudian tentu masalah. Yang menjadi masalah, akar masalahnya adalah urusan ibadah. Karenanya, masyarakat pun merasa dilema. Orang sering kali sangat sensitif jika berhubungan dengan agama, dan mereka cukup memahami hal itu, sehingga lebih memilih diam, meski sebagian mereka diam-diam juga memendam kejengkelan.
Sekali lagi, Mister X tentu bermaksud baik, berniat ibadah, berharap pahala dari Tuhan. Tetapi jika aktivitas ibadahnya juga menimbulkan kejengkelan orang-orang, kira-kira lebih besar mana yang diperolehnya? Pahala Tuhan, ataukah kebencian sesama manusia?
Beberapa orang mungkin bisa saja menyatakan, “Yang buruk menurut manusia, belum tentu buruk menurut Tuhan. Sebagaimana yang baik bagi manusia juga belum tentu baik menurut Tuhan. Aku hanya mengikuti yang baik menurut Tuhan, dan persetan apa kata manusia!”
Tetapi, marilah pikirkan, kita hidup di Bumi bersama manusia lainnya... atau di mana? Karena kita hidup bersama orang lain, bersama manusia lain, maka kita tentu juga harus menghormati hak-hak manusia lain, termasuk dalam menjalankan kewajiban terhadap Tuhan. Karena itulah dalam ajaran agama ada yang disebut hablumminallah (memenuhi hak Tuhan) dan hablumminannas (memenuhi hak manusia).
Ibadah kepada Tuhan—yang artinya memenuhi hak Tuhan—tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lainnya, sebagaimana memenuhi hak manusia tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak Tuhan. Itulah fungsi sejati agama—keseimbangan, equilibrium—antara kekhusyukan bersama Tuhan, dan kebersamaan saat bergandengan dengan sesama manusia. Antara harapan menuju surga, tanpa melupakan bahwa saat ini kita tinggal di dunia.
Kalau kita sedang asyik menonton televisi, dan ada teman kita yang akan shalat, kita perlu menghormatinya dengan melirihkan suara televisi atau mematikannya sama sekali, agar teman kita bisa khusyuk beribadah. Sebaliknya, jika kita sedang berkumpul bersama teman-teman dan akan menjalankan ibadah shalat, kita tidak bisa seenaknya menggelar sajadah di tengah-tengah mereka sambil menyuruh mereka bubar.
Ada hak Tuhan, juga ada hak manusia. Memenuhi hak Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lain, begitu pun sebaliknya.
Ketika masih hidup dan aktif berceramah, Ustad Zainuddin MZ punya anekdot yang tak bisa saya lupakan. “Ada orang yang suka dengerin ceramah saya di radio,” ujar Ustad Zainuddin, “sebegitu suka, sampai dia selalu menyetel radionya keras-keras setiap kali saya muncul di radio. Akibatnya, tetangga-tetangganya terganggu oleh suara bising radio. Waktu ditegur, orang itu mengatakan, ‘Lhah ini radio, radio gue. Gue setel di rumah gue. Gue dengerin pakai telinga gue. Kenapa lu jadi sewot?’ Si tetangga menjawab, ‘Lhah gue tidur di kamar gue, di rumah gue sendiri. Kenapa suara radio lu masuk ke rumah gue?’”
Niat baik harus dilakukan dengan cara yang baik, beribadah kepada Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak sesama manusia.
Kita tidak bisa merampok bank dengan tujuan untuk menyumbang masjid, sebagaimana kita tidak bisa membangun taman bermain dengan cara merusak mushala. Menyumbang tempat ibadah adalah niat yang baik, tapi merampok bank jelas kejahatan yang merugikan manusia lain. Begitu pun dalam niat ibadah lainnya, seperti membaca kitab suci, berceramah kepada orang lain, memberikan nasihat, atau perbuatan-perbuatan baik lainnya. Niat-niat baik itu harus dilakukan dengan baik—sebegitu baik, hingga tidak ada pihak yang merasa terganggu apalagi terluka.
Seperti Mister X yang membaca Al-Qur’an setiap habis subuh di masjid. Jika dia memang berniat ibadah, dan memaksudkan bacaan kitab sucinya untuk Tuhan semata, maka tentu dia akan menyadari bahwa Tuhan Maha Mendengar. Karena Tuhan Maha Mendengar, maka tentu Mister X bisa memahami bahwa dia tidak perlu mengeraskan suaranya dengan TOA, karena bahkan berbisik lirih pun Tuhan akan mendengar suaranya.
Dan, sekali lagi, itulah sebenarnya fungsi hakiki agama—keseimbangan hidup sebagai manusia. Mengakui kehambaan kepada Tuhan, tanpa mengusik manusia lainnya. Bermesraan dengan Tuhan setiap malam, namun bisa bekerja dan tertawa bersama sesama manusia.
Bagi orang bijaksana yang memahami, agama adalah kebenaran yang sunyi.