Sebagian masyarakat Indonesia tampaknya sangat suka meributkan hal yang itu-itu saja. Setiap tahun, menjelang datangnya bulan Ramadan, selalu muncul pro dan kontra mengenai warung-warung penjual nasi atau makanan. Di Twitter, misalnya, selalu ada orang-orang yang sampai berperang hanya untuk meributkan urusan warung.
Sebagian orang meminta atau bahkan memaksa warung-warung tutup, dengan alasan untuk menghormati orang yang berpuasa. Sebagian lain menolak permintaan itu, dan mengimbau agar warung-warung makan tetap buka, untuk menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Anehnya, hal yang sama terus berulang setiap tahun. Padahal cuma soal warung. Seolah dalam hidup kita tidak ada yang lebih penting selain hanya meributkan warung yang sebaiknya buka atau tidak di bulan puasa.
Urusan warung ini konyol, sekaligus ironis. Konyol, karena persoalan yang sama selalu dibahas lagi dan dibahas lagi dan dibahas lagi setiap tahun, saat bulan puasa tiba. Juga ironis, karena seolah-olah puasa hanya soal menahan lapar dengan cara tidak makan dan minum. Dua pola itu mencerminkan sifat kekanak-kanakan, sekaligus pemahaman beragama yang setengah matang.
Sebenarnya, dasar alasan yang melatari apakah warung makan sebaiknya buka atau tidak selama bulan puasa memiliki argumen yang sahih. Yang meminta warung-warung tutup selama Ramadan beralasan untuk menghormati orang-orang yang berpuasa. Sementara yang meminta warung-warung makan tetap buka selama Ramadan beralasan untuk menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Sama-sama benar, sama-sama sahih. Keduanya bertujuan menghormati. Jadi, bisa dibilang tidak ada masalah, karena keduanya sama benar.
Masalah mulai muncul, ketika salah satu pihak merasa lebih benar, atau paling benar, kemudian menilai pihak lain salah. Karenanya, mari kita lebih adil pada orang lain, dengan cara lebih adil pada diri sendiri.
Karena puasa di bulan Ramadan adalah tuntutan agama (Islam), maka mari kita lihat bagaimana Islam mengatur hal ini. Dalam fikih, puasa diwajibkan kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat, yaitu muslim (pemeluk Islam), mukallaf (orang dewasa yang berakal atau tidak gila), mampu (dapat menjalankan ibadah puasa), menetap di suatu tempat (dalam arti bukan musafir atau tidak sedang bepergian), dan tidak memiliki halangan (misalnya sedang haid). Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak wajib berpuasa.
Sekarang, mari kita bandingkan aturan hukum fikih tersebut dengan realitas tempat kita tinggal. Pertama, syarat wajib puasa Ramadan adalah muslim. Data sensus penduduk BPS tahun 2000-2010 menyebutkan bahwa jumlah pemeluk Islam di Indonesia sebesar 87,18 persen. Artinya, ada 12,82 persen yang nonmuslim. Karena data BPS menunjukkan total populasi di Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa, maka artinya ada 30.465.617,99 jiwa yang bukan muslim.
Kedua, syarat wajib puasa Ramadan adalah mukallaf, yaitu orang dewasa yang berakal. Anak kecil, juga orang gila, tidak diwajibkan berpuasa. Data BPS menunjukkan bahwa ada 79,8 juta anak di Indonesia. Jumlah itu mencakup anak-anak berusia 0-18 tahun. Jika separuhnya berpuasa, maka masih ada 39,9 juta yang tidak/belum wajib puasa. Itu belum ditambah dengan jumlah orang gila atau tidak waras, yang sama-sama tidak diwajibkan berpuasa.
Ketiga, syarat wajib puasa Ramadan adalah mampu menjalankan ibadah puasa. Orang sakit, juga orang lanjut usia, tidak diwajibkan berpuasa. Data BPS pada tahun 2000 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 14.439.967 (7,18 persen) orang lanjut usia. Jumlah itu meningkat drastis pada 2010, menjadi 23.992.553 jiwa (9,77 persen). Ada lebih dari 20 juta orang yang tidak diwajibkan berpuasa Ramadan di Indonesia, karena kondisi mereka.
Keempat, syarat wajib puasa Ramadan adalah menetap di suatu tempat, atau tidak sedang bepergian. Berdasarkan data pada 2012 saja, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub mencatat ada 72,4 juta orang yang melakukan perjalanan dengan maskapai nasional, terdiri dari 63,6 juta penumpang domestik dan 8,8 juta penumpang internasional. Sedangkan data BPS menunjukkan, selama tahun 2012, jumlah penumpang angkutan kereta api mencapai 202,2 juta. Itu belum termasuk orang-orang yang bepergian menggunakan kapal laut, kendaraan pribadi, dan lain-lain.
Kelima, syarat wajib puasa Ramadan adalah tidak sedang memiliki halangan, semisal sedang haid atau menjalani masa nifas. Tentu saja yang mengalami haid dan nifas adalah wanita. Sekarang, berdasarkan pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, per 31 Desember 2010, penduduk Indonesia mencapai jumlah 259.940.857 jiwa. Jumlah itu terdiri dari 132.240.055 pria dan 127.700.802 wanita. Jika seperempat saja dari semua wanita itu sedang haid atau baru melahirkan, maka artinya ada 31.925.005 wanita yang tidak berpuasa.
Berdasarkan data-data itu, kita melihat bahwa setiap bulan Ramadan tiba, ada berjuta-juta orang (di Indonesia) yang tidak diwajibkan berpuasa. Oh, well, tentu saja angka-angka itu masih bisa diperdebatkan. Tapi kembalilah kepada fikih sebelum ngotot merasa diri paling benar. Dengan jelas dan gamblang, hukum fikih telah menerangkan siapa saja yang wajib berpuasa, dan siapa saja yang tidak wajib berpuasa.
Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan kita melakukan perjalanan jauh di bulan Ramadan, sehingga boleh tidak puasa. Ketika merasa sangat kelaparan dan kepayahan setelah menempuh perjalanan, bisa jadi kita justru bersyukur saat mendapati ada warung makan yang buka.
Orangtua atau kakek-nenek kita mungkin sakit atau sudah sangat lanjut usia, sehingga tidak diwajibkan berpuasa. Selalu ada kemungkinan kita butuh memberi makan mereka, dan lagi-lagi bersyukur karena ada warung makan yang buka, karena di rumah tidak ada makanan apa pun.
Yang punya adik atau anak kecil, bisa jadi sangat terbantu dengan adanya warung makan yang buka di bulan Ramadan, sehingga dapat memberi makan mereka tanpa terlalu kerepotan. Begitu pula wanita yang sedang haid atau nifas yang membutuhkan makan. Di luar semua itu, ada banyak saudara kita yang nonmuslim, dan mereka juga tidak diwajibkan berpuasa selama Ramadan. Mereka tentu juga sama berhak untuk berharap warung-warung makan tetap buka.
Karenanya, menjadi tidak adil dan terkesan sangat berlebihan jika kita memaksa warung-warung makan tutup selama Ramadan, hanya dengan alasan penghormatan kepada orang yang berpuasa. Penghormatan terhadap orang yang sedang berpuasa tidak bisa hanya disandarkan pada warung yang buka atau tutup. Di sisi lain, bersikap adil tidak bisa hanya disandarkan pada penilaian diri sendiri.
Puasa tidak hanya soal makan atau tidak, karena esensi puasa tidak sekadar menahan lapar dan haus. Karenanya, memaksa warung-warung makan tutup selama Ramadan tidak hanya tidak adil, tetapi juga mendangkalkan makna puasa yang kita jalani. Bahkan umpama semua warung makan tutup selama Ramadan pun, orang bisa tetap mudah tergoda. Jika tidak tergoda masuk warung, masih ada setumpuk godaan lainnya. Karena puasa memang bukan sekadar menahan lapar dan haus.
Warung-warung makan mungkin dapat dipaksa tutup selama Ramadan, dan kita bisa menekan godaan untuk masuk warung. Tapi bagaimana dengan godaan amarah serta membicarakan hal-hal buruk? Bagaimana dengan godaan ujub, sombong, dan riya? Bagaimana dengan godaan menahan pandangan dan nafsu? Bagaimana dengan godaan dengki dan iri hati? Setan-setan konon dirantai di neraka selama Ramadan, tapi setan-setan keparat di dalam diri kita selalu leluasa berbuat apa saja.
Puasa bukan hanya sekadar tidak makan dan tidak minum. Jika warung-warung makan harus tutup selama Ramadan, maka artinya ada banyak hal lain—yang sama menggoda—yang juga harus tutup sebulan penuh. Toko-toko harus tutup, karena bisa membuat kita tergoda untuk berpikir duniawi. Para pengguna kendaraan, apalagi yang mewah, harus diminta pakai angkot selama Ramadan, karena melihat kendaraan mereka bisa memunculkan iri di hati.
Koran-koran dan majalah tidak boleh terbit selama Ramadan, karena berita mereka tidak menutup kemungkinan membuat kita marah atau tergoda membicarakan keburukan orang. Televisi harus berhenti siaran selama Ramadan, karena acara-acara mereka bisa jadi memunculkan nafsu dan membuat kita kesulitan menahan pandangan. Akhirnya, internet juga harus tutup sebulan penuh, karena di internet ada Twitter, Facebook, dan berbagai sosial media yang biasa dijadikan tempat ujub, sombong, dan riya.
Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus, karenanya memaksa warung-warung makan tutup selama Ramadan hanyalah mendangkalkan ibadah puasa yang kita jalani. Di antara yang lain, ibadah yang paling tidak bisa dipamer-pamerkan adalah puasa, karena seharusnya hanya diketahui Tuhan dan pelakunya. Memaksakan suatu kehendak kepada orang-orang yang tidak berpuasa, tidak jauh beda dengan memamer-mamerkan ibadah puasa.
Karena puasa bukan hanya soal menjaga badan, sebagaimana bersikap adil seharusnya dimulai sejak dalam pikiran.