Jumat, 05 Juni 2015

Tiga Melawan Usia

Hidup belum berakhir. Masih ada yang bisa dilakukan.
Selalu ada yang bisa dikerjakan.
@noffret 


Seorang lelaki tua memanggul tangga bambu di pundaknya. Saya melihatnya, tepat ketika baru membuka jendela rumah. Lelaki itu menengok ke arah saya, dan menawari, “Mas, butuh tangga?”

Sesaat, saya terkejut. Semula saya tidak paham yang dia maksud. Tapi kemudian selintas pikiran berkelebat, mungkin lelaki ini berjualan tangga. Jadi, saya pun menjawab, “Tidak, Pak.”

Lelaki tua itu tampak ragu sesaat, lalu menurunkan tangga di pundaknya. Kemudian, dengan ekspresi ragu pula, dia berkata, “Maaf, Mas, saya boleh minta air? Dari tadi sangat kehausan, tapi tangga saya belum laku.”

Siang itu sangat terik. Saya pun mengangguk, dan segera mengambilkan segelas air putih, lalu membawanya ke depan rumah.

Lelaki tua itu duduk di teras rumah, dan meminum air yang saya berikan. Dia menghabiskannya perlahan-lahan. Saya memperhatikannya—usianya mungkin 60-an, dengan kulit terbakar matahari. Saat dia mengembalikan gelas, saya tawari untuk minum lagi, tapi dia menggeleng. “Sudah cukup, Mas. Terima kasih.”

“Jadi, Bapak ini jualan tangga?” saya bertanya.

“Iya,” dia menjawab. “Di kampung saya ada yang bikin tangga, terus saya bantu jualkan, daripada menganggur di rumah.”

Terus terang, saya baru mendapati ada orang yang jualan tangga keliling. Karena tertarik, saya pun iseng bertanya, “Biasanya, sehari bisa terjual berapa, Pak?”

“Tidak mesti, Mas. Kadang laku, kadang tidak.” Kemudian, sambil menatap tangga yang kini tersandar di pagar rumah saya, dia melanjutkan, “Itu satu saja sudah tiga hari belum laku.”

Selama bercakap-cakap dengannya, saya pun tahu bahwa lelaki itu berusia 66 tahun, dan setiap hari berkeliling membawa satu tangga. Bila rezeki sedang lancar, dia bercerita, dalam sehari bisa menjual satu buah tangga, dan dia pun pulang dengan membawa sedikit keuntungan. Tetapi tangga bukan barang kebutuhan pokok banyak orang, jadi sangat jarang ada yang membeli tangga.

“Jadi, saya keliling ke banyak tempat, siapa tahu ada yang pas butuh,” ujarnya.

Saya mencoba bertanya, kenapa dia tidak jualan barang lain saja, yang lebih dibutuhkan banyak orang setiap hari. Dia menjelaskan, “Kalau jualan barang lain, semisal makanan, perlu banyak modal, Mas. Barang yang bisa saya jual tanpa modal ya tangga itu, karena kebetulan pembuatnya tetangga saya sendiri, jadi dia percaya sama saya.”

Saat dia pamit pergi, saya menatapnya dari belakang. Seorang lelaki tua berusia 66 tahun, berkeliling ke sana kemari memanggul sebuah tangga, dibakar terik matahari, dengan harapan bisa mendapat sedikit keuntungan.

Dia lelaki hebat, pikir saya seiring menatap langkah-langkah kakinya menjauh. Dan saya percaya, alasan kenapa bumi masih berputar dan langit belum runtuh karena masih ada orang-orang yang mau memeras keringat, dan bekerja keras demi rezeki yang halal. Orang-orang jujur semacam itulah yang menahan langit tetap di tempatnya, dan alam semesta menahan murka amarah menatap kerakusan dan kejahatan manusia.

Selain lelaki penjual tangga yang saya dapati lewat di depan rumah, ada lelaki hebat lain di Magelang. Namanya Tohari, biasa dipanggil Mbah Tohari, berusia 103 tahun. Sebagaimana lelaki tua penjual tangga, Mbah Tohari tidak mau dikalahkan usia. Meski tubuhnya telah renta, dia tidak mau berdiam diri hanya menunggu ajal. Setiap hari dia berkeliling jualan aneka barang—shampo, tisu makan, tisu wajah, dan lainnya—dengan sepeda onthel tua.

Mbah Tohari tinggal di Kampung Nambangan, Kelurahan Rejowinangun Utara. Setiap hari, dia membawa barang-barang jualannya yang dikemas dalam kardus, dan diletakkan di belakang sepeda. Karena usianya yang tua, Mbah Tohari sudah tidak mampu mengayuh sepeda. Karenanya, dia pun menuntun sepedanya ke sana kemari, meski dengan napas tersengal-sengal. Saat melewati jalan menanjak, dia sangat kepayahan, dan biasanya orang-orang yang melihat akan membantu mendorong.

Dia biasa berkeliling di wilayah Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Saat ditemui wartawan, Mbah Tohari menyatakan, “Daripada bengong di rumah, saya lebih senang berjualan. Meski penghasilannya tidak seberapa banyak.”

Berjualan barang-barang dengan sepeda tua telah dijalani Mbah Tohari bertahun-tahun. Dia tidak mau bergantung kepada siapa pun, termasuk pada anak atau cucu. Dalam keseharian, saat dia berjalan menuntun sepeda dengan kepayahan, kadang ada orang yang melihatnya dan merasa kasihan. Beberapa orang yang iba mencoba menolong dengan memberi uang tanpa membeli barang jualannya. Tapi dia menolak.

“Kalau ada orang memberi uang tanpa membeli barang, saya menolak,” ujarnya. “Karena saya lebih senang bila mendapat uang dari keringat saya sendiri.”

Filosofi hidup yang sederhana—lebih senang bila mendapat uang dari keringat sendiri. Dan filosofi itulah yang menjadikan manusia utuh sebagai manusia. Tidak ada makanan yang lebih baik di muka bumi selain makanan yang dihasilkan keringat sendiri. Tidak ada pakaian yang lebih baik selain pakaian yang basah oleh keringat sendiri. Tidak ada kehidupan yang lebih baik di bawah langit, selain kehidupan yang ditopang keringat sendiri.

Di Bandung, ada lelaki yang tak kalah hebat. Namanya Darta, berusia 78 tahun. Setiap hari, dia biasa membawa gembolan tas plastik berisi bungkusan amplop, yang kemudian ia jajakan di depan kampus ITB (Institut Teknologi Bandung). Selama 12 tahun, dia biasa mangkal di sekitar Masjid Salman ITB, menjual lembar demi lembar amplop.

Di era digital seperti sekarang, penggunaan amplop sudah sangat jarang. Tetapi Darta percaya masih ada orang yang membutuhkan barang itu. Jadi dia pun menjual amplop, sesuatu yang bisa dilakukannya untuk mendapat rezeki. Amplop-amplop yang dijualnya masing-masing dibungkus dalam plastik berisi 10 amplop. Setiap bungkus dijual dengan harga Rp. 1.000.

Wartawan Merdeka.Com, yang mendapati lelaki tua itu, sempat terkejut dan bertanya, “Kenapa Kakek menjual semurah itu?”

“Saya masih dapat untung, kok,” jawab Darta. Lalu dia menjelaskan, untuk setiap penjualan satu bungkus—yang berisi 10 amplop—dia mendapat untung sebesar Rp. 200. Dia membeli seharga Rp. 800, dan dijual Rp. 1.000. Dia juga mengaku enggan untuk menaikkan harga amplopnya, karena khawatir tidak laku. “Yang penting saya bisa makan, dan selalu sehat,” ujarnya.

Sebenarnya, kondisi Darta tidak bisa dibilang fit. Tangannya gemetaran akibat usianya yang tua, pendengarannya sudah jauh dari sempurna, sementara kulitnya kusam karena tiap hari terbakar matahari. Tetapi dia tidak mau dikalahkan usia. Jadi dia melakukan yang masih bisa dilakukan. “Daripada saya mengemis, lebih baik saya berjualan,” ujarnya dengan senyum.

Bila rezeki sedang lancar, Darta menceritakan, dia bisa menjual 20 bungkus amplop, yang artinya bisa mendapat keuntungan sebesar Rp. 4.000. Tetapi kadang rezeki tidak mudah didapat, sehingga selama seharian Darta tidak mendapat uang sama sekali. “Pernah muter-muter tidak laku dijual,” dia menceritakan.

Selain berjualan amplop di sekitar kampus ITB, Darta kadang mencoba peruntungan dengan membuka lapak di tempat lain, semisal Simpang Lima, Dago, Bandung. Atau di sekitar Jalan Sukajadi, tepatnya di depan Rumah Sakit Sukajadi. Darta tinggal di Desa Cipicung, RT 6/RW1, Kabupaten Bandung. Artinya, untuk pergi ke tempatnya berjualan, Darta harus menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer. Dia menempuh perjalanan jauh itu dengan jalan kaki.

“Saya biasa berangkat jam setengah lima subuh,” dia menceritakan. “Di jalan bisa sampai dua jam. Kalau pakai angkot, uangnya nanti habis, tidak bisa buat makan.”

Seorang lelaki berusia 78 tahun, dengan tubuh gemetaran karena digerogoti usia, berangkat kerja seusai subuh, berjalan kaki hingga 20 kilometer, hanya untuk mendapat rezeki yang tak seberapa. Sore hari, saat matahari telah tenggelam, dia kembali berjalan kaki untuk pulang, setelah seharian dibakar matahari atau diguyur hujan. Dan dia telah melakukan kegiatan itu selama 12 tahun. 

Selama bertahun-tahun bekerja memeras keringat demi mencari rezeki yang halal, Darta pasti telah sering mendapati remaja-remaja yang menghabiskan waktu dengan nongkrong di pinggir-pinggir jalan. Selama berjalan kaki setiap hari menempuh perjalanan puluhan kilometer, Darta pun pasti telah banyak menyaksikan anak-anak muda menyia-nyiakan usia dan tenaga mudanya.

Menjalani kehidupan yang begitu berat setiap hari selama bertahun-tahun, apakah Darta mengeluh? “Tidak,” dia menjawab. “Tuhan punya jalan bagi orang yang mau berusaha.”

Tuhan punya jalan bagi orang yang mau berusaha. Filsuf paling bijaksana pun pasti akan setuju dengannya.

 
;