Minggu, 14 Juni 2015

Menghadapi Pembenci

Cinta adalah ruang bercahaya. Benci adalah pintu tertutup.
Objektivitas melihat melalui lubang kunci.
@noffret 


Raditya Dika dan Syahrini muncul di acara Mata Najwa, Januari 2015, dalam edisi Para Pencuri Perhatian. Radith dinilai memiliki pengaruh besar melalui karya-karyanya, begitu pula Syahrini. Apa pun yang mereka lakukan, bisa dibilang selalu mencuri perhatian banyak orang.

Dalam acara Mata Najwa, mereka menjawab berbagai pertanyaan Najwa Shihab dengan serius, meski diselingi canda dan tawa. Radith dan Syahrini bahkan sempat saling ledek dengan seru, hingga penonton cekikikan.

Sebagai sosok populer seperti mereka, tentu tidak menutup kemungkinan adanya hater, orang yang sirik, atau para pembenci. Saat ditanya mengenai hal itu, Radith menyatakan, “Kemungkinan adanya hater selalu ada. Tinggal kita memilih untuk merasa terganggu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak merasa terganggu.”

Itu jawaban Radith. Bagaimana dengan Syahrini? Kita tahu, salah satu orang yang paling sering diledek atau bahkan di-bully—khususnya di dunia maya—adalah Syahrini. Dia melakukan apa pun, selalu ada orang-orang “kreatif” yang menjadikan tingkah laku Syahrini sebagai bahan olok-olok. Ketika ditanya mengenai hal itu oleh Najwa Shihab, Syahrini menyatakan, “Semakin orang berusaha merendahkanmu, Tuhan akan semakin meninggikanmu, dan melancarkan rezekimu.”

Perhatikan, itu yang ngomong Syahrini. Jika ada orang yang paling sering diolok-olok, di-bully, diledek, atau bahkan diejek dan direndahkan di dunia ini, Syahrini adalah salah satunya. Tidak ada artis lain yang pernah menghadapi begitu banyak ejekan, olok-olok, cemoohan, dan upaya merendahkan, sebagaimana yang pernah dialami Syahrini. Dan orang yang telah menghadapi begitu banyak cibiran serta ejekan bernada merendahkan itu menyatakan, “Semakin orang berusaha merendahkanmu, Tuhan akan semakin meninggikanmu, dan melancarkan rezekimu.”

Meski kalimat itu tidak diucapkan filsuf agung yang bijaksana, saya tetap percaya. Syahrini, sebagaimana Radith, tidak dipusingkan oleh orang-orang yang mungkin membenci mereka.

Semakin tinggi pohon, kata pepatah, semakin besar angin menggoyang. Kenyataannya memang begitu. Saat kita bukan siapa-siapa, orang tidak akan peduli pada kita. Tetapi, begitu kita memiliki sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang, maka perhatian orang-orang akan tertuju pada kita, dan sejak itu angin akan mulai menggoyang. Angin itu bisa berupa orang-orang sirik, pihak-pihak yang merasa tersaingi, sampai para pembenci yang tak logis.

Oh, well, di dunia ini ada banyak pembenci yang tak logis. Mereka membenci sesuatu atau seseorang bukan karena apa pun, melainkan semata-mata karena benci. Jadi, ketika orang-orang semacam itu ditanya mengapa mereka membenci si A atau si B, mereka sendiri tidak tahu alasannya. Mereka hanya membenci, atau hanya ingin membenci. Dan energi kebencian itulah yang kemudian menggerakkan mereka untuk mengganggu, meledek, mengejek, hingga berupaya merendahkan sosok yang mereka benci.
 
Selain pembenci yang tak logis, ada pula orang-orang sirik atau mereka yang merasa tersaingi. Di dunia ini banyak orang yang membenci orang lain, semata-mata karena sirik atau merasa tersaingi. Sirik tanda tak mampu, katanya. Yang ironis, orang-orang sirik itu bukannya menggunakan energi yang dimilikinya untuk memperbaiki diri, tetapi justru membuang-buang energi untuk membenci.

Kalau kita membenci orang lain karena merasa tersaingi, energi yang kita curahkan untuk membenci akan menjadi energi yang bukan hanya sia-sia, tetapi juga merusak diri sendiri.

Bayangkan ilustrasi ini. Seseorang memiliki atau mencapai sesuatu, dan kita merasa tersaingi. Perasaan itu memunculkan sifat iri yang lazim disebut sirik. Lalu kita membenci orang yang membuat kita merasa tersaingi. Didorong kebencian, bisa jadi kita melakukan hal-hal yang kita harap bisa mengganggunya, lalu berharap orang yang kita benci tidak bisa tidur karena semua itu. Faktanya, kita sendirilah yang tidak bisa tidur akibat kebencian yang kita rasakan!

Kalau kita berusaha mengganggu orang lain karena kebencian, maka justru kitalah yang akan merasa paling terganggu!

Raditya Dika dan Syahrini, misalnya, punya banyak penggemar. Di luar yang banyak itu, mungkin ada satu dua orang yang membenci. Dibandingkan yang menyukai mereka, jumlah si pembenci tidak ada apa-apanya! Ketika si pembenci mencoba mengganggu, itu tak jauh beda dengan lalat menyerang gajah. Sia-sia. Karenanya, saya setuju dengan sikap Radith dalam hal menghadapi pembenci, “Tinggal kita memilih untuk merasa terganggu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak merasa terganggu.”

Sering kali, para pembenci meluangkan banyak waktu, energi, dan pikiran, demi tujuan mengusik dan mengganggu orang yang dibenci. Mereka sering kali bahkan sampai menguntit atau stalking orang yang dibenci, karena tidak ingin melewatkan apa pun. Tidakkah itu konyol dan ironis? Jangan-jangan, benci memang akronim “benar-benar cinta”, seperti yang dinyatakan banyak orang. Karena hanya orang bencilah yang sering kali paling aktif bahkan agresif dalam urusan menguntit orang lain.

Dan tidakkah energi yang kita gunakan untuk membenci itu sia-sia? Kalau kita merasa tersaingi orang lain, kemudian membencinya, kita hanya membuang sumber daya yang kita miliki secara percuma. Karena waktu, energi, serta pikiran yang kita curahkan untuk membenci, mengganggu, dan mengusik, sebenarnya bisa digunakan untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, yang bahkan dapat memperbaiki diri kita.

Membenci adalah fokus pada orang lain dengan cara negatif. Itu merusak. Bukan merusak orang yang dibenci, tetapi merusak diri kita sendiri. Karena perasaan kebencian, berbagai insting negatif muncul dalam diri kita. Insting negatif itu kemudian mengarahkan pikiran negatif, yang berakhir dengan tindakan negatif. Dan apa pun yang negatif, kita tahu, selalu menghasilkan akhir yang sama negatif. Tidak ada orang sirik yang sukses, apalagi kaya dan terkenal. Apalagi sampai dicintai dan dikagumi banyak orang!

Seperti yang dinyatakan di atas—semakin tinggi pohon tumbuh, semakin besar angin menggoyang. Saat kita bukan siapa-siapa, orang tidak menghiraukan kita. Tetapi, ketika kita memiliki sesuatu yang luar biasa, orang-orang mulai menatap ke arah kita. Tidak semua mereka menatap dengan cinta. Ada pula yang menatap dengan benci. Jangankan orang-orang terkenal seperti Radith atau Syahrini, bahkan orang-orang biasa seperti kita pun tidak menutup kemungkinan ada yang benci.

Bisa jadi, kita tidak melakukan apa pun yang mengganggu orang lain, tidak merugikan siapa pun, dan tidak mengusik siapa pun. Tetapi, entah dengan alasan apa, ada orang yang membenci kita, lalu berusaha mengganggu dan mengusik hidup kita. Bisa dibilang, hal-hal semacam itu telah menjadi sesuatu yang umum. Karena di sekeliling kita banyak orang yang tidak punya apa pun, selain kebencian. Mereka membenci diri sendiri, membenci hidupnya sendiri. Karena mereka tidak bisa mengganggu diri sendiri, mereka pun mengganggu orang lain.

Para pembenci adalah orang yang muak dan jijik melihat dirinya sendiri. Karenanya, yang paling dibenci si pembenci sebenarnya bukan siapa pun, tetapi diri sendiri. Karena mereka tidak bisa membenci diri sendiri, mereka pun membenci orang lain.

Jadi, kapan pun kita menghadapi orang menyedihkan semacam itu, kita bisa mengingat ucapan Radith, “Tinggal kita memilih untuk merasa terganggu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak merasa terganggu.” Baik pula untuk berpikir positif seperti Syahrini, “Semakin orang berusaha merendahkanmu, Tuhan akan semakin meninggikanmu, dan melancarkan rezekimu.” Lebih dari itu, orang-orang baik yang menyukai kita selalu jauh lebih banyak daripada orang berhati busuk yang mungkin membenci kita.

Membenci adalah tindakan sia-sia, dan melayani para pembenci juga sama sia-sia. Para pembenci meluangkan banyak waktu, energi, dan pikiran, demi mengganggu orang yang dibenci. Melayani orang semacam itu hanya buang waktu, energi, dan pikiran. Para pembenci tidak punya tujuan apa pun, selain berharap orang yang dibenci bernilai serendah mereka. Karenanya, daripada berfokus mengurusi para pembenci, jauh lebih baik berfokus pada diri dan hidup kita sendiri.

Di dunia maya, saya pernah mendapati seorang penipu yang mengganggu penjual buku. Si penipu menjual sesuatu di internet, dan yang dijualnya adalah barang yang ditujukan untuk menipu. Si penjual buku juga menjual di internet, dan barang yang dijualnya jelas buku yang bermanfaat. Si penjual buku tidak pernah mengganggu si penipu, tetapi si penipu kemudian habis-habisan mengusik dan mengganggu si penjual buku. Apa alasannya? Tidak ada alasan lain, selain cuma satu; sirik!

Si penipu—yang jualan barang untuk menipu—mungkin menganggap rezeki si penjual buku lebih banyak (dan lebih baik) dari dirinya. Lalu dia iri, dan mengganggu si penjual buku. Si penipu tidak berkaca pada dirinya sendiri, dia justru menujukan pandangan kepada orang lain yang kebetulan dapat dilihatnya. Bukannya malu menjual sesuatu yang mengandung unsur penipuan, si penipu justru menyerang orang lain yang ia nilai lebih baik dari dirinya. Begitulah para pembenci. Mereka tidak memiliki apa pun, selain kebencian pada diri sendiri.

Topik, sobat saya yang lucu, pernah menyatakan bahwa cara mudah menghadapi pembenci adalah, “Doakan saja mereka cepat mati!”

Itu menurut Topik. Bagaimana menurut saya? Menghadapi pembenci, menurut saya, doakan saja mereka cepat muak dan bosan melihat kebenciannya sendiri. Karena para pembenci sebenarnya tidak punya apa pun, selain kebencian pada diri sendiri.

 
;