Sabtu, 24 Januari 2015

Teman Saya Tidak Ilmiah Blas

Kebetulan selalu punya alasan.
@noffret


—Untuk Topik a.k.a Simbah

Namanya Taufik. Tapi kami biasa memanggilnya Topik—sebagian yang lain kadang menyebutnya Simbah. Dia salah satu teman kami yang unik, dan—menurut teman-teman—sangat tidak ilmiah. Tetapi, justru di situlah letak keunikannya, hingga saya menulisnya dalam catatan ini.

Suatu hari, saat kami hanya berdua, Topik bertanya pada saya, “Da’, kamu senang jadi temanku?”

“Tentu saja aku senang jadi temanmu,” jawab saya jujur. “Semua orang senang berteman denganmu, Pik. Kamu teman yang asyik.”

Dia mengangguk. Setelah itu, dengan ekspresi serius, dia mengajukan pertanyaan yang membuat saya terkejut, “Tapi kenapa kamu tidak pernah menulis tentangku?”

“Hah...?”

Topik menjelaskan, “Kamu menulis tentang Jonah, Iskandar, Thariq, Amelia, Ririn, Safik, dan teman-teman kita yang lain, di blogmu. Tapi kenapa kamu tidak pernah sekali pun menulis tentang aku? Bahkan menyebut namaku pun tidak pernah!”

“Uh... sebenarnya, aku tidak menulis tentangmu bukan karena apa pun, tapi karena aku khawatir kamu belum tentu senang. Sebenarnya, aku ingin sekali menulis tentangmu, Pik—kamu punya hal-hal yang asyik untuk diceritakan. Tapi, ya itu tadi, aku khawatir kamu justru tidak akan senang.”

“Tentu saja aku senang! Semua teman kita juga berharap bisa muncul dalam tulisanmu!”

“Kalau begitu, aku akan menulis tentang kamu,” ujar saya kemudian.

“Benar?”

“Yeah. Tapi, kamu tahu, aku harus menulismu dengan jujur, apa adanya, sebagaimana ketika aku menulis orang lain atau tentang diriku sendiri. Jadi, kalau aku menulismu di blog, aku harus menulis tentangmu seperti apa adanya dirimu. Kamu tidak keberatan?”

“Tidak, aku tidak keberatan. Yeah, tentu saja kamu harus menulis tentang aku apa adanya—agar dunia tahu siapa aku!”

....
....

Namanya Taufik. Tapi kami biasa memanggilnya Topik—sebagian yang lain kadang menyebutnya Simbah. Dia salah satu teman kami yang unik, dan—menurut teman-teman—sangat tidak ilmiah. “Ketidak-ilmiahan” Topik berawal dari seringnya dia bermimpi tentang hal-hal yang terjadi di antara kami.

Misalnya, suatu hari kami berkumpul, dan seorang teman cerita bahwa dia baru bertengkar dengan pacarnya, maka Topik akan menyatakan dengan jumawa, “Kejadian yang kamu alami itu tepat seperti dalam mimpiku. Seminggu yang lalu, aku bermimpi kamu bertengkar dengan pacarmu.”

Di hari lain, teman kami membeli motor baru, dan Topik menyatakan dengan sepenuh kesungguhan, “Ah, akhirnya mimpiku terbukti! Tempo hari aku bermimpi kamu membeli motor baru, dan motornya benar-benar tepat seperti ini!”

Suatu Minggu, kami berencana pergi ke suatu tempat untuk refresing, dan Topik—dengan mata berbinar—mengatakan, “Benar-benar tepat seperti dalam mimpiku! Minggu ini kita akan refresing!”

Dalam sebuah percakapan, Topik pernah bertanya pada saya mengenai teori Big Bang. Saya tidak tertarik menjelaskan, karena itu sesuatu yang rumit dan sulit dipaparkan, khususnya kepada orang awam. Tapi Topik memaksa. Maka, dengan terbata-bata, saya pun berusaha menjelaskan teori yang rumit itu sesederhana mungkin, agar bisa dipahami olehnya. Setelah saya berkeringat karena kelelahan menjelaskan teori sinting itu, Topik mengangguk-angguk khidmat, dan mengatakan, “Penjelasanmu benar-benar tepat seperti dalam mimpiku.”

Saya ingin getok kepalanya.

Dulu, kami sering terkejut setiap mendapati “mimpi” Topik yang ajaib dan mustahil. Seluruh kejadian yang kami alami—bahkan hal-hal yang terjadi di alam semesta—tampaknya telah hadir sebelumnya dalam mimpi Topik. Tetapi, lama-lama, kami mulai terbiasa dengan “keajaiban” itu setelah bertahun-tahun berteman dengannya. Bahkan, kami pun menganggapnya sebagai semacam hiburan atau sarana untuk bercanda.

Kenyataannya, Topik pun mungkin hanya memaksudkan “mimpi”-nya sebagai sarana untuk menertawakan hidup dan dirinya. Pernah, dia ditolak cewek yang ditaksirnya, dan tampak tidak terlalu terpengaruh. Dia masih bisa tersenyum saat menceritakan penolakan itu—tidak murung atau galau seperti umumnya cowok lain yang baru ditolak. Saat ditanya mengenai hal itu, Topik menjelaskan, “Aku tidak terkejut dengan penolakan itu, karena sudah tahu dalam mimpiku. Yeah, tentu saja dia akan menolak. Sangat tidak ilmiah kalau dia sampai menerimaku.”

“Mimpi” Topik yang aneh dan absurd itu telah terkenal, tidak hanya di lingkungan pergaulan kami, tapi juga di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga-tetangga Topik juga sudah mengetahui “mimpi” Topik yang mustahil, dan mereka telah menganggapnya sebagai bagian “keajaiban yang tidak bisa dicerna”—semacam gejala alam yang absurd, yang tidak bisa dipahami orang awam seperti mereka. Menggunakan perspektif fisika, Topik—dan mimpi-mimpinya—adalah wujud anomali jagad raya.

Karena mimpi-mimpinya yang legendaris itu pulalah, yang kemudian menjadikan banyak orang memanggil Topik dengan sebutan “Simbah”—apa pun artinya.

Seorang tetangga pernah menantang Topik, dengan menanyakan nomor berapa saja yang akan muncul dalam undian togel yang akan datang. “Kalau kamu memang bisa memimpikan segalanya sebelum terjadi, kamu pasti tahu nomor berapa saja yang akan keluar, kan?” ujar si tetangga menantang.

Tapi Topik menjawab dengan santai, “Aku ini orang baik, yang memimpikan hal-hal baik. Untuk hal-hal seperti itu, aku sama sekali tidak tahu.”

Topik memang orang baik—setidaknya di mata kami, teman-temannya. Sebagai pribadi, dia orang yang salih. Di antara kami semua, dia paling rajin beribadah. Dia sangat hormat pada orangtua, baik pada para tetangga, dan tidak pernah menyakiti sesama. Selama bertahun-tahun berteman dengannya, bisa dibilang Topik tidak pernah menimbulkan masalah apa pun.

Kami senang berteman dengan Topik. Dia tidak hanya teman yang baik dan setia, tetapi juga sangat amanah dalam memegang janji. Kalau kami janjian untuk bertemu, dia akan datang menepati—tak peduli bagaimana pun keadaannya. Jika motornya kebetulan bermasalah, dia akan naik angkot. Jika tidak ada angkot yang menuju ke jurusan yang diinginkan, dia akan jalan kaki. Hal itu pernah benar-benar terjadi. Dalam suatu janji dengan seseorang, Topik datang sesuai yang ia janjikan, meski harus jalan kaki hingga lebih dari 10 kilometer.

Si teman yang terkejut mendapati Topik berjalan kaki ke tempatnya, menyatakan, “Kenapa kamu harus jalan kaki sejauh itu, Pik? Kalau kamu menilponku dan bilang ada masalah dengan motormu, aku dengan senang hati akan menjemput.”

Tapi Topik menjawab dengan santai, “Bagaimana pun, aku memang harus jalan kaki ke rumahmu, karena itu telah termaktub dalam mimpiku.”

“Mimpi”-nya itulah yang aneh, pikir kami. Seperti yang disebut di atas, dulu kami terkejut dengan “mimpi-mimpi” Topik. Lama-lama kami mulai terbiasa, dan sering kali menjadikannya bahan gurauan. Bahkan, karena telah sangat terbiasa, kami tidak pernah terkejut lagi setiap kali Topik menceritakan mimpinya. Bagi kami, Topik adalah teman yang lucu, dan mimpinya sangat tidak ilmiah. Topik tahu hal itu, tapi dia tidak tersinggung—setidaknya dia tidak pernah menampakkan bahwa dia tersinggung.

Jadi, kalau Topik menceritakan mimpinya, atau berkata, “ini tepat seperti dalam mimpiku”, teman-teman akan tersenyum atau cengar-cengir, atau menjadikan mimpi Topik sebagai tema obrolan penuh canda dan tawa. Kami bahkan sering menjadikan mimpi Topik sebagai sarana untuk mengerjainya. Misalnya, saat kami sedang jalan ke suatu tempat dan Topik menyatakan, “Berdasarkan mimpiku, kita akan belok ke arah kiri,” maka kami akan belok ke arah kanan.

Suatu kali, Jonah pernah berkata, “Topik adalah bocah paling tidak logis yang pernah kukenal.”

Dan saya menyahut sambil ngakak, “Dia memang tidak ilmiah blas!”

Meski tidak ilmiah, kami senang berteman dengan Topik, karena dia memang teman yang asyik. Semua kualitas yang dibutuhkan dari seorang teman terdapat pada diri Topik—selain, tentu saja, mimpi-mimpinya yang aneh dan absurd itu.

Sampai suatu hari, kami berlima makan mie ayam di sebuah warung pinggir jalan—Topik, Riyan, Jonah, Hasan, dan saya. Siang itu panas, dan warung sangat ramai, karena pas jam makan siang. Setelah menikmati semangkuk mie ayam, keringat kami keluar semua. Bukan hanya karena pengaruh mie ayam yang kami makan, tapi juga efek cuaca yang memang sangat panas dan suasana warung yang ramai.

Kami pun buru-buru membayar, keluar dari warung, lalu duduk-duduk di bawah pohon sambil merokok. Pohon yang ada di trotoar itu besar dan cukup lebat, hingga kami merasa adem berteduh di bawahnya. Saat kami sedang bercakap-cakap sambil menunggu perut kembali lega, Topik berkata sungguh-sungguh, “Aku bermimpi kita semua ketabrak truk di sini. Pohon ini benar-benar tepat seperti dalam mimpiku.”

Hasan langsung batuk-batuk tersedak asap rokok, Riyan misuh-misuh, sementara Jonah dan saya senyum-senyum. Bagi kami, mimpi Topik hanyalah sarana untuk bercanda, dan kami sama sekali tak terpengaruh.

Tapi Topik tampak serius sekali. Dia bahkan meminta agar kami pindah ke tempat lain saja, yang—menggunakan istilahnya—“lebih aman dari mimpiku”. Kami cuma cengar-cengir, dan sama sekali tidak menghiraukan Topik. Sekali lagi, kami sudah menganggap “mimpi”-nya sebagai hal biasa.

Tetapi, akhirnya, kami pergi dari bawah pohon itu. Bukan karena mimpi Topik, melainkan karena datangnya mobil penyiram milik Pemkot yang akan menyiram pohon sebagaimana biasa. Kami pindah ke tempat lain yang cukup jauh, di teras sebuah ruko, agar tidak terkena semprotan air yang menyiram pohon. Di tempat yang baru, kami kembali duduk santai sambil merokok, dan bercakap-cakap.

Beberapa saat kemudian, mobil penyiram pohon kembali berjalan untuk menyiram pohon lainnya. Pohon yang tadi kami tempati kini basah, dan kami tidak berniat kembali ke sana. Saat sedang memperhatikan pohon itulah, sebuah truk melaju kencang, dan—mungkin karena bermasalah dengan rem—sopirnya sengaja menabrakkan truk ke arah pohon. Hantaman itu sangat keras, hingga batang pohon separuh roboh, sementara kap depan truk tampak ringsek.

Kejadian itu seketika menarik perhatian, dan orang-orang berdatangan.

Kami terpaku di teras ruko. Kami tidak sempat memikirkan bagaimana nasib pengendara truk itu. Yang kami pikirkan, enam menit sebelumnya, kami ada di sana, duduk di bawah pohon yang tertabrak, dan sempat menertawakan mimpi Topik yang terdengar aneh. Detik itu kami menyadari, kami baru saja menertawakan kematian yang bisa saja kami alami.

Dan, sejak itu, setiap kali Topik menceritakan mimpinya, kami selalu khusyuk mendengarkannya. 

 
;