Kamis, 05 Juli 2018

Layang-layang Berbenang Sutra

Bertahun-tahun aku menunggu keajaiban takdir.
Sekarang aku tahu takdir hanyalah debu
di antara putaran kincir angin.


Kapan pertama kali aku melihatmu? Sudah lama, tapi aku masih mengingatnya. Kau melangkah sendirian, dengan syal dan baju tebal, melewati tempatku duduk saat sarapan, setiap pagi.

Aku bahkan masih mengingat, mula-mula kau hanya berjalan acuh tak acuh saat lewat di depan tempatku duduk. Seiring hari, kau mulai menatap ke arahku. Dan tersenyum. Sejak itu, aku selalu menikmati pagi dengan senyummu.

Hingga tiba hari itu, saat semua orang datang ke tempat prasmanan—orang-orang asing yang datang ke sana dengan berbagai tujuan. Aku sedang bersiap menyantap makananku, saat kau datang, berdiri di dekatku, dan berkata, “Aku kehabisan tempat duduk. Tidak keberatan, aku duduk di sini?”

Tentu saja aku tidak keberatan. Dan kau duduk di sampingku, satu-satunya kursi yang belum ditempati. Lalu kita tenggelam dalam keheningan, bersama makanan masing-masing. Bahkan sampai makanan habis, tak sepatah kata pun muncul.

Usai makan, aku bangkit, dan berkata kepadamu, “Aku perlu merokok, di luar.”

Kau berdiri, membiarkanku lewat, dan aku melangkah meninggalkanmu. Kupikir, itu terakhir kali aku akan duduk sedekat itu denganmu. Tapi ternyata dugaanku keliru.

Keesokan pagi, saat jalan-jalan seperti biasa, langkahmu sampai di depan tempatku sarapan, dan kau tersenyum seperti hari-hari sebelumnya. Namun, kali ini, kau berhenti. Dan menyapa, “Sarapan?”

Aku tersenyum, “Ya, seperti biasa.”

Lalu jeda menggantung.

Kau menatapku, dan berkata, “Kau sangat pendiam.”

Sejujurnya, aku terkejut waktu itu, karena tak mengira kau akan melanjutkan percakapan. Jadi, sambil tersenyum kikuk, aku menjawab, “Sebenarnya, aku kurang mampu berkomunikasi dengan orang asing, khususnya perempuan asing.”

Kau tersenyum lebar. “Sepertinya kita bukan lagi orang asing.”

Ya, kau tidak asing bagiku. Karena setiap pagi aku melihatmu, menikmati senyummu, bahkan pernah duduk di sampingmu. Dan kini aku melihatmu berdiri di depanku, dengan sikap yang hangat. Aku memberanikan diri, “Kenapa kau tidak duduk di sini, agar bisa bercakap lebih nyaman?”

Dan, seperti kau tahu, begitulah awalnya.

....
....

Mungkin kau masih ingat, aku bertanya kepadamu, “Apa yang membuatmu sampai ke sini?”

Dan kau menjawab, “Tetirah.”

“Kuharap kesehatanmu membaik selama di sini.”

Kau mengangguk, lalu menyatakan, “Sebenarnya, bukan sakit fisik yang membuatku perlu istirahat, tapi... sakit pikiran, kalau kau tahu maksudku.”

Aku berkata menerawang, “Sepertinya, orang-orang yang datang ke sini punya tujuan serupa—tetirah, menenangkan pikiran.”

“Begitu pula denganmu?”

Aku mengangguk. “Begitu pula denganku.”

Lalu kita saling berbagi cerita. Beban, luka, dan hidup masing-masing. Aku mendengarkanmu, kisah kehilanganmu, air mata yang kerap runtuh setiap kali kau teringat... hingga keputusanmu untuk memilih hidup yang berbeda dengan orang lain.

Kau menceritakan, “Aku benci mengingat saat-saat kakakku masih hidup, melihat dia menjalani hubungan yang begitu buruk dengan pasangannya. Ada masa-masa saat dia pulang ke rumah, dan menangis di kamarku. Belakangan, saat dia telah meninggal, dan aku kembali terbayang saat-saat itu, aku sering tak kuasa menahan tangisku yang runtuh. Dan bayangan itu bisa muncul kapan pun. Ada waktu-waktu ketika aku sedang menyetir sendirian, dan terpaksa menepikan mobil, karena tangis yang runtuh.”

“Sekarang,” ucapmu, “aku hanya ingin menjalani hidup sebagaimana yang kuinginkan.”

Aku mengagumi tekadmu. Sebenarnya, aku mengagumi dirimu. Kau perempuan yang sangat menawan, yang pasti membuat banyak laki-laki jatuh cinta kepadamu. Tetapi kau memutuskan untuk tidak menikah, menutup hatimu untuk siapa pun.

Kau mengatakan, “Ini bukan keputusan mudah. Kau tahu bagaimana masyarakat kita setiap kali melihat orang yang dinilai berbeda. Aku merasa, mereka tidak memahami yang kualami, atau yang kurasakan. Mereka hanya ingin aku sama seperti mereka—menikah, berkeluarga—seolah semua urusan dunia dan masalah manusia selesai hanya dengan itu.”

Dan aku membayangkan diriku sendiri. Bahkan meski aku laki-laki, tekanan masyarakat yang kuhadapi begitu berat, karena tidak menikah. Aku tidak bisa membayangkan seberat apa tekanan yang kauhadapi, untuk hidup yang kaupilih.

“Setelah kakakku meninggal usai melahirkan anaknya, aku tidak punya keinginan lain, selain merawat dan membesarkan anak yang ditinggalkannya. Aku mencintai anak itu, sebesar aku mencintai kakakku.”

Aku tidak tahu bagaimana hubungan antara kakak dan adik perempuan. Lebih khusus, aku tidak tahu bagaimana hubunganmu dengan kakakmu. Karena kita memiliki latar belakang jauh berbeda. Kau hidup dalam keluarga yang harmonis, saling menyayangi, menikmati kebahagiaan hidup sejak kecil sampai dewasa. Aku menjalani kehidupan yang bertolak belakang dengan kehidupanmu, dan aku tidak bisa membayangkan yang kaurasakan.

“Keponakanmu pasti anak yang beruntung,” ujarku akhirnya.

Kau tersenyum. “Aku tidak menganggapnya keponakanku. Aku menganggap dia benar-benar anakku.”

“Kalau begitu,” aku membalas senyummu, “kau pasti ibu yang baik.”

....
....

“Bagaimana denganmu? Apa yang membuatmu sampai ke sini?”

Butuh waktu sesaat bagiku untuk menjawab, karena aku harus menemukan kalimat yang tepat. “Aku ke sini untuk menyepi.”

Lalu kau mendengarkanku, dengan perhatian yang tulus.

“Ada banyak hal yang membebani pikiranku, akhir-akhir ini, dan aku merasa letih. Karenanya, aku ke sini untuk menyepi. Semacam mengisi ulang baterai, agar aku bisa tetap menjadi manusia.”

Betapa mudahnya membuka diri, saat kau menemukan orang yang tepat, pendengar yang empatik, dan itulah yang kurasakan saat bersamamu. Kau kawan bicara yang baik, tahu cara mendengarkan, hingga—entah bagaimana—aku sudah bercerita banyak hal kepadamu.

“Seberat apa pun duka yang kaurasakan, kupikir kau masih beruntung karena memiliki orang-orang yang kaucintai dan mencintaimu. Setidaknya, kau tidak merasa sendirian, karena ada orang-orang terdekat yang bisa memahamimu, yang mendukungmu.”

Kau mengangguk. “Aku juga berpikir seperti itu.”

“Dan itu hal yang tidak kumiliki.” Setelah terdiam sesaat, aku berkata perlahan, “Aku merasa sendirian, karena tidak ada yang memahami. Aku punya keluarga, tentu saja. Tetapi, berbeda dengan keluargamu yang memberi dukungan dan menguatkanmu, yang kuhadapi justru sebaliknya. Saat kau letih dan butuh orang lain, kau bisa pulang ke keluargamu. Aku justru merasa ketakutan, atau prihatin, setiap kali akan bertemu keluargaku, karena yang kutemui hanya beban, masalah, dan bencana. Keluarga mengajarkanmu tentang cinta dan kepercayaan kepada orang lain, tapi keluargaku justru membuatku kehilangan kepercayaan kepada siapa pun.”

Kau mencoba membesarkan hatiku. “Hanya orang-orang tegar yang bisa berdiri sendirian.”

Aku tersenyum. “Sebenarnya, aku tidak setegar yang mungkin kaubayangkan. Kadang aku merasa serapuh layang-layang.”

“Aku yakin kau bukan layang-layang putus benang.”

“Mungkin,” jawabku, “tapi layang-layang berbenang sutra. Dihempas angin, terbang melayang tak tentu arah, dengan benang tipis yang begitu peka... sewaktu-waktu bisa putus kapan saja. Aku kadang merasa kehilangan pijakan pasti, antara terus membiarkan diri dihempas angin, atau membiarkan benang putus agar aku jatuh... di tempat yang mungkin kuiinginkan... lalu hilang.”

 
;