Sabtu, 26 September 2015

Noffret’s Note: Luka (2)

Kita tak pernah tahu beban dan masalah yang ditanggung
orang per orang. Yang kita lihat hanyalah sebatas permukaan.
—Twitter, 15 Maret 2015

Yang paling sakit bukan luka yang tampak.
Sering kali, yang paling pedih adalah luka yang tak terlihat.
—Twitter, 1 Agustus 2015

“Hidupku penuh luka,” kata seseorang. Sejak itu, kami berteman.
—Twitter, 2 Agustus 2015

“Aku tak tahu dosa apa yang kulakukan
hingga terlahir dan hidup di tempat penuh amarah, luka,
dan kemurkaan ini.” —Seseorang, bukan di Gaza
—Twitter, 2 Agustus 2015

Setiap orang, mungkin, menanggung duka dan kepedihannya
masing-masing. Yang riang tertawa bukan berarti tak pernah luka.
—Twitter, 2 Agustus 2015

Sering kali aku ngeri membayangkan anak-anak tak berdosa
dilahirkan hanya untuk mewarisi kebodohan, menanggung luka,
meratapi kelahirannya.
—Twitter, 2 Agustus 2015

Yang remaja meributkan hal-hal sepele, yang muda sibuk mengurusi
kesia-siaan, yang tua tak berhenti melahirkan bayi. Bumi yang malang...
—Twitter, 2 Agustus 2015

Lahir, tumbuh besar, dewasa, sibuk kerja, kawin,
punya anak-anak. Lalu anak-anaknya meneruskan hal sama,
dan begitu seterusnya. Manusia...
—Twitter, 2 Agustus 2015

Dunia adalah panggung sandiwara. Kebodohan adalah tragedi.
Dan manusia adalah ironi.
—Twitter, 2 Agustus 2015

“Aku dilahirkan hanya untuk menanggung luka dan kutukan,” kata temanku.
Lalu kami terdiam. Lama. Membiarkan luka-luka kami yang bicara.
—Twitter, 15 Maret 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
 
;