Seorang buruh serabutan, seorang penjual bubur, seorang tukang becak, seorang tukang sayur, dan seorang penjual nasi. Lima orang berbeda, tinggal di tempat berbeda, dengan latar belakang berbeda, namun memiliki impian yang sama—pergi haji ke Mekkah—meski impian itu bisa dibilang mustahil, mengingat kondisi dan kehidupan mereka.
Meski beribadah haji ke Mekkah mungkin tidak terlalu sulit bagi sebagian orang kaya atau berkecukupan, tetapi keinginan itu bisa menjadi “mustahil” untuk sebagian yang lain. Jangankan untuk beribadah haji ke Mekkah yang membutuhkan biaya sampai puluhan juta, untuk makan sehari-hari pun sebagian orang masih kesulitan. Tetapi, inilah mereka—orang-orang yang memegang teguh impian, dan berani membangun impian meski harus berhadapan dengan kemustahilan.
Seorang buruh serabutan, seorang penjual bubur, seorang tukang becak, seorang tukang sayur, dan seorang penjual nasi. Mereka memiliki kesamaan—miskin dan tidak berpendidikan. Tapi mereka juga memiliki kesamaan lain—memiliki impian, dan berani mengejarnya meski harus menempuh perjuangan dan pengorbanan bertahun-tahun.
Sang buruh serabutan bernama Ansori. Dia tinggal di Dusun Lojok, Kelurahan Kepel, Kecamatan Bugulkidul, Kota Pasuruan, Jawa Timur. Sedari kecil, Ansori telah hidup sebatangkara. “Bapak saya hilang entah ke mana pada waktu pendudukan Jepang, sementara ibu meninggal,” dia menceritakan.
Yatim piatu sejak kecil menjadikan Ansori hidup tidak jelas, karena tidak tahu harus kepada siapa menggantungkan diri. Tanpa orangtua, tanpa keluarga, Ansori kecil pernah menjalani hidup di pinggir sawah sampai dua tahun, karena tidak tahu harus tinggal di mana. Selama hidup di pinggir sawah, dia makan apa saja yang bisa ditemukan. Kadang dia menemukan buah, atau kebetulan ada orang yang kasihan dan memberinya makan seadanya.
Jika nasib sedang baik, dia bisa mengumpulkan rumput, yang kemudian ia tawarkan pada orang yang mungkin membutuhkan. Hasilnya kemudian bisa digunakan untuk makan. Tapi rumput tidak tumbuh setiap saat, dan tidak setiap hari ada orang yang mau membayar rumput.
Pernah, suatu hari Ansori tidak menemukan buah atau apa pun yang bisa dimakan, dan tidak ada orang yang kebetulan memberinya makan. Juga tidak ada rumput yang bisa ia kumpulkan. Sementara perutnya sudah sangat kelaparan. Didorong kelaparan yang tak tertahan, Ansori pun nekat memakan pecahan batu bata. Dia mengambil pecahan-pecahan batu bata yang kebetulan ditemukan, kemudian terpaksa memakannya.
Tapi batu bata bukan makanan manusia. Setelah perutnya “kenyang” karena terisi batu bata, tubuh Ansori “berontak”. Dia merasa sangat letih sampai tidak bisa bergerak, sementara haus tiba-tiba mencekik kerongkongan. Dia tidak sempat memikirkan kemungkinan itu. Jadi, setelah terbebas dari kelaparan, sekarang dia menghadapi kehausan luar biasa. Dengan tubuh lemas, Ansori pun merangkak ke sungai, demi bisa minum air, untuk meredakan haus di kerongkongan.
Pengalaman itulah yang kemudian melecut pikiran Ansori. Dia tidak bisa terus hidup di sawah—dia harus bergerak, jika ingin nasibnya berubah. Maka Ansori pun memutuskan menggelandang. Dia masih awal remaja waktu itu—sendirian, tak punya apa-apa, tak memiliki siapa-siapa, dan menggelandang di jalanan. Dia tidur di sembarang tempat, memakan apa saja yang bisa ditemukan, dan kadang-kadang mengemis jika tidak bisa menemukan apa pun sementara dia butuh makan.
“Saya baru berhenti menggelandang setelah menikah,” ujar Ansori. Dia menikah dengan seorang wanita bernama Arliyah. Pernikahan mereka hanya diresmikan di KUA. Setelah menikah, Ansori bekerja serabutan, termasuk menjadi buruh tani dan kerja apa pun yang dapat menghasilkan uang. Jika tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan, Ansori akan mengemis. Memiliki istri menjadikan Ansori lebih termotivasi menjalani hidup, karena mempunyai seseorang yang bisa dipercaya, seorang pasangan yang bisa diajak menjalani hidup bersama.
Tetapi kemudian Arliyah meninggal dunia, dan Ansori kembali hidup sebatangkara. Menyadari telah kehilangan seseorang yang memotivasi hidupnya, Ansori pun mencari hal lain yang dapat kembali menyalakan semangat, agar dia terus bertahan menjalani kehidupan. Lalu dia menemukan motivasi baru. Dia ingin pergi haji ke Mekkah. Keinginan itu tidak hanya membuatnya mampu terus bertahan hidup, tapi juga membangkitkan semangat di dalam jiwanya.
Kalau saja impian pergi haji ke Mekkah didengar teman-temannya, Ansori pasti akan ditertawakan, dan dia mungkin akan diberitahu bahwa impiannya terlalu muluk-muluk, bahwa keinginannya mustahil, dan sebaiknya kubur saja impian itu. Tapi Ansori memendam impian itu sendirian, di lubuk hatinya yang terdalam, dan hanya tahu satu hal—dia akan mewujudkan impiannya. Karena hanya dengan impian itulah dia memiliki semangat untuk meneruskan hidup.
Dalam sehari, rata-rata uang yang diperoleh Ansori hanya sekitar Rp. 20.000. Bagaimana bisa seorang berpenghasilan Rp. 20.000 per hari punya impian naik haji?
Caranya sangat mudah, setidaknya bagi Ansori. Dari penghasilannya yang kecil, Ansori menggunakan Rp. 15.000 untuk makan, sementara Rp. 5.000 sisanya ditabung. Karena tidak berpendidikan, Ansori tidak tahu cara menabung di bank. Jadi, dia memutuskan untuk menitipkan uangnya pada seorang teman yang ia percaya, bernama Hanafi.
Jadi begitulah. Setiap hari, Ansori menyisihkan Rp. 5.000 dari penghasilannya, yang lalu ia titipkan pada Hanafi. Kadang-kadang, jika rezeki berlebih, dan dia mendapat uang lebih banyak, dia pun menabung lebih banyak. Ansori melakukan hal itu bertahun-tahun, sampai lebih dari 20 tahun. Sebuah cara yang mudah, sederhana, tanpa teori macam-macam, tapi terbukti mampu mengalahkan kemustahilan. Akhirnya, setelah bertahun-tahun berjuang, Ansori berhasil mengumpulkan sejumlah uang yang cukup untuk membayar biaya haji ke Mekkah!
Dia dijadwalkan berangkat ke Mekkah pada 8 September 2015, dan tergabung dalam kloter 44 dari Pasuruan. Saat sampai di Mekkah, mungkin Ansori menyadari, bahwa kemiskinan dan keterbelakangan tidak mampu mengalahkan siapa pun yang punya impian... dan berani mengejar impiannya meski harus berjuang dan berkorban bertahun-tahun. Saat berangkat haji, usia Ansori telah 78 tahun. Tapi dia pasti termasuk manusia yang dapat tersenyum puas menatap kehidupan, karena menyadari usianya tak sia-sia.
Tidak jauh beda dengan Ansori di Pasuruan, di Banyumas juga ada wanita yang berhasil mengejar impian sama—berangkat haji ke Mekkah. Namanya Sariyah, warga Desa Karanglewas Kidul, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas.
Setelah suaminya meninggal, Sariyah harus berjuang sendirian menghidupi keluarga. Untuk menyambung hidup, ia berjualan bubur candil keliling, keluar masuk kampung di daerahnya. “Setiap hari, dari hasil keliling jualan bubur candil, biasanya saya dapat Rp 20.000 sampai Rp 30.000,” dia menceritakan. “Kadang-kadang malah kurang dari itu.”
Meski penghasilannya bisa dibilang pas-pasan, bahkan untuk makan saja kadang kurang, tapi Sariyah punya impian “mustahil”—dia ingin berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dan dia menempuh cara yang sama seperti yang dilakukan Ansori—menyisihkan penghasilan yang tak seberapa, dan ditabung. Dia menuturkan, “Saya tidak bisa setiap hari menabung. Kadang dua atau tiga hari sekali. Malah kalau tidak ada sisa uang, saya baru menabung setelah seminggu.”
Tetapi dia akhirnya berhasil mewujudkan impian mustahil itu. Setelah puluhan tahun menabung, Sariyah akhirnya bisa mengumpulkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membiayai impiannya. Dia mendaftar pemberangkatan haji ke Kantor Kementerian Agama Banyumas, menunggu antrean hingga empat tahun, dan akhirnya berhasil pergi ke Mekkah, ketika usianya menginjak 52 tahun.
Sementara itu, di Jember, ada orang lain lagi yang punya “impian mustahil”. Namanya Abdullah, warga Dusun Klanceng, Desa Ajung, Kecamatan Ajung, Jember, Jawa Timur. Sehari-hari, dia bekerja sebagai tukang becak. Penghasilannya tidak menentu. “Setiap hari, biasanya saya dapat Rp 15.000 sampai 20.000,” ujar Abdullah. Tetapi tidak jarang dia tidak mendapat uang sama sekali, karena tidak ada yang menggunakan jasanya.
Jadi, kehidupan Abdullah juga bisa dibilang pas-pasan. Meski begitu, orang ini punya impian yang tidak main-main—dia ingin berangkat haji ke Mekkah. Teman-temannya sesama tukang becak mungkin akan tertawa kalau saja mendengar impian itu, dan bisa jadi mereka akan meminta Abdullah berkaca. Tapi Abdullah percaya pada impiannya, dan bertekad untuk mengejarnya.
Abdullah tahu, satu-satunya cara untuk mewujudkan impiannya ke Mekkah hanyalah dengan mengumpulkan uang. Jadi, itulah yang dia lakukan. Jika ada rezeki berlebih, dia menyisihkan sebagian untuk ditabung. “Saya tidak nabung setiap hari,” tuturnya. “Kadang tiga hari sekali. Malah kalau tidak ada sisa dari menarik becak, saya baru menabung setelah satu minggu. Itu pun sekali menabung hanya Rp 25.000.”
Tetapi yang sedikit demi sedikit itu lama-lama menjadi bukit. Setelah 26 tahun menabung dengan tekun, akhirnya Abdullah berhasil mewujudkan impiannya. Dia berangkat haji ke Mekkah, ketika usianya 65 tahun.
Masih di Jawa Timur, kali ini di Probolinggo, ada orang “nekat” lain yang sama punya impian “mustahil”. Namanya Asizah, dan setiap hari biasa jualan sayur. Orang-orang biasa memanggilnya Nenek Asizah. Dia tinggal di Jalan Supriadi, Kanigaran, Kota Probolinggo.
Ketika pertama kali mencetuskan niat untuk berangkat haji, usia Asizah sudah 65 tahun—usia yang tidak bisa dibilang muda untuk mengejar impian. Tetapi nenek satu ini rupanya bukan nenek sembarangan. Meski usianya sudah tua, dia bertekad untuk mewujudkan impiannya. Mungkin dia tahu, tidak ada kata terlambat untuk mengejar impian.
Jadi, sejak menetapkan niat, Asizah pun mulai menabung dengan menyisihkan penghasilannya. Setiap hari, kadang dia menabung Rp. 2.000. Jika rezeki berlebih, dia pun menabung lebih banyak, bahkan kadang bisa Rp. 50.000. Bersama usia yang terus menanjak, bersama fisiknya yang makin renta, Asizah terus percaya pada impiannya. Dan impian itu akhirnya terwujud. Setelah 20 tahun berusaha dan berupaya, Asizah benar-benar berangkat haji ke Mekkah, ketika usianya 85 tahun.
Selain Asizah, ada wanita lain yang tidak mau dikalahkan usia. Namanya Halimah, warga Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Poliwali Mandar, Sulawesi Selatan. Sehari-hari, Halimah berjualan nasi kuning yang ia jajakan dengan gerobak. Halimah ingin berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji. Tapi dia tahu, impian itu sulit tercapai. Pertama, penghasilannya dari berjualan nasi selalu habis untuk menghidupi keluarga. Kedua, dia juga merasakan fisiknya makin lemah karena usia yang kian renta. Saat berjualan, kadang dia harus istirahat lama di tengah jalan, melemaskan kaki, dan menunggu tenaganya pulih.
Usianya sudah 60 tahun. Di usia yang senja itu, dia tidak hanya terus bertahan hidup dan berjuang menghidupi anak-anaknya, tapi juga bertekad mewujudkan impiannya—berangkat haji ke Mekkah. Kisah ini tidak perlu dilanjutkan, karena kalian tentu sudah tahu kelanjutannya. Halimah, nenek renta sang penjual nasi, akhirnya berhasil berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Ansori di Pasuruan, Sariyah di Banyumas, Abdullah di Jember, Asizah di Probolinggo, dan Halimah di Sulawesi, bisa dibilang bukan orang-orang luar biasa. Mereka orang biasa seperti yang biasa kita lihat di sekitar—orang-orang yang mungkin miskin, tidak berpendidikan, berpenampilan sederhana, tapi mereka memiliki satu hal yang tidak dimiliki kebanyakan orang lain.
Mereka memiliki impian, dan percaya, dan bertekad, dan berjuang, dan berkorban, dan bekerja, dan berdoa, demi mewujudkan impian. Mereka orang-orang biasa yang memiliki jiwa luar biasa.
Mereka mungkin tidak kenal David J. Schwartz, Norman Vincent Peale, Napoleon Hill, Anthony Robbins, atau bahkan Paulo Coelho. Tapi mereka telah membuktikan satu kebenaran penting di bawah langit, “Jika seorang manusia bertekad mengejar impian sampai titik darah penghabisan, maka alam semesta akan berkonspirasi untuk mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan.”