Cieee, yang dari tadi ngeriset. Udah dapet belum?
Google nggak bisa ngasih apa-apa, ya? Ciyan...
—@noffret
Google nggak bisa ngasih apa-apa, ya? Ciyan...
—@noffret
Kami duduk berhadapan, dipisahkan meja dengan asbak dan gelas-gelas setengah kosong. Setelah bercakap-cakap sesaat, dia membuka netbook miliknya, dan menghadapkan layarnya ke arah saya. Sebuah foto terlihat memenuhi layar netbook.
“Kenal orang ini?” tanyanya.
Saya mengangguk. Di foto, tampak seseorang sedang melangkah keluar dari sebuah gedung bank—wajahnya hanya sekilas menatap kamera. Tampak sekali foto itu diambil tanpa sepengetahuan subjek yang dibidik. Meski hanya melihat profil sampingnya, tapi saya tahu siapa orang dalam foto itu.
“Gilas,” saya menjawab. “Gilas Simangunsong.”
Dia mengangguk. “Bagaimana kau mengenalnya?”
Saya mengisap rokok sesaat. Kemudian, di antara asap yang mengepul, saya menjelaskan, “Pada awal 2000-an, aku memimpin sebuah penerbitan majalah. Kau juga tahu soal itu. Karena ketatnya persaingan pasar, dan beberapa hal tak terduga yang terjadi, majalahku nyaris kolaps. Gilas kemudian mengakuisisi majalahku. Dia sudah lama bermain di bisnis media. Sejak itu, dia mengambil alih semua urusan penerbitan milikku, bahkan mengganti nama majalah itu. Well, itu awal perkenalanku dengannya.”
“Dan kalian berteman, setelah itu?”
“Tentu saja. Tetapi, karena kami punya kesibukan masing-masing, bisa dibilang kami sangat jarang ketemu.”
Dia mengangguk lagi. “Kau tahu siapa dia—maksudku si Gilas ini?”
“Tentu saja aku tahu siapa dia. Well, siapa yang tidak?”
Sesaat terdiam. Lalu dia berujar perlahan-lahan, “Jadi, kita sama-sama tahu siapa orang ini—Gilas Simangunsong. Orang yang menguasai dan mengendalikan tujuh belas media, salah satu bocah yang memiliki kemampuan mempengaruhi jutaan orang melalui media-media miliknya, yang rutin terbit setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Apakah pernyataanku benar?”
“Ya.” Saya mengangguk.
Dia lalu mengarah ke netbook, dan membuka laman Google. Setelah itu, dia mengetikkan nama “Gilas Simangunsong” di search engine. Google pun menampakkan hasil pencarian yang semuanya berkaitan dengan nama Gilas Simangunsong.
“Lihat,” dia berkata sambil menunjuk layar netbook.
Saya menatap layar netbook, dan menggumam, “Anything?”
Dia menjelaskan, “Nama Gilas Simangunsong hanya menghasilkan 500-an hasil di Google. Itu pun tidak ada yang berkaitan dengannya—hanya nama-nama orang lain yang kebetulan sama. Jika kita menggunakan tanda kutip, hasil yang muncul di Google cuma beberapa biji. Itu pun bukan nama Gilas yang kita kenal.”
“So?”
“So?” Dia menatap saya. “Tidakkah itu sangat tak masuk akal?”
Saya tersenyum. “Kenapa itu harus tak masuk akal? Well, maksudku, Google hanya mengindeks apa pun yang bisa dijangkau robotnya di internet. Kalau nama Gilas tidak muncul di Google, artinya memang tidak ada web yang memuat nama Gilas, sehingga Google tidak mengindeks. Jadi, di mana tidak masuk akalnya?”
“Sekarang, lihat ini.” Setelah itu, dia mengetikkan namanya sendiri ke search engine, dan menekan Enter. Seketika, Google memunculkan laman hasil indeks yang berkaitan dengan namanya. Jumlahnya lebih dari sejuta.
“See?” dia menatap saya dengan pandangan berharap. “Aku bukan siapa-siapa—khususnya jika dibandingkan Gilas temanmu itu. Tetapi, meski begitu, Google mengindeks sejuta link yang semuanya berhubungan dengan namaku.”
Kembali saya tersenyum. “Kenapa itu harus aneh? Kau muncul di mana-mana, diwawancarai banyak media, mengomentari berbagai hal, dan ocehanmu masuk koran. Oh, well, mereka bahkan menelan ocehan-ocehanmu seperti kawanan burung nasar. Tentu wajar kalau namamu berkaitan dengan banyak hal di internet—web, blog, portal, feed, sebut apa pun.”
“Dan kenapa Gilas tidak?”
“Dan kenapa Gilas tidak?” saya balik bertanya. “Karena dia memang tidak memunculkan diri. Dia punya banyak media. Kalau dia memang ingin muncul di media mana pun, itu semudah membalikkan telapak tangan.”
“Dan kenapa dia tidak melakukan itu?”
Saya mengisap rokok sesaat, kemudian berujar perlahan, “Well, my friend, hidup adalah soal pilihan.”
Sekarang dia tersenyum. “Itu filosofimu. Yang ingin aku tahu, apakah Gilas juga berpikir seperti itu?”
“Kau mau aku menanyakannya?”
Dia mengangguk. “Aku akan sangat menghargai.”
Saya mengeluarkan ponsel, dan menghubungi nomor Gilas. Saya juga membuka loudspeaker, agar orang di hadapan saya bisa mendengar suara Gilas. Setelah itu, saya letakkan ponsel di meja, dan terdengar nada sambung.
“Halo,” suara Gilas di ponsel.
“Hei, Gilas,” saya menyapa. “Ini aku.”
“Yeah, senang menerima teleponmu. Apa kabar?”
Saya tersenyum. “Sebaik dan seburuk biasa. Well, aku sedang bersama seseorang saat ini, yang ingin tahu kenapa kau tidak pernah muncul di media mana pun, hingga namamu tidak terindeks di Google.”
Terdengar suara Gilas tertawa. “Kenapa tidak kau saja yang menjelaskan?”
“Aku sudah menjelaskan, tapi dia ingin kau yang menjelaskan.”
“Kalau begitu,” ujar Gilas, “katakan pada temanmu, kita tak pernah tahu apa yang tidak kita tahu.”
Setelah mematikan sambungan di ponsel, saya menatap orang di depan saya, dan berkata, “Kau telah mendengarnya. Kita tak pernah tahu apa yang tidak kita tahu.”
Dia menatap saya beberapa lama, kemudian berujar, “So, apa artinya itu?”
Saya mematikan puntung rokok di asbak, mengambil gelas, menghabiskan isinya, kemudian berkata perlahan-lahan, “Kita hidup di zaman absurd, ketika orang-orang tolol tiba-tiba merasa pintar hanya karena ada Google. Mereka pikir Google itu apa? Tuhan? Orang-orang itu menganggap semua hal ada di internet, dan dapat dicari lewat Google. Jika sesuatu terdapat di Google, artinya sesuatu itu memang ada. Jika tidak ada, mereka pun berpikir sesuatu itu tidak ada. Tolol sekaligus absurd!”
Saya menyulut rokok baru, dan melanjutkan, “Berapa kali kita mendengar orang-orang mengatakan dengan sok percaya diri, ‘googling saja!’ seolah-olah Google akan tahu segalanya, dan bisa menjelaskan apa saja. Sebenarnya tidak masalah, karena toh nyatanya Google bisa memberikan milyaran informasi yang kita cari. Yang sering jadi masalah adalah, orang-orang itu cenderung menganggap sesuatu tidak ada hanya karena mereka tidak bisa menemukannya di Google. Jadi, kepercayaan mereka terhadap Google sudah menyerupai iman—sejenis kepercayaan yang tak bisa dibantah. Mereka percaya jika sesuatu dapat dicari di Google, dan mereka tidak percaya jika sesuatu tidak bisa ditemukan di Google.”
Dia menggumam, “Seperti Gilas Simangunsong.”
Saya mengangguk. “Seperti Gilas Simangunsong. Kita tahu siapa dia, dan kita sama-sama mengagumi kehebatan serta besarnya pengaruh yang dimilikinya. Tapi tidak ada satu pun berkas yang bisa kita temukan di Google—tidak ada artikel, tidak ada berita, tidak ada foto, apalagi biografi dan kehidupannya. Sebenarnya, hal semacam itu tidak hanya terjadi pada Gilas. Aku bisa menyebutkan selusin nama lain yang sama hebat, tapi tidak bisa dilacak melalui Google—termasuk ilmuwan, pemikir, penulis, pemilik media, dan lainnya. Alexey Mordashov, misalnya. Atau Charles Butt. Atau German Larrea Mota Velasco. Kenal nama-nama itu? Mereka masuk dalam daftar seratus orang paling kaya Forbes tahun ini. Tapi Google tidak tahu apa-apa tentang mereka. Memang ada beberapa link yang diindeks Google berkaitan dengan nama mereka. Tapi link-link itu tidak memberitahu apa-apa, selain informasi yang semua orang sudah tahu. Coba lihat, mereka orang-orang hebat, berpengaruh, bahkan masuk daftar seratus orang paling kaya di dunia. Tapi Google tidak tahu apa-apa tentang mereka!”
Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, dengan nada ragu, dia berkata, “Kalau mendengar penjelasanmu barusan, aku jadi berpikir jangan-jangan masih banyak hal yang juga tidak diketahui Google.”
“Memang seperti itulah kenyataannya!” Saya mengisap rokok sesaat, dan melanjutkan, “Karena itulah, aku sering kasihan campur jengkel pada orang-orang yang menganggap Google seolah Tuhan, kemudian mendasarkan kepercayaan atau ketidakpercayaan mereka semata pada Google. Memang benar Google adalah search engine hebat yang dapat memberikan informasi apa pun yang kita inginkan. Tetapi, bagaimana pun, Google bukan Tuhan. Pengetahuan Google, sehebat apa pun, tetap terbatas, karena memang Google tidak mahatahu. Dengan kata lain, sungguh riskan jika kita menyandarkan kepercayaan atau ketidakpercayaan semata pada Google.”
Dia mengangguk-angguk. “Tetapi, sayangnya, tidak banyak orang menyadari kenyataan itu, eh? Sebenarnya, aku pun semula sangat mempercayai Google, dan berpikir apa pun atau siapa pun bisa dilacak serta ditemukan di Google.”
“Karena itulah, seperti yang kukatakan tadi, kita hidup di zaman absurd, ketika kepercayaan atau ketidakpercayaan disandarkan pada mesin bernama Google. Oh, aku bahkan pernah menjumpai keparat idiot yang dengan jumawa menuduh seseorang berbohong, hanya karena keterangan orang tersebut tidak bisa ditemukan di Google. Apa yang lebih absurd dan lebih idiot dari itu? Dia lebih mempercayai mesin daripada kejujuran manusia. Oh, well, dia pikir Google itu apa?”
Sejenak, keheningan hadir di antara kami. Dia menyesap sisa minumannya, sementara saya mengisap rokok.
“Sekarang, yang ingin aku tahu,” dia berujar perlahan, “kenapa ada orang-orang hebat di dunia ini, yang justru tidak bisa dilacak dan ditemukan di Google? Seperti Gilas temanmu, misalnya. Jujur sajalah, orang-orang seperti dia seharusnya mudah ditemukan atau dicari datanya di internet, mengingat ada banyak orang tidak jelas yang bisa dilacak lewat Google. Kenapa orang seperti Gilas justru sulit dilacak identitas dan kehidupannya, bahkan sama sekali tidak dikenali oleh Google?”
Saya tersenyum. “Karena... hidup adalah soal pilihan. Dan kita tak pernah tahu apa yang tidak kita tahu.”