Sabtu, 26 September 2015

Tumbal

“Hidupku penuh luka,” kata seseorang.
Sejak itu, kami berteman.
@noffret


—Terima kasih untuk Sam,
yang telah mengizinkan kisahnya diposting di sini.


“Aku ini tumbal,” dia berkata. “Tumbal kebodohan sepasang manusia yang menjadi orangtuaku. Dosa apa aku, hingga dilahirkan ke dunia hanya untuk menanggung penderitaan dan luka yang tak juga sembuh?”

Asap rokok mengepul dan bergulung-gulung di ruangan tempat kami bercakap—empat tahun yang lalu. Malam itu, saya duduk di hadapan Sam, bersama bungkus rokok, asbak, dan sepoci teh panas. Sam pribadi yang tertutup. Tapi dia bilang merasa nyaman juga percaya bercakap-cakap dengan saya, hingga merasa bebas untuk menyatakan apa pun yang ada dalam pikirannya. Seperti malam itu, saat dia menyatakan bahwa dirinya adalah tumbal.

“Aku sering merasa, aku hanya segumpal kebencian,” ujar Sam dengan ekspresi pahit. “Aku membenci orangtuaku, membenci keluargaku, membenci takdirku, membenci kehidupan, bahkan membenci diriku sendiri. Tidak ada apa pun yang tersisa dariku selain kebencian. Kebencian akibat luka yang tak pernah berakhir...”

Saya diam. Menunggu dia meneruskan.

Sam mengisap rokoknya, terdiam sesaat, kemudian menatap saya. “Bagaimana menurutmu?”

Saya menyahut, “Menurutku, kau tentu berhak berpikir seperti itu.”

Di luar dugaan, dia tersenyum. “Aku tidak menyangka kau akan berkata begitu.”

Saya membalas senyumnya. “Aku bukan gurumu, juga bukan orangtuamu. Aku temanmu.”

Senyumnya makin lebar. “Itulah yang kusuka darimu. Kau tidak menghakimi, tidak menceramahiku seperti bangsat-bangsat sok pintar yang pernah berbicara denganku. Selama ini, aku tidak pernah bicara lebih dari sepuluh kalimat dengan orang lain, gara-gara keburu muak melihat tingkah mereka yang mudah menghakimi dan suka menceramahi. Tapi sekarang aku ingin bicara panjang lebar denganmu.”

“Aku mendengarkan.”

....
....

Sam lahir di sebuah keluarga miskin. Dia anak pertama dari lima bersaudara. Ayahnya seorang buruh pabrik, sementara ibunya bekerja apa saja agar bisa menambah penghasilan keluarga yang pas-pasan.

Di film-film, atau dalam kisah-kisah klise, keluarga miskin sering digambarkan sebagai keluarga harmonis bahkan indah, dengan rumah sederhana namun asri, dan orang-orang di dalamnya sangat rukun serta saling menyayangi. Tetapi, dalam realitas—setidaknya dalam realitas Sam—keluarga miskin adalah miniatur neraka.

Sejak SD, Sam harus mencari uang sendiri, dan dia mengamen di jalan-jalan. Hasilnya tidak banyak. Tetapi bahkan hasil yang tidak banyak itu pun sering diminta ibunya. Setiap hari di masa kecilnya, Sam sering merasa tertekan. Tertekan oleh kehidupan yang miskin, tertekan oleh pergaulannya, tertekan oleh nasibnya, juga tertekan menyaksikan orangtuanya yang tampak selalu susah.

Mungkin akibat tekanan pikiran yang dirasakannya, Sam sering bermimpi buruk, dan juga mengompol saat tidur. Itu terjadi hingga dia SMP. Setiap kali Sam mengompol, ayahnya akan menghajarnya habis-habisan, seolah Sam baru saja melakukan kejahatan. Tidak cukup menghajar, ayah Sam bahkan mempermalukan Sam dengan menganiaya di depan para tetangga. Hal itu biasa terjadi pagi hari, menjelang Sam sekolah.

Jadi, para tetangga pun tahu Sam sering mengompol. Anak-anak tetangga, yang menjadi teman sepermainan Sam, juga tahu hal itu. Setiap kali Sam dihajar ayahnya di depan rumah, mereka tahu kalau Sam mengompol tadi malam. Kenyataan itu menjadikan Sam sering menjadi bahan olok-olok atau bully teman-temannya. Karena sebagian anak tetangga juga bersekolah dengannya, Sam pun sering menjadi korban bully di sekolah.

Penganiayaan ayah Sam tidak hanya terjadi ketika Sam mengompol. Karena berbagai sebab, Sam sering harus menerima penganiayaan ayahnya. Jadi, sepulang sekolah, Sam harus mengadu nyawa di jalanan menjadi pengamen. Di rumah, dia juga harus sering menangis karena penganiayaan ayahnya. Waktu itu Sam baru memiliki dua adik. Adik-adiknya masih sangat kecil, dan Sam—si sulung atau yang paling besar—sering menjadi sasaran kemarahan.

Tetapi yang kejam bukan hanya ayahnya. Ibu Sam juga sangat ringan tangan. Jika ayahnya sering menampar atau menghantamkan sesuatu kepadanya, ibunya sering menjambak dan menyabet-nyabetkan apa saja. Dan selalu ada alasan untuk penganiayaan demi penganiayaan itu. Satu hari tanpa tangisan adalah hari istimewa bagi Sam kecil. Satu hari tanpa kemarahan orangtuanya jauh lebih indah dibanding hari raya.

Malam itu, saat dia menceritaan masa kecilnya yang sangat pahit, Sam menyatakan, “Kini, setelah dewasa, aku menyadari bahwa kemarahan orangtuaku kepadaku sebenarnya refleksi kemarahan serta kekecewaan mereka terhadap diri sendiri.”

Dia mengisap rokoknya sesaat, kemudian melanjutkan, “Orangtuaku menjalani kehidupan yang sangat susah. Ayahku bekerja keras dan hasilnya pas-pasan. Sore hari, sepulang kerja, dia masih harus menimba air, mengerjakan banyak hal, hingga tak sempat istirahat, dan dia terus melakukan hal itu setiap hari. Ibuku juga menjalani hari-hari yang terus menekan, dan serba kekurangan. Kondisi itu menjadikan mereka marah dan kecewa terhadap diri sendiri. Karena mereka tak bisa melukai diri sendiri, mereka pun melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya kepadaku.”

Ketika mengenal Sam di masa dewasanya, saya mengetahui Sam sosok yang sangat cerdas. Sebagian orang bahkan menyebutnya genius. Dia bisa mengingat banyak hal dengan detail-detail yang nyaris sempurna, hingga bisa menghafal apa saja tanpa bantuan catatan. Di sekolahnya dulu, meski dia jarang belajar karena kondisi hidupnya yang sangat susah, Sam terus menjadi juara. Dia murid berprestasi yang dipuji guru-gurunya di sekolah, tapi dianiaya orangtuanya di rumah.

Lulus SMA, Sam tidak bisa melanjutkan pendidikan karena tidak ada biaya. Dia sempat menganggur tiga tahun setelah lulus SMA, sampai kemudian sebuah lembaga menemukannya. Lembaga itu membutuhkan orang-orang yang memiliki IQ di atas rata-rata. Ketika mereka menelusuri riwayat Sam di sekolah—SD hingga SMA—mereka yakin Sam memenuhi kualifikasi. Jadi, mereka pun menemui Sam.

Kepada Sam, lembaga itu menawari kuliah—di mana pun yang diinginkan Sam, di dalam atau di luar negeri—dan mereka akan membiayai hidup serta kuliahnya sampai selesai. Tetapi dengan syarat, Sam harus kuliah sesuai jurusan yang mereka inginkan, dan bekerja untuk lembaga mereka setelah lulus kuliah. Mereka menawari insentif yang menggiurkan, dan Sam tidak punya alasan menolak.

Jadi, Sam kemudian kuliah. Dia tidak peduli harus kuliah jurusan apa pun—otaknya yang sangat cerdas dapat mencerna dan memahami apa pun dengan mudah. Karena dia ingin menjauh dari keluarga dan orangtuanya, Sam memilih kuliah di luar negeri. Selama enam tahun kuliah (dia kuliah hingga S2), Sam hanya pulang ke rumah orangtuanya tidak lebih dari sepuluh kali. Setelah lulus, seperti perjanjian sebelumnya, Sam bekerja untuk lembaga yang telah menguliahkannya.

Di masa dewasanya kini, Sam telah hidup mandiri, dengan pekerjaan yang memungkinkannya hidup berkecukupan. Meski begitu, Sam sangat tertutup, introver, dan kurang bisa bergaul. Saat bertemu orang yang baru kenal, Sam bahkan sering gagap atau tidak lancar berbicara. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana mendekati perempuan,” ujarnya kepada saya.

Kondisi itu, menurut Sam, tidak bisa dilepaskan dari masa kecilnya yang sangat pahit. Penganiayaan demi penganiayaan yang dilakukan orangtuanya, serta seringnya mereka mempermalukan dirinya di depan para tetangga, menjadikan Sam seperti kehilangan harga diri. Dia sering malu bertemu siapa pun, karena merasa semua orang telah menyaksikannya menangis dan menderita saat dianiaya dan dipermalukan ayah-ibunya.

Bahkan tidak cukup menganiaya dan mempermalukan, orangtua Sam juga sangat mudah mencaci Sam dengan makian mengerikan, dari “anak bangsat” (karena tanpa sengaja membuat adiknya menangis), “anak durhaka” (karena suatu hari tidak dapat uang dari mengamen), sampai “tukang maling” (karena Sam nekat mengambil tambahan lauk di rumah saat makan).

Sam pernah diguyur air kotor oleh ibunya di depan rumah, lalu diminta mengganti pakaian di depan orang-orang, termasuk di depan adik-adiknya. Di lain waktu, wajah Sam juga pernah diludahi ayahnya, di depan para tetangga yang menyaksikan. Berbagai perlakuan memalukan pernah dialami Sam di depan orang banyak, dan dia tidak pernah bisa melupakan. Bahkan, karena terbiasa melihat Sam dianiaya orangtua, adik-adik Sam pun menjadikan Sam sebagai kambing hitam untuk apa pun. Bukannya menghormati Sam sebagai kakak tertua, mereka menatap Sam sebagai tumpuan segala masalah.

Yang menjadikan Sam sangat membenci orangtuanya, semua penganiayaan yang ia terima bukan karena dia memang bersalah. Sam hanyalah lampiasan kekecewaan dan kemarahan orangtuanya, akibat beban hidup yang menekan. Seperti yang dibilang di atas, ayah ibunya menghadapi kehidupan yang serba kekurangan, dan mereka kecewa terhadap diri sendiri. Jadi, kalau terjadi suatu masalah sedikit saja di rumah, mereka menjadikan Sam sebagai lampiasan. Sam adalah korban dari sepasang orangtua yang kecewa kepada hidup.

Untuk hal itu, Sam menyatakan, “Aku menyadari, orangtuaku tidak berpendidikan. Dan seperti umumnya orang tidak berpendidikan, mereka pun mungkin menikah tanpa persiapan matang, kemudian punya banyak anak karena mungkin percaya setiap anak telah dijamin rezekinya. Tapi kenyataannya mereka keliru. Kehidupan kami sangat pas-pasan bahkan sangat kekurangan, dan mereka kecewa. Sialnya, bukannya menyadari kenyataan itu, mereka menjadikanku lampiasan kekecewaan.”

Ketika saya bertanya apakah adik-adiknya juga menghadapi penganiayaan orangtua mereka, Sam menyahut, “Itulah yang mengherankan. Adik-adikku sangat jarang mendapat kemarahan orangtua kami. Mungkin karena aku dianggap paling besar, dan kebetulan lelaki, aku yang sering menjadi korban.”

Penganiayaan demi penganiayaan yang memalukan di masa kecil itu terus terbawa dalam ingatan Sam sampai dewasa kini. Dia mengakui, hal itu sering menjadikannya sangat rendah diri. Karenanya, dia pun sangat tertutup, bahkan sering gagap saat harus berbicara dengan orang asing.

Sekarang, setelah dia dewasa dan bisa hidup mandiri, apakah penderitaannya telah selesai? Tidak—belum. Dan itulah yang menjadikan Sam sangat marah kepada kehidupan, kepada orangtuanya, kepada keluarganya, bahkan kepada diri sendiri.

Empat bulan sebelum meninggal, ayah Sam harus dirawat di rumah sakit karena penyakit komplikasi. Untuk hal tersebut, Sam yang harus membiayai perawatan dan pengobatannya, dan itu menguras tabungan Sam hingga benar-benar habis.

Setelah ayahnya meninggal, masalah belum selesai. Rumah yang ditinggali keluarga Sam adalah rumah warisan—milik kakek dari pihak ayah Sam. Ketika ayah Sam meninggal, saudara-saudara ayah Sam pun menuntut rumah tersebut. Hasilnya, ibu dan adik-adik Sam harus keluar dari sana. Menghadapi hal itu, Sam terpaksa berutang pada lembaga tempatnya bekerja, demi bisa membeli rumah untuk ibu dan adik-adiknya. Sampai dia menceritakan kisah ini, gaji bulanan Sam masih terus terpotong untuk melunasi utang itu.

Kemudian, tiga adik Sam sudah menikah, namun kehidupan mereka sama-sama menyedihkan. Kondisi keluarga mereka, menurut Sam, “sama persis dengan kondisi keluarga kami dulu, ketika ayah dan ibuku sering tertekan akibat hidup serba kekurangan.”

Menyaksikan kondisi hidup adik-adiknya, Sam tidak tega lepas tangan. Maka dia pun membantu mereka dengan menyisihkan gajinya. Satu lagi adiknya—yang paling kecil—masih sekolah, dan Sam yang harus membiayai.

Begitu pula dengan ibunya yang kini tua dan menjanda, Sam juga harus menghidupinya, karena adik-adiknya tidak mampu melakukannya. Jadi, kehidupan Sam sejak kecil sampai dewasa bagaikan rollercoaster—naik turun tanpa ketenangan, tanpa ketenteraman, tanpa kedamaian. Sam tidak tahu kapan beban hidupnya akan selesai... entah kapan penderitaannya akan berakhir.

“Aku sering terpikir untuk membeli revolver di pasar gelap, dan meledakkan kepalaku sendiri,” ujar Sam dengan nada frustrasi. “Tapi kemudian aku berpikir—kalau aku mati, bagaimana nasib ibu dan adik-adikku? Siapa yang akan membantu menghidupi mereka? Sejujurnya, aku membenci mereka. Tapi aku juga tidak tega meninggalkan mereka begitu saja.”

Saya terdiam mendengar pengakuan itu.

Sam juga terdiam cukup lama, mengisap rokoknya beberapa saat, kemudian berkata perlahan, “Karena itulah, aku sering berpikir telah menjadi tumbal,” ujar Sam mengakhiri ceritanya. “Tumbal kebodohan orangtuaku, tumbal kemiskinan dan kemelaratan. Aku tidak pernah minta dilahirkan. Tetapi aku dilahirkan hanya untuk menghadapi kepahitan, dan penderitaan, dan luka, dan trauma...”


PostScript:

Ketika saya minta izin Sam untuk menerbitkan kisah ini di blog, Sam mengizinkan, namun dia minta membaca naskahnya terlebih dulu. Jadi, catatan ini sebenarnya jauh lebih panjang, dengan detail-detail yang lebih mengerikan dan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam, tapi terpaksa saya hapus atas permintaan Sam.

Bagaimana pun, saya berterima kasih kepada Sam atas izin yang telah diberikan, dan semoga sekelumit catatan ini bisa memberikan kesadaran kepada kita semua... untuk berhenti melahirkan tumbal.

 
;