Seperti narkoba atau apa pun yang merusak di bawah langit,
pernikahan yang dilakukan tanpa pikiran dan pertimbangan bijak
bisa merusak manusia, menggerogoti akal sehat dan pikiran mereka,
hingga pelakunya tidak lagi hidup secara utuh sebagai manusia
dengan nurani dan kewarasan.
Orang-orang menyinyiri dan memprovokasi para lajang agar segera menikah. Ketika para lajang menyatakan bahwa mereka sedang berusaha membangun kehidupan agar lebih baik, dan tidak ingin buru-buru menikah, orang-orang menyatakan, “Menikah akan membuat hidupmu lebih baik, karena menikah akan melancarkan rezeki.”
Maka para lajang pun menikah, karena percaya bahwa menikah akan menjadikan hidup mereka lebih baik.
Setelah para lajang menikah, orang-orang kembali menyinyiri dan memprovokasi agar cepat punya anak. Ketika nyinyiran dan provokasi itu dijawab bahwa mereka ingin membangun hidup lebih baik, dan tidak ingin buru-buru punya anak, orang-orang menyatakan, “Punya anak membuat hidupmu lebih baik, tak perlu khawatir. Karena anak-anak memiliki rezeki sendiri.”
Lalu mereka pun punya anak. Bahkan, ketika sudah punya satu anak, orang-orang masih menyinyiri dan memprovokasi agar menambah anak. “Banyak anak banyak rezeki,” kata mereka.
Dan terjadilah yang terjadi.
Mereka, yang dulu punya impian indah ketika lajang, kemudian terjebak dalam keluarga dan berkutat hanya di seputar pasangan dan anak-anak, pasangan dan anak-anak, pasangan dan anak-anak, dengan berbagai masalah dan problematika yang tak juga selesai.
“Menikah akan membuat hidupmu lebih baik, karena melancarkan rezeki,” kata orang-orang. Tapi sebagian mereka menjalani perkawinan dengan realitas mengerikan. Dari pasangan yang bermasalah, sampai munculnya aneka persoalan yang tak terbayang.
Lalu orang-orang memprovokasi, “Punyailah anak-anak, karena akan menjadikan hidup lebih baik. Anak-anak memiliki rezeki sendiri.”
Dengan harapan dapat memperbaiki kehidupan, pasangan-pasangan itu pun memiliki anak. Tidak cukup satu, tapi beberapa. Berharap kehadiran anak-anak—entah bagaimana caranya—bisa memperbaiki kehidupan mereka yang rusak.
Tetapi realitas sering tak seindah omongan. Setelah anak lahir, kehidupan bukan menjadi lebih baik, tapi makin buruk. Jika semula masalah hanya datang dari pasangan, kini juga datang dari anak. Makin banyak anak, makin besar masalah. Pengeluaran dan kebutuhan kian bertambah, tumpukan masalah ikut bertambah. Kehidupan yang semula diimpikan indah, sama sekali tak terlihat. Bukannya melancarkan rezeki, mereka justru harus montang-manting, bahkan kadang terjerat utang, demi mendapat “rezeki”.
Lalu mereka menemui orang-orang yang dulu menyinyiri dan memprovokasi mereka, mencoba mempertanyakan realitas nasib mereka. “Kenapa kehidupan perkawinan yang kujalani bukan menjadikan hidupku lebih baik, tapi malah kacau? Kenapa keberadaan anak-anak bukan menjadikan rezekiku makin lancar, tapi malah membuatku terus menerus hidup tertekan akibat banyak kebutuhan?”
Dan orang-orang, yang dulu memprovokasi mereka, menjawab dengan enteng, “Lho, yang dimaksud rezeki dalam perkawinan tidak harus berbentuk uang...”
....
....
Kalau memang begitu kenyataannya, jelaskan sejak awal!
Sudah merusak kehidupan orang-orang lain, enak saja mengatakan, “Yang dimaksud rezeki dalam perkawinan tidak harus berbentuk uang...”
Waspadailah, para perusak manusia semacam itu ada di sekitar kita. Mereka akan mengatakan apa pun yang mungkin terdengar indah dan menyenangkan, agar kau segera menikah dan punya anak-anak. Mereka tidak peduli jika harus berbohong dan berbohong, berdusta dan berdusta. Tujuan mereka cuma satu, yaitu melihatmu sama keblangsak seperti mereka!
Bukan begitu, sialan?
Yang kalian lakukan adalah kejahatan, karena tidak hanya merusak kehidupan orang-orang lain, tapi juga merusak anak-anak yang kemudian mereka lahirkan.