Bersama seorang bocah, saya pergi ke suatu tempat. Saat perjalanan kami melewati jembatan, dia memelankan laju mobil, lalu membuka jendela, dan menyapa, “Hei, jembatan.”
Dengan heran, saya bertanya, “Kenapa kau menyapa jembatan?”
“Yeah... tidak ada salahnya menyapa jembatan,” dia menjawab.
Saya bingung. “Ya, aku tahu. Tapi... uh, kenapa kau menyapa jembatan?”
Dia menengok ke arah saya sesaat, dan balik bertanya, “Kau pernah menyapa jembatan?”
“Tidak... yeah, tentu saja tidak.”
“Kenapa kau tidak pernah menyapa jembatan?”
Saya makin bingung. “Yeah... dia jembatan, kenapa aku harus menyapa?”
Dia terdiam sesaat, lalu berujar, “Saat kita melewati jembatan tadi, di bawah kita ada sungai. Ingat?”
“Yeah... aku ingat, tentu saja ada sungai.”
“Umpama tadi tidak ada jembatan, kira-kira apa yang harus kita lakukan agar sampai di jalan ini?”
“Aku tidak tahu.”
Dia tersenyum. “Ayolah, kau pasti tahu.”
Saya berpikir keras. “Yeah... mungkin kita harus naik rakit, agar bisa menyeberangi sungai.”
Dia mengangguk. “Itulah kenapa aku merasa perlu menyapa jembatan.”
“Tolong jelaskan.”
“Jembatan itu ada di sana, memudahkan banyak orang menyeberangi sungai tanpa harus berenang, tanpa harus susah-susah naik rakit. Artinya, keberadaan jembatan memudahkan kita, melancarkan urusan kita. Tapi berapa banyak dari kita yang menyadari hal itu? Kita melewati jembatan setiap saat, dan menganggapnya tidak penting, bahkan mungkin menganggapnya tidak ada. Padahal, kita berutang kepadanya—pada jembatan—karena tanpanya kita pasti akan kerepotan.”
Saya manggut-manggut. “Karena itu, kau menyapa jembatan?”
“Karena itu, aku menyapa jembatan.”
....
....
Sejak itu, setiap kali melewati jembatan, saya akan melambatkan perjalanan, dan menyapa, “Hei, jembatan.”