Kalau aku bisa mengulang kelahiranku,
yang akan kulakukan adalah lebih banyak belajar,
lebih banyak membaca, dan lebih banyak bekerja.
Kita tentu pernah atau bahkan sering mendengar istilah “manajemen waktu”. Istilah itu sebenarnya membingungkan, untuk tidak menyebut keliru. Manajemen berkaitan dengan pengaturan, dan satu-satunya hal yang bisa diatur adalah sesuatu yang memang bisa diatur. Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa diatur. Jadi mau di-manage atau diatur bagaimana?
Waktu adalah sesuatu yang tetap dan pasti. Ada 24 jam dalam sehari semalam, ada 7 hari dalam seminggu, dan ada 12 bulan dalam setahun. Itu jumlah waktu tetap dan pasti yang dimiliki siapa pun yang masih hidup. Karenanya, mau di-manage dengan cara apa pun, waktu tidak bisa diubah. Karenanya pula, istilah “manajemen waktu” sebenarnya tidak merujuk kepada waktu, melainkan merujuk pada bagaimana kita menggunakan dan memanfaatkan waktu. Mungkin, istilah yang lebih tepat adalah “manajemen diri”.
Waktu tidak bisa diubah, bahkan tidak bisa diutak-atik. Tetapi, kita selalu bisa mengubah diri kita sendiri. Kita selalu bisa memilih untuk “menggunakan waktu” atau sekadar “menghabiskan waktu”. Karena setiap orang diberi waktu yang sama dalam satu hari, dan masing-masing orang bebas menggunakannya dengan cara mereka sendiri. Dalam hal ini, masing-masing orang tidak bisa mengatur waktu, tapi bisa mengatur diri sendiri.
Yang berbahaya dari waktu adalah, ia tak terlihat. Akibatnya, banyak orang terlena dan tanpa sadar menghabiskan secara sia-sia. Padahal, sesuatu paling berharga di muka bumi adalah waktu. Hal pertama yang diberikan untuk setiap manusia yang lahir ke dunia adalah waktu. Hal penting yang memungkinkan manusia bisa melakukan banyak hal adalah waktu. Dan hal terakhir yang dimiliki manusia saat mati adalah waktu.
“Waktu adalah uang,” kata Benjamin Franklin. Sebenarnya, waktu bahkan lebih berharga daripada uang. Uang yang hilang bisa dicari lagi, tapi ke mana kita bisa mencari waktu yang hilang? Jangankan waktu satu tahun yang lalu, bahkan waktu satu detik yang lalu pun tidak bisa kita raih kembali. Jika sudah lewat, ia pun hilang. Charles Darwin menyatakan, “Waktu adalah kehidupan.” Karena memang waktulah yang membentuk kehidupan.
Jauh-jauh hari sebelum Franklin dan Darwin ngoceh soal waktu, Ali bin Abi Thalib mengatakan ilustrasi serupa. Ia berkata, “Waktu adalah pedang.” Maksudnya, jika kita tidak bisa mengendalikan dan menggunakan waktu dengan baik, maka waktu akan membunuh kita. Karenanya, setiap orang memiliki dua pilihan—mengendalikan waktu, atau dikendalikan waktu. Jika saya harus memilih, saya memilih yang pertama.
Sejak pertama kali menyadari pentingnya waktu, bisa dibilang kehidupan saya berubah. Semula, saya bisa seenaknya menggunakan waktu untuk hal-hal tak berguna, sia-sia, dan menghambur-hamburkannya untuk tujuan tidak jelas. Dan saya bersyukur karena akhirnya menyadari kesalahan itu, meski mungkin telah terlambat. Kalau saja bisa, saya ingin sadar jauh-jauh hari sebelumnya, agar tidak terlalu banyak waktu yang terbuang percuma.
Kini, sering kali saya menyesali waktu-waktu lampau, dan mengingat betapa banyak waktu yang saya buang sia-sia. Selama waktu-waktu itu, saya tidak menggunakan waktu, melainkan hanya menghabiskan waktu. Akibatnya, waktu saya habis, tapi tidak menghasilkan apa pun yang berharga. Itu, bagi saya, adalah kerugian nyata, yang tidak bisa saya tebus bagaimana pun caranya.
Untung, akhirnya saya menyadari, dan mulai belajar memperbaiki diri. Untuk menggunakan waktu dengan baik, untuk memanfaatkan waktu agar tidak terbuang percuma, untuk menyadari bahwa waktu yang hilang tak pernah bisa kembali. Sejak itu pula, saya pun belajar menjalani kehidupan lebih baik, dan menggunakan setiap saat yang saya miliki sebaik-baiknya. Tidak boleh ada lagi penghamburan waktu sia-sia.
Karena kenyataan itu pula, saya pun menjalani kehidupan pribadi dengan pengaturan yang sangat ketat. Untuk setiap hal, untuk banyak kegiatan, saya berupaya mengatur dengan baik, agar benar-benar bisa menggunakan waktu dengan cara terbaik. Itu, bagi saya, adalah upaya menebus kebodohan di masa lalu saat belum menyadari pentingnya waktu. Bagaimana pun, saya tidak ingin menyesal dua kali, karena hidup di dunia cuma sekali.
Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering berpesan ke teman-teman, agar mereka kirim SMS atau menelepon dulu jika ingin datang ke rumah. Aturan itu saya tetapkan demi kebaikan bersama. Jangankan dengan teman atau orang lain, bahkan adik saya sendiri pun akan menelepon atau mengabari terlebih dulu jika akan datang. Sekali lagi, aturan itu dibuat bukan untuk mempersulit, tetapi untuk mempermudah, sekaligus untuk menghargai waktu.
Saya tinggal di rumah sendirian, tidak ada orang lain. Dalam sehari semalam, saya terus menjalani berbagai aktivitas dan kesibukan sehari-hari, yang bisa dibilang tak pernah berhenti. Sesekali saya juga keluar rumah untuk mencari kebutuhan seperti makan, atau ketika ada sesuatu yang mengharuskan saya keluar rumah. Kadang bisa sebentar, kadang pula bisa lama.
Jika ada teman yang datang tanpa pemberitahuan, bisa jadi saya sedang keluar rumah. Ketika dia datang, dia tidak bisa menemui saya, dan itu tentu tidak baik untuknya. Sudah datang jauh-jauh, berharap bisa ketemu, tapi ternyata saya sedang pergi dan tidak ada di rumah. Kadang ada teman yang menghubungi ponsel saya, dan berkata, “Aku di depan rumahmu.” Sementara, waktu itu, saya sedang jauh dari rumah, dan saya pun menyesal. Saya menyesal tidak bisa menemuinya, dan kasihan kepadanya karena sudah datang jauh-jauh tapi kami tidak bisa bertemu.
Atau, bisa jadi, saya sedang di rumah, dan sedang khusyuk mengerjakan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi. Lalu ada orang datang tanpa pemberitahuan. Jujur saja, itu bisa mengacaukan pekerjaan yang sedang saya hadapi. Biasanya, ketika menghadapi hal semacam itu, saya harus memilih satu di antara dua hal yang sama-sama tidak enak.
Pilihan pertama, meninggalkan pekerjaan agar bisa menemui teman yang datang, dan itu artinya pekerjaan akan terbengkalai. Pekerjaan saya menggunakan pikiran. Jika ditinggal dan saya lupa, maka saya harus memulai dari awal lagi. Sedangkan pilihan kedua, saya mempersilakan teman saya masuk dulu, lalu saya tinggal untuk meneruskan pekerjaan, dan itu artinya dia harus menunggu sampai saya selesai, yang bisa jadi cukup lama. Sama-sama tidak enak, dan sama-sama tidak baik—bagi saya, juga bagi dia.
Karena itulah, saya meminta agar mengabari terlebih dulu jika mau datang ke rumah, agar kami sama-sama nyaman. Jika seseorang mengabari akan datang, dan kebetulan saya sedang di luar rumah, saya bisa memberitahukan hal itu. Biasanya, saya akan menawari, “Bagaimana kalau satu jam lagi?” Satu jam kemudian, saya pun sudah pulang ke rumah, dan siap menyambutnya. Lalu kami bisa bertemu dengan baik, bisa berinteraksi dengan baik.
Sebaliknya, jika saya kebetulan di rumah dan sedang khusyuk mengerjakan sesuatu, saya pun tidak panik jika orang datang dengan pemberitahuan terlebih dulu. Jika ada teman yang kirim SMS dan bilang mau datang, saya pun bersiap-siap menyelesaikan sesuatu yang sedang saya kerjakan, atau menghentikannya di tempat yang tepat, sehingga bisa melanjutkannya nanti dengan mudah. Ketika teman datang, saya pun bisa menyambutnya dengan baik, tanpa harus memintanya menunggu dulu. Lalu kami pun bisa bertemu dengan baik, bisa berinteraksi dengan baik.
Jadi, aturan “kabari dulu sebelum datang” yang saya terapkan dalam kehidupan pribadi tidak dimaksudkan untuk mempersulit, melainkan justru untuk mempermudah. Agar kami bisa sama-sama nyaman, dan agar waktu pertemuan bisa dinikmati dengan sama nyaman. Bagaimana pun, saya senang jika ada teman yang datang. Namun, saya akan lebih senang jika mereka datang dengan pemberitahuan, agar saya bisa menyambut dengan lebih baik.
Sejak pertama kali menyadari pentingnya waktu, saya jadi terbiasa dengan satu hal, yakni persiapan. Untuk melakukan apa pun, saya harus mempersiapkan diri dengan baik. Untuk jangka pendek, saya biasa mempersiapkan hal-hal yang akan saya lakukan hari ini, besok pagi, atau seminggu ke depan. Sedang untuk jangka panjang, saya pun berusaha mempersiapkan hal-hal yang akan saya lakukan dalam setahun mendatang, lima tahun mendatang, dan seterusnya. Waktu tidak bisa diatur, tapi saya bisa mengatur diri sendiri.
Karena pengaturan diri sendiri yang ketat semacam itu pula, saya membenci kejutan. Saya lebih terbiasa dengan segala hal yang terencana, dan telah disiapkan dengan baik. Jadi, hal-hal yang akan saya lakukan besok biasanya telah saya siapkan hari ini. Hal-hal yang akan saya lakukan minggu depan biasanya telah saya siapkan minggu ini. Setelah jadwal ditetapkan, saya pun berusaha menepati dengan baik.
Karena itulah, sekali lagi, saya membenci kejutan! Karena kejutan akan merusak jadwal saya, karena kejutan akan mengacaukan waktu yang telah saya atur dengan baik. Dalam hal ini, kedatangan seseorang tanpa pemberitahuan termasuk “kejutan”, karena itu di luar pengaturan yang telah saya tetapkan.
Sekali lagi, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, bahkan paling berharga dalam kehidupan kita. Yang menjadi masalah, waktu adalah sesuatu yang tetap dan pasti, namun tidak terlihat. Kita tidak bisa mengatur waktu, tapi kita bisa mengatur diri sendiri. Kita tidak bisa mengubah waktu, namun kita bisa mengubah diri sendiri. Jika kita ingin mengubah diri sendiri, tentu kita ingin mengubah diri menjadi lebih baik. Begitu pula saya. Di masa lalu, saya telah banyak membuang dan menghamburkan waktu. Kini, saya ingin lebih baik dari itu.
Sering kali saya takjub membaca kisah orang-orang hebat yang sangat produktif dan mengagumkan, entah yang hidup di masa lalu, maupun yang hidup di masa kini. Mereka memiliki sesuatu yang juga dimiliki orang lain, yaitu waktu—dalam jumlah yang sama, dalam durasi yang sama. Tapi mereka bisa melakukan dan mengerjakan banyak hal mengagumkan, sementara rata-rata orang lain tidak bisa. Apa yang membedakan? Jawabannya satu; cara menggunakan waktu.
Orang tidak dilahirkan dengan kemampuan tertentu, atau dengan kehebatan tertentu. Merekalah yang membangun kemampuan dan kehebatan itu. Dengan menggunakan dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, mereka membangun diri mereka, memperkaya wawasan, memperdalam pengetahuan, mengasah bakat, meluaskan cakrawala... sementara rata-rata orang lain menghamburkan waktu sia-sia.
Orang-orang hebat “menggunakan waktu”, sementara orang-orang biasa “menghabiskan waktu”.
Sekilas, dua hal itu tampak sama, tapi jauh berbeda. Yang “menggunakan waktu” menyadari apa yang dilakukan, sementara yang “menghabiskan waktu” tidak menyadari apa yang dilakukan. Hasilnya, waktu mereka sama-sama habis dan hilang. Tapi yang “menggunakan waktu” menghasilkan sesuatu, sementara yang “menghabiskan waktu” tidak menghasilkan apa pun.
Waktu tidak bisa didaur ulang, tidak bisa dikembalikan, bahkan tak terlihat. Sekali ia hilang, kita tidak akan pernah bisa menemukan. Menyia-nyiakan waktu sama artinya menyia-nyiakan diri dan kehidupan kita sendiri. Waktu tidak peduli ia digunakan atau tidak, tapi kita bisa peduli. Karena, meski tak terlihat, waktu adalah modal yang diberikan bagi setiap manusia untuk membentuk—atau menghancurkan—kehidupannya sendiri.