Populasi manusia yang tak terkendali, sebenarnya,
bukan hanya merusak bumi yang menjadi tempat tinggal,
tapi juga merusak manusia sendiri.
—@noffret
bukan hanya merusak bumi yang menjadi tempat tinggal,
tapi juga merusak manusia sendiri.
—@noffret
Orang bisa tewas terbunuh, hanya karena tiga bungkus biskuit murah. Setidaknya, itulah yang dialami Bharat dan Mamta.
Bharat dan Mamta adalah pasangan suami istri yang tinggal di Manipuri, Negara Bagian Uttar Pradesh, India. Mereka punya tiga anak, dan hidup dalam kemiskinan. Pasangan Bharat dan Mamta bekerja sebagai buruh kasar untuk menghidupi anak-anak mereka, tapi nasib keluarga itu tampaknya selalu di ujung tanduk.
Kemiskinan kerap identik dengan kelaparan, dan kelaparan sering membuat orang nekad. Salah satunya nekad berutang. Itu pula yang terjadi pada Bharat dan Mamta. Suatu hari, karena perut yang lapar melilit, sementara tidak ada makanan dan tak punya uang untuk membeli makan, keduanya nekad mendatangi warung milik Mishra, yang tidak jauh dari rumah mereka.
Di warung milik Mishra, Bharat dan Mamta membeli tiga bungkus biskuit seharga 22 sen. Namun, karena belum punya uang, keduanya bermaksud berutang dulu. “Hari ini duit kami cair,” ujar Bharat pada Mishra, yang menjanjikan akan segera membayar utang biskuit tersebut.
Menghadapi hal itu, Mishra marah. Pasalnya, di hari sebelumnya, pasangan Bharat dan Mamta juga telah berutang biskuit di warung miliknya, untuk dimakan tiga anak mereka. Bharat dan Mamta juga menjanjikan hal serupa, untuk segera membayar utang tersebut, tapi nyatanya belum juga membayar. Alih-alih membayar, sekarang pasangan itu justru berutang lagi.
Jadi, waktu itu, ketika Bharat dan Mamta berutang biskuit dan menjanjikan hal yang sama, Mishra tak bisa mengendalikan emosi. Bagaimana pun, dia juga butuh modal agar warungnya bisa terus buka. Maka terjadilah cekcok di antara mereka. Mishra yang jengkel memaki pasangan Bharat dan Mamta, sementara suami istri yang kelaparan itu menuduh Mishra tak berperikemanusiaan.
Yang jelas, meski telah adu mulut dengan si pemilik warung, Bharat dan Mamta tetap membawa biskuit yang mereka ambil. Bagaimana pun, mereka butuh mengganjal perut yang kelaparan. Jika untuk itu mereka harus ribut dengan pemilik warung, mungkin mereka pikir itu sepadan dengan perut yang bisa kenyang sejenak. Tapi ulah keduanya—tetap membawa biskuit dari warung—menjadikan Mishra makin panas. Dia sudah meneriaki Bharat dan Mamta agar mengembalikan biskuit yang mereka ambil, tapi teriakannya tak dipedulikan.
Disulut amarah, dan mungkin juga frustrasi karena banyak pelanggan yang berutang, Mishra akhirnya nekad. Dia mengambil kapak di rumahnya, lalu mendatangi rumah pasangan Bharat dan Mamta. Dengan kapak pula, Mishra menyerang Bharat dan Mamta hingga keduanya tewas dengan kepala terpenggal.
Orang bisa kehilangan nyawa, hanya karena tiga bungkus biskuit, yang harganya cuma 22 sen. Berlebihan? Mungkin. Manusia mulai kehilangan nurani? Juga mungkin. Tetapi selalu ada sebab di balik akibat. Sebagaimana orang terbunuh hanya karena ingin berutang biskuit di warung sebelah rumah. Jadi, mari kita coba urai akar penyebabnya.
Mengapa Mishra, si pemilik warung, sampai membunuh Bharat dan Mamta? Mungkin karena Mishra sangat jengkel, akibat Bharat dan Mamta berutang, berjanji untuk segera membayar, tapi tidak ditepati, lalu berutang lagi. Bagaimana pun, Mishra juga perlu pemasukan dari penjualan, agar warungnya dapat terus berjalan. Kalau banyak pembeli yang berutang tapi tidak juga membayar, warungnya bisa tutup, usahanya bisa bangkrut.
Mungkin pula, di hari naas itu, Mishra sedang sangat pusing memikirkan warungnya yang kian sepi, atau memikirkan masalah keluarga yang membuatnya stres dan frustrasi. Sudah begitu, Bharat dan Mamta datang untuk berutang, padahal kemarin sudah berutang dan belum juga membayar. Tumpukan beban pikiran itu mungkin membuat Mishra gelap mata. Percekcokan dengan pasangan Bharat dan Mamta mengobarkan amarahnya, hingga ia nekad mendatangi pasangan suami istri itu, dan membunuh mereka.
Lalu mengapa Bharat dan Mamta sampai tak tahu malu membawa biskuit dari warung Mishra, padahal mereka telah cekcok dengan Mishra, bahkan si pemilik warung berteriak agar mereka mengembalikan biskuit yang diambil? Kemungkinan besar, jawabannya, karena kelaparan.
Agak sulit menjelaskan bagaimana rasanya kelaparan, kepada orang-orang yang biasa merasakan perut kenyang. Yang jelas, kalau kau pernah tidak makan berhari-hari karena tidak ada yang dimakan, dan tidak punya uang untuk membeli makanan, kau akan merasakan perut begitu hampa, sekaligus seperti diperas-peras. Kemampuan tubuh dan panca indramu berkurang, dan kau akan merasakan tubuh melemah sekaligus kepala berat, dan pikiran kosong. Ketika merasakan kondisi semacam itu, yang ada dalam bayanganmu cuma makan... makanan.... makan... makanan.
Kondisi semacam itu pula yang mungkin dialami pasangan Bharat dan Mamta, hingga mereka nekad berutang dan membawa biskuit dari warung Mishra, meski telah diteriaki agar mengembalikan biskuit tersebut. Bharat dan Mamta pasti sudah sangat kelaparan, dan ingin memakan apa pun yang bisa dimakan, demi mengembalikan kewarasan, demi tubuhnya bisa diajak bekerja.
Tapi rupanya mereka datang ke warung Mishra di waktu yang salah, ketika si pemilik warung sedang terbebani masalahnya sendiri. Jadi, itulah yang kemudian terjadi. Perilaku Bharat dan Mamta menyulut api kemarahan Mishra, hingga nasib mengerikan menimpa ketiganya. Pasangan Bharat dan Mamta tewas terbunuh, sementara Mishra ditangkap kepolisian India, dan kini mendekam di penjara.
Sia-sia.
Kalau dipikir-pikir, semua yang terjadi itu sia-sia. Tapi tentu mereka semua tidak sempat berpikir panjang ketika melakukan yang mereka lakukan. Semuanya telah gelap mata. Pasangan Bharat dan Mamta hanya ingin makan akibat kelaparan, sementara Mishra hanya ingin melampiaskan kemarahan karena stres dan frustrasi menghadapi keadaan. Ketiganya menemui akhir yang tidak mengenakkan.
Tetapi, ada pihak yang paling menderita dari kasus tersebut. Bukan pasangan Bharat dan Mamta. Bagaimana pun, mereka sudah mati, dan nasib mereka selesai. Juga bukan Mishra. Bagaimana pun, dia sudah dewasa, dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pihak paling menderita dari kasus itu adalah tiga anak pasangan Bharat dan Mamta. Merekalah yang paling menanggung akibatnya.
Tiga anak pasangan Bharat dan Mamta masih kecil-kecil. Karena itu pula, mereka belum bisa membantu orang tua bekerja. Dan anak-anak kecil itu, yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang diberi makan biskuit dari hasil utang, kini ditinggal mati orang tuanya. Apa salah mereka, sampai harus menghadapi kenyataan sepahit itu? Dan, lebih lagi, apa salah mereka, sampai harus dilahirkan hanya untuk menghadapi kenyataan semacam itu?
Setiap kali ada pasangan menikah tanpa persiapan, setiap kali pula akan jatuh korban. Setiap kali ada pasangan membangun keluarga tanpa kesadaran, setiap kali pula akan jatuh korban. Bukan pasangan yang menikah itu yang menjadi korban, tapi anak-anak yang kemudian mereka lahirkan. Itulah korban sesungguhnya dari perkawinan tanpa persiapan, dari keluarga yang dibangun tanpa persiapan. Anak-anaklah korban sesungguhnya dari perkawinan tanpa persiapan dan kesadaran yang dilakukan orang tuanya.
Ketika seorang lelaki menikah dengan seorang wanita, mereka sama-sama sudah dewasa. Setidaknya, mereka sudah bisa bertanggung jawab pada perbuatan yang mereka lakukan, yakni menikah. Fakta mereka tahu pernikahan, artinya mereka sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab. Dan karena sudah dewasa pula, mereka juga memiliki hak untuk memilih, yaitu memilih menikah. Tetapi... bagaimana dengan anak-anak yang akan mereka lahirkan?
Di dunia ini ada jutaan anak yang dilahirkan hanya untuk menghadapi kenyataan pahit, meratapi tangis, memendam luka diam-diam, terbuang dalam empasan nasib, dan terluka, terluka, terluka... Anak-anak yang dilahirkan tanpa kesadaran, anak-anak yang dilahirkan tanpa kesiapan, anak-anak yang dilahirkan hanya agar orang tuanya dianggap “pantas dan tak berbeda” dengan lingkungan.
Dosa apa anak-anak itu, hingga mereka harus dilahirkan hanya untuk menghadapi kepahitan dan penderitaan? Salah apa anak-anak itu, sampai orang tuanya tega melahirkan mereka hanya untuk disiksa dalam luka dan lara?
Anak-anak itu tidak minta dilahirkan. Tapi mereka dilahirkan hanya untuk menghadapi nasib, takdir yang pahit, hidup yang penuh derita, perut yang kelaparan, dan masa depan yang suram. Demi Tuhan, apa salah dan dosa anak-anak itu, hingga kita merenggut mereka dari kedamaian, hanya untuk dilukai di dunia yang gila?
Orang-orang mengatakan, menikah akan membuatmu bahagia, dan anak-anak akan melancarkan rezeki. Mungkin teori itu relevan, jika diterapkan sekian abad yang lalu, ketika jumlah manusia masih sedikit, dan bumi masih kaya-raya. Tapi kita tidak bisa menggunakan apalagi memaksakan teori usang yang sudah kedaluwarsa. Karena zaman sudah berubah, dunia sudah berubah. Teori yang mungkin benar sekian abad lalu, belum tentu benar pula untuk saat ini.
Jika memang orang menikah lalu bahagia, dan memiliki anak-anak akan melancarkan rezeki, lalu bagaimana dengan Bharat dan Mamta? Atau, tidak usah jauh-jauh, bagaimana dengan kawan-kawan kita, atau tetangga-tetangga kita, atau bahkan famili-famili kita, yang menjalani kehidupan menyedihkan, miskin dan berkekurangan, padahal mereka menikah dan punya anak-anak?
Jika memang pernikahan dan kepemilikan anak-anak akan membuat orang bahagia serta lancar rezeki, mestinya tidak ada perceraian, tidak ada keluarga berkekurangan, tidak ada rumah tangga berantakan, tidak ada anak-anak yang terempas di jalanan dan kelaparan.
Sudah melihat masalah di sini? Teori sudah tidak sesuai realitas.
Jika teori tidak sesuai realitas, artinya ada yang salah! Dan karena kita tidak bisa meralat realitas, maka teorilah yang seharusnya diralat! Bukan malah terus digunakan dan dipaksakan!
Orang bisa membangun teori dengan berdasar pada realitas. Dan teori itu pun akan relevan. Kapan? Ketika teori itu dibangun! Ketika realitas yang menjadi pijakan teori mulai berubah, maka teori sudah tidak lagi relevan, dan juga harus diubah. Yang menjadi masalah, ada jutaan orang yang terus percaya pada teori usang, bahkan memaksakannya pada orang-orang lain untuk ikut menggunakan. Akibatnya, korban terus berjatuhan. Karena tertipu, karena tidak tahu.
Teori harus sesuai realitas. Karena, jika tidak, teori itu bermasalah. Jika kita mempercayai dan mempraktikkan teori yang bermasalah, hasilnya pun masalah. Jangankan teori yang sudah jelas bermasalah, bahkan teori yang telah teruji kebenarannya pun tetap memiliki kemungkinan untuk salah. Apalagi yang jelas-jelas salah.
“Banyak anak banyak rezeki”, itu teori. Di masa lalu, teori itu mungkin benar, sehingga digunakan dan dipercaya, bahkan disebarkan untuk memotivasi orang-orang di mana pun agar tidak ragu punya anak.
Di masa lalu, keberadaan banyak anak bisa dibilang tidak terlalu masalah, karena nyatanya populasi penduduk masih sedikit, mencari pekerjaan dan penghidupan relatif mudah, tanah lapang masih tersedia di mana-mana, sawah ladang masih dimiliki banyak orang, biaya hidup masih rendah, sistem kekerabatan masih sangat dekat dan erat, sehingga banyak anak tidak mendatangkan beban terlalu berat.
Tetapi, sekarang, zaman sudah jauh berubah. Populasi penduduk sudah sangat tinggi, lapangan kerja makin sempit, pekerjaan yang tersedia makin sedikit, tanah-tanah terus menyempit karena sawah dan ladang diubah menjadi hunian, biaya hidup sangat mahal, sementara keluarga dan kerabat saling jauh terpisah karena urbanisasi dan globalisasi. Di masa kini, memiliki banyak anak jelas akan menambah beban, khususnya jika kita tidak memiliki persiapan dan kemampuan yang benar.
Karenanya, teori untuk suatu zaman hanya benar ketika teori itu dibangun pada zamannya. Tetapi, ketika zaman yang menjadi pijakan teori telah berubah, maka teori juga harus berubah. Sebagaimana makanan kedaluwarsa bisa membuat keracunan, menerapkan teori yang usang bisa mendatangkan masalah berkepanjangan. Seperti yang dialami Bharat dan Mamta di India, atau seperti yang dialami orang-orang di sekeliling kita.
Mungkin mereka percaya banyak anak banyak rezeki, sehingga tidak khawatir punya anak-anak. Lalu anak-anak dilahirkan, dan terus dilahirkan. Ketika anak-anak itu telah terwujud menjadi tanggung jawab, mereka mulai kebingungan. Dari kebingungan memberi makan, sampai kebingungan menyiapkan pendidikan dan masa depan. Karena mencari uang makin sulit, lapangan kerja terus menyempit, sementara biaya hidup semakin mahal, dan anak-anak itu terus tumbuh.
Akibatnya adalah yang kita saksikan sekarang, di mana-mana. Di India, di Indonesia, atau di mana pun. Anak-anak yang seharusnya tumbuh ceria justru menghadapi realitas pahit. Anak-anak yang seharusnya bermain justru harus memeras keringat untuk bekerja. Anak-anak yang seharusnya gembira justru harus menanggung beban hidup yang berat. Anak-anak yang seharusnya menerbitkan senyum bagi dunia tapi justru terempas dalam luka... dan luka.
Anak-anak malang itu adalah korban teori usang yang masih terus dipercaya, bahkan terus didoktrinkan. Sampai kapan...?