Masalah hidup kita, per orang, adalah kenyataan bahwa perjalanan
tak selalu sesuai skenario siapa pun. Alur yang liar, akhir tak terduga.
—@noffret
tak selalu sesuai skenario siapa pun. Alur yang liar, akhir tak terduga.
—@noffret
“Orang-orang mungkin mengira aku menyesali yang telah kulakukan. Tetapi, asal kau tahu, aku tidak pernah sebahagia ini seumur hidup, karena berhasil memperoleh yang kuimpikan dari jerih payah sendiri. (Sekarang) Aku memiliki pekerjaan yang menyenangkan, dan pada akhirnya aku dapat kembali bermain piano, melukis, menulis, dan membalas surat-surat banyak orang.”
Kalimat itu dinyatakan Asia Carrera, wanita yang namanya pernah identik dengan film porno, bahkan hingga kini masih dianggap salah satu legenda di industri film porno dunia. Kini, setelah pensiun dari industri tersebut, Asia Carrera menjalani kehidupan yang ia pilih, dan menikmati hal-hal yang ia sukai—melukis, menulis, bermain piano—dan mungkin percaya suatu hari kelak dia akan mati dengan bibir tersenyum, karena puas menatap kehidupan yang ia tinggalkan.
Menatap Asia Carrera sama seperti menatap fragmen kehidupan manusia, yang kadang lebih dramatis dan lebih paradoks dari kisah novel mana pun yang pernah kita baca.
Orang-orang tahu, Asia Carrera adalah aktris film porno, yang telah membintangi lebih dari 400 judul (jumlah tepatnya, menurut IAFD, 407 judul). Tetapi, mungkin tidak semua orang tahu, bahwa Asia Carrera juga anggota Mensa.
Mensa adalah organisasi khusus untuk orang-orang yang memiliki IQ tinggi. Organisasi yang berbasis di Inggris itu didirikan pada 1946 oleh Roland Berrill dan Dr. Lancelot Ware. Sampai saat ini, Mensa terus aktif menjadi organisasi yang berisi orang-orang paling pintar di muka bumi, dan anggotanya telah mencapai sekitar 100.000 orang yang berasal dari seluruh dunia. Asia Carrera adalah anggota organisasi tersebut.
Untuk bisa diterima di organisasi Mensa, seseorang perlu menyelesaikan setumpuk tes atau ujian yang—bahkan baru melihatnya saja—bisa membuat sebagian orang stres mendadak. Karenanya, bahkan meski seseorang memiliki IQ sangat tinggi, tidak ada jaminan bisa masuk Mensa. Organisasi itu benar-benar sangat eksklusif, dan benar-benar memastikan anggotanya memang genius. Dalam hal ini, Asia Carrera memiliki IQ 156. Sebagai perbandingan, Einstein memiliki IQ 160. Fakta bahwa Asia Carrera bisa masuk Mensa, membuktikan dia memang genius.
Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang wanita genius ber-IQ 156 menjadi aktris film porno?
Pertanyaan rumit itu membutuhkan jawaban sangat panjang, dan kita harus flashback ke puluhan tahun lalu, ketika Asia Carrera masih remaja....
....
....
Nama asli Asia Carrera adalah Jessica Steinhauser. Ia lahir di New York, AS. Ayahnya berasal dari Jepang, sementara ibunya berasal dari Jerman. Asia Carrera adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ia tumbuh besar di Little Silver, New Jersey, dan keluarganya dikenal sebagai keluarga berpendidikan. Ayah Asia Carrera adalah lulusan Caltech University, yang memperoleh beasiswa penuh pada bidang Matematika dan Fisika.
Latar belakang intelektual pula, yang menjadikan keluarga Asia Carrera akrab dengan hal-hal beradab. Di rumah, Asia Carrera dan adik-adiknya akrab dengan buku dan aneka majalah. Sesekali, mereka pergi menyaksikan pertunjukan musik di Carnegie Hall.
Asia Carrera bersekolah di Little Silver School District, yang lalu berlanjut ke Red Bank Regional High School. Di luar aktivitasnya bersekolah, Asia Carrera dikenalkan orang tuanya pada alat musik piano. Mereka mengundang seorang guru piano ke rumah, yang mengajari anak gadis mereka untuk bermain piano. Benar-benar khas keluarga beradab!
Ketika bersentuhan dengan piano itulah, Asia Carrera merasakan getaran di hatinya, sesuatu yang tidak pernah ia temukan di tempat lain. Saat ia meletakkan jari-jarinya ke tuts piano, dan mendentingkan nada, ia tahu sedang menyentuh sesuatu yang paling dicintainya. Kelak, Asia Carrera menyadari, tidak ada yang lebih dicintainya di muka bumi, selain saat-saat bermain piano.
Kehidupan Asia Carrera mungkin akan menyenangkan, kalau saja tidak menghadapi kekerasan orang tua. Ayah dan ibunya sangat keras mendidik anak-anak, dan tidak segan menghukum dengan cara menyakitkan. Memang benar, mereka orang-orang berpendidikan, tetapi—meminjam istilah Asia Carrera—“mereka sangat kuno” atau konservatif. Karena hal itu pula, orang tuanya pun kerap memaksakan kehendak pada anak-anaknya.
Dalam urusan sekolah, misal, Asia Carrera dan adik-adiknya harus mendapatkan nilai A. Tidak ada toleransi, dan tidak ada pengecualian. Jika Asia Carrera mendapatkan nilai B, dia akan dihukum tidak boleh keluar rumah. Itu artinya, Asia Carrera tidak bisa bertemu dan bermain dengan teman-temannya. Jika Asia Carrera mendapatkan nilai di bawah B, hukumannya bisa omelan sampai tamparan dan pukulan.
Kenyataan semacam itu telah dihadapi Asia Carrera sejak kecil. Karenanya, belakangan ia mengakui, “Orang-orang mungkin mengira aku sangat cerdas karena menyukai belajar. Tidak, aku hanya beruntung karena kebetulan lahir dengan mewarisi gen yang baik (maksudnya, ayah dan ibunya sama-sama cerdas). Selain itu, aku juga cerdas akibat tekanan orang tuaku yang sangat keras.”
Orang tua Asia Carrera menginginkan anak mereka masuk Harvard, dan kelak bisa berprofesi sebagai dokter atau pengacara. Tetapi, Asia Carrera tidak menginginkan hal itu. Ia hanya ingin bermain piano, sesuatu yang dicintainya. Dalam hal itu, Asia Carrera tidak pernah berani menyatakan isi hatinya. Bagaimana pun, ia tahu, lebih baik diam di hadapan orang tuanya, daripada harus menerima tamparan.
Jadi, ketika anak-anak lain bisa bersenang-senang bersama temannya, Asia Carrera harus duduk di ruang belajar. Ketika anak-anak lain menonton film di bioskop, Asia Carrera masih harus belajar. Ketika anak-anak lain mendatangi undangan pesta, Asia Carrera tetap belajar. Ketika anak-anak lain mulai pacaran, Asia Carrera tetap suntuk dengan aktivitas belajar.
Sebagai gadis yang tumbuh remaja, bagaimana pun Asia Carrera sangat tertekan dengan kondisi yang dihadapinya. Dia ingin seperti teman-temannya—bermain, berkumpul bersama teman, menonton film ke bioskop, atau sesekali menghadiri pesta—bukan terus menerus belajar. Tetapi, setiap kali ia mencoba mengutarakan hal itu, ayahnya hanya menjawab, “Kau akan mendapatkan semua kauinginkan, setelah kuliah di universitas terbaik!”
Kadang-kadang, didorong emosi yang meledak-ledak—seperti umumnya remaja—Asia Carrera nekat melakukan sesuatu yang juga dilakukan anak-anak sebayanya, yaitu keluar rumah diam-diam. Malam hari, ketika orang tuanya telah tidur, Asia Carrera mengendap-endap keluar rumah, untuk menemui temannya. Beberapa kali dia selamat, dan bisa menikmati kebahagiaan dengan bebas. Tapi ada kalanya orang tua mengetahui, dan dia harus menghadapi hukuman yang kejam.
“Aku sempat terpikir untuk bunuh diri, beberapa kali,” ujar Asia Carrera mengenang masa-masa itu. Dibanding anak-anak lain, Asia Carrera menyadari, dia menjalani masa kecil yang sangat tidak bahagia. Kekerasan dan kekejaman orang tua begitu menekan batinnya.
Akhirnya, saat berusia 16 tahun, Asia Carrera memutuskan sesuatu yang sangat penting. Ia kabur dari rumah!
Asia Carrera menceritakan, “(Selama waktu-waktu itu) Aku tinggal dan menetap di mana aku mendapat tumpangan. Kadang tinggal bersama pengamen jalanan, bersama teman, bersama orang asing—di hotel, atau juga di tenda.”
Untuk bertahan hidup, ia tentu harus makan. Asia Carrera menyadari, ia harus bekerja untuk mendapat uang, agar bisa makan dan bertahan hidup. Yang menjadi masalah, waktu itu usianya 16 tahun, dan tidak ada tempat di Amerika yang cukup gila untuk mempekerjakan anak perempuan berusia 16 tahun. Akibatnya, Asia Carrera kerap menjalani hari-hari tanpa uang sepeser pun, dan kebingungan bagaimana harus mengisi perut yang kelaparan.
Setelah kabur dari rumah, Asia Carrera tidak melanjutkan sekolah. Dia tentu paham, orang tuanya akan mencari ke sekolah, dan dia tidak ingin itu terjadi. Namun, ketika sangat kelaparan, Asia Carrera nekat mendatangi sekolahnya, dan diam-diam menemui beberapa teman untuk, “mengemis doritos (makanan ringan) dari mereka.”
Beberapa teman baiknya memahami yang terjadi, dan mereka pun murah hati memberikan makanan untuk Asia Carrera, serta tutup mulut jika ada guru yang menanyakan dirinya.
Meski begitu, lama-lama Asia Carrera tidak enak jika terus merepotkan teman-temannya. Dan pada masa-masa itulah, “aku terpaksa bercinta dengan orang asing—meski sebenarnya tidak menginginkan—demi bisa mendapat makanan yang layak dan tempat untuk bermalam.”
Di waktu lain, Asia Carrera juga terpaksa mengemis, demi mendapat uang untuk makan, atau mengais sampah yang bisa ia temukan. Bahkan ketika harus menghadapi kenyataan yang amat pahit semacam itu, Asia Carrera mengatakan, “Aku lebih senang melakukan hal itu (mengemis) daripada harus kembali ke rumah.”
Sampai kemudian, pemerintah setempat mengetahui keberadaan Asia Carrera yang hidup liar sendirian, tanpa pengasuh. Karena usia Asia Carrera waktu itu belum 18 tahun, pemerintah menitipkan Asia Carrera ke sebuah keluarga asuh. Mungkin, kisah ini akan sangat bagus kalau keluarga asuh yang menampung Asia Carrera begitu baik, hingga Asia Carrera betah di sana. Sayang, kenyataan sering tak seindah kisah sinetron.
“Keluarga asuhku sama seperti keluargaku sendiri,” ujar Asia Carrera menceritakan. “Mereka sangat keras, dan aku tidak pernah diperbolehkan keluar.”
Untuk kedua kali, Asia Carrera menghadapi kehidupan yang penuh tekanan. Hidup bersama keluarga asuh sama seperti mengulang hidup bersama orang tuanya sendiri. Tetapi, meski begitu, ia memilih bertahan bersama keluarga asuhnya, daripada pulang kepada keluarga kandungnya. Selama bersama keluarga asuh pula, Asia Carrera meneruskan sekolah, hingga lulus SMA.
Ketika akhirnya berusia 18 tahun, Asia Carrera kembali melakukan yang dulu pernah ia lakukan. Kabur dari rumah!
“Aku punya sedikit uang waktu itu,” kisah Asia Carrera mengenang, “tapi hanya cukup hingga musim gugur mendatang, dan itu artinya sebentar lagi.”
Sadar bahwa dirinya akan mengulang masa-masa kelaparan yang sangat mengerikan, Asia Carrera memutar otak bagaimana cara menemukan kehidupan yang lebih baik. Upayanya menemukan hasil. Ia mendaftar kuliah di Rutgers University, dan berhasil mendapatkan beasiswa penuh.
Alasan Asia Carrera mendaftar ke Rutgers University hanya karena dua hal. Pertama, universitas itu menyediakan beasiswa penuh bagi anak-anak pintar, dan Asia Carrera memenuhi “standar pintar” yang ditetapkan di sana. Kedua, kampus itu juga menjanjikan makanan hangat dan tempat tidur gratis. “Jadi, aku tidak perlu mengemis di jalanan, atau menjajakan tubuh pada orang asing demi bertahan hidup.”
Karena motivasi kuliahnya hanya untuk makan dan tidur gratis, Asia Carrera pun tidak betah kuliah di sana. Sebelum lulus, ia memutuskan untuk keluar. Setelah itu, ia bekerja di sebuah bar, sebagai pengantar minuman.
Pada waktu itu, Asia Carrera masih menggunakan nama Jessica Steinhauser, nama lahirnya. Suatu malam, pemilik bar menemuinya, dan berkata, “Jessica, kau mau mendapat seratus dolar?”
Seratus dolar pada masa itu sangat besar, dan Asia Carrera berbinar. “Apa yang harus kulakukan?”
Malam itu, seorang miliuner mengadakan pesta di bar tempat Asia Carrera bekerja. Ia mentraktir teman-temannya minum di sana, dan mereka menempati satu ruangan khusus. Wanita mana pun yang mengantarkan minum ke ruangan tersebut akan dibayar 100 dolar oleh sang miliuner, dengan syarat mengenakan pakaian minim. “Pakaian minim” versi bar berarti “hanya mengenakan bra dan celana dalam”.
Jadi, itulah yang dikatakan pemilik bar kepada Asia Carrera, “Kau hanya perlu membuka pakaianmu, antarkan minuman ini ke sana, dan dapatkan seratus dolarmu.”
Meski tugas itu terkesan ringan, Asia Carrera mengaku berdebar. Bagaimana pun, dia belum pernah melakukan hal semacam itu. Tetapi iming-iming seratus dolar begitu menggoda. Akhirnya, Asia Carrera mengambil sebotol vodka, menenggaknya, lalu melepas pakaian. Setelah itu, ia masuk ke ruangan pesta sang miliuner, dengan minuman di atas nampan.
Yang ia saksikan di sana tak pernah bisa dilupakannya, dan Asia Carrera menceritakan, “Saat memasuki ruangan pesta, aku melihat banyak sekali penari striptease yang disewa orang itu, dan mereka (para penari tersebut) mendapatkan uang seperti memunguti sampah.”
Malam itu, Asia Carrera tidak hanya mendapatkan seratus dolar sebagaimana yang dijanjikan. Ia bahkan mendapatkan 300 dolar. “Tak perlu dikatakan, aku sangat senang. Aku tidak pernah memiliki uang sebanyak itu seumur hidupku.”
Peristiwa itu bukan hanya memberi kegembiraan bagi Asia Carrera—karena bisa mendapatkan uang banyak—tapi juga membuka matanya tentang cara mendapatkan uang banyak. Sejak itu pula, Asia Carrera memutuskan untuk menjadi penari. Penghasilannya seribu dolar per minggu. “Aku masih menyimpan dolar pertama yang kuperoleh dari menari.”
Kecantikan, keindahan tubuh, dan sikapnya sebagai orang cerdas yang menawan, menjadikan Asia Carrera segera populer di kalangan para penggemar clubbing, dan dalam waktu singkat dia menjadi penari dengan bayaran paling tinggi di sana.
Suatu malam, dia terlibat percakapan menyenangkan dengan seorang pengunjung bar—seorang pria yang tampak berpendidikan.
“Kau sangat cantik,” ujar pria itu. “Kenapa kau menghabiskan hidupmu di tempat seperti ini?”
“Kau bisa mengusulkan tempat lain yang lebih baik?” sahut Asia Carrera.
Si pria menyatakan, “Di luar sana ada majalah-majalah yang membutuhkan wanita indah sepertimu, dan mereka bersedia membayar mahal kalau kau mau tampil di majalah mereka.”
Asia Carrera tertarik. Maka, suatu hari, dia pergi ke toko, dan membeli majalah pria dewasa. Ia mendapati majalah itu memuat foto-foto wanita berbusana minim yang seksi. Asia Carrera menulis surat dan mengirimkan fotonya ke alamat yang tertera di majalah, dan menawarkan dirinya untuk menjadi sampul majalah tersebut.
Tidak perlu menunggu lama, Asia Carrera sudah mendapat balasan. Pihak redaksi majalah merespons tawarannya dengan baik, dan mereka meminta Asia Carrera untuk mengikuti sesi pemotretan di New York.
Karier baru pun dimulai. Sejak itu, Asia Carrera mulai menapakkan jejaknya sebagai fotomodel majalah. Pose-posenya di majalah dimulai dari yang berpakaian sopan sampai telanjang. Asia Carrera menikmati pekerjaannya. Dan, tentu saja, uangnya.
Pekerjaan sebagai fotomodel membawa Asia Carrera berkenalan dengan Bud Lee, seorang pembuat film porno yang tinggal di Los Angeles. Karena tertarik, Asia Carrera terjun ke dunia tersebut, dan menghasilkan beberapa film porno di bawah arahan Bud Lee. (Belakangan, Asia Carrera bahkan menikah dengan Bud Lee, meski berakhir perceraian.)
Sejak masuk industri film porno itulah, dia mulai menggunakan nama Asia Carrera, dan sejak itu dia memantapkan diri untuk menjalani profesi barunya. Selepas kerjasama dengan Bud Lee, Asia Carrera masih terus menghasilkan film-film lain, hingga total film yang dibintanginya mencapai lebih 400 judul. Ia telah menorehkan sejarah di dunia film porno, dan namanya pun kukuh menjadi legenda.
Setelah bercerai dengan Bud Lee, Asia Carrera menikah lagi dengan seorang pengarang, bernama Donald Lemmon. Sejak menikah dengan Don Lemmon pula, Asia Carrera meninggalkan kariernya di dunia film porno.
Asia Carrera dan pasangannya lalu menetap di St. George, Utah, dan di sana pula Asia Carrera melahirkan anak pertama, seorang perempuan, bernama Catalina, pada 4 Maret 2005. Satu tahun kemudian, Asia Carrera mengandung anak kedua. Tepat saat usia kandungannya mencapai 8 bulan, tragedi terjadi. Don Lemmon tewas karena kecelakaan, dan Asia Carrera merasa kehilangan seseorang yang amat dicintainya.
....
....
Kini, Asia Carrera hidup bersama dua anaknya yang mulai tumbuh remaja. Selain menjalani kebersamaan dengan mereka, Asia Carrera juga melanjutkan kuliahnya yang dulu terputus. Dan di sela-sela kesibukannya, dia bermain piano, sesuatu yang sangat dicintainya dalam hidup. Sementara kecerdasannya ia manfaatkan untuk bekerja sebagai stock-analyst.
“Aku telah selesai berkarya di—kau tahu—fuck-the-world,” ujar Asia Carrera. “Aku telah menabung dan berinvestasi untuk masa depan, dan aku akan menyelesaikan studi dengan suka cita... Dan jika suatu hari nanti aku meninggal dunia, aku telah menyisihkan uang untuk membantu dan menghidupi anak-anak telantar dan korban kekerasan rumah tangga. Itulah harapan terakhirku.”