Twitter ini apaan? Dari dulu ribut mau nambah karakter,
tapi nyatanya sampai sekarang tetap seuprit 140 karakter.
—@noffret
tapi nyatanya sampai sekarang tetap seuprit 140 karakter.
—@noffret
Sejak dulu saya prihatin, atas keterbatasan jumlah karakter yang disediakan Twitter untuk ngoceh. Hanya 140 karakter. Dengan jumlah seuprit itu, orang harus berusaha menyampaikan maksudnya dengan jelas, gamblang, dan—sebisa mungkin—tidak disalahpahami, atau tidak membuat orang lain salah paham pada maksud tweet kita. Itu, jujur saja, sesuatu yang sulit. Setidaknya bagi saya.
Persoalannya, saya sudah beberapa kali mendapati orang salah paham atas beberapa kalimat yang saya tulis di Twitter. Saya memaksudkan A, ternyata ada orang yang menafsirkannya B, lalu salah paham.
Kadang saya mikir sendiri. Apa saya memang terlalu tolol dalam menulis kalimat yang pendek, ataukah orang lain yang terlalu tolol dalam memahami maksud saya, hingga mereka salah paham.
Salah satu contoh, terjadi baru-baru ini.
Pada 23 September 2017, saya menulis kalimat (tweet) di Twitter, berbunyi, “Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”
Tiga hari setelah saya menulis tweet itu, ada orang kirim e-mail yang isinya panjang sekali. Isi e-mail itu mempertanyakan tweet saya, sekaligus menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya file-sharing di internet, tentang komoditas musik, sampai tentang isu kapitalisme industri rekaman. Lebih lanjut, si pengirim e-mail juga mempertanyakan saya, yang kadang juga mengunggah video dari YouTube di akun Twitter.
Saya senyum-senyum campur jengkel selama membaca e-mail yang panjang itu. Senyum-senyum, karena menyadari bahwa orang itu—si pengirim e-mail—sama sekali tidak paham maksud tweet saya. Dan jengkel, karena dia tidak paham tapi langsung menghakimi. Omong-omong, saya tidak suka istilah men-judge atau menge-judge! Apa itu menge-judge?
Well, mari saya jelaskan.
Saya sengaja menjelaskan persoalan ini di sini, karena siapa tahu ada orang-orang lain yang sama tidak paham dengan maksud tweet saya di atas, dan sama-sama berpikir seperti si pengirim e-mail. Wong saya bermaksud A, tapi dipahami Y.
Pertama, perhatikan kalimat tweet saya seutuhnya. Pelototi tweet berikut ini dengan jelas, kata per kata:
“Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”
Perhatikan kalimat awal. “Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak.”
Saya tidak menyatakan, “Kalau ingin mendengar suatu lagu.” Yang saya katakan, “Kalau ingin ngecek suatu lagu.”
Kata yang menjadi kunci penting dalam tweet tersebut adalah “ngecek” (maksudnya “mengecek”). Mengecek artinya memeriksa atau meneliti. Saya ulangi, mengecek artinya memeriksa atau meneliti, BUKAN sekadar mendengar.
Di dunia musik, ada perbedaan substansial antara “mendengarkan” dan “sekadar mendengar”. Yang dimaksud “mendengarkan” adalah mendengarkan suatu lagu/musik seutuhnya, biasanya untuk menilai kualitas sekaligus kompleksitas suatu musik. Sedangkan “sekadar mendengar”, artinya hanya sekadar mendengarkan. Cukup setel musik, dengarkan, sudah.
Jika kita mendengarkan suatu lagu/musik melalui CD original, lagu/musik yang kita dengarkan benar-benar utuh dan sempurna, sebagaimana ketika lagu itu diproduksi. Semua suara instrumen musik yang terlibat dalam lagu akan terdengar, bahkan yang paling lirih sekali pun. Karena itu pula, file musik di dalam CD original biasanya berukuran besar, karena memang menampung “dokumen” besar.
Bagaimana dengan MP3? Umumnya, MP3 adalah hasil konversi dari file asli. Ketika konversi dilakukan—yang tujuannya memperkecil ukuran file—mau tak mau terjadi distorsi terhadap musik yang dikonversi. Jika file aslinya memiliki kapasitas 12 MB, misalnya, konversi ke MP3 bisa menurunkannya menjadi hanya 4 MB. Ke mana yang 8 MB? Hilang, karena adanya distorsi. Karena distorsi terjadi, artinya ada bagian musik yang hilang. Terlepas kita sadar atau tidak.
Lalu bagaimana dengan YouTube? Sebenarnya sama saja, meski kadang ada pengecualian.
Di YouTube, ada video-video original dengan kualitas musik dan vokal yang utuh, sebagaimana rekaman asli. Biasanya, video-video semacam itu diunggah oleh produsen musik bersangkutan, atau—dengan kata lain—resmi, sebagaimana CD original. Mendengarkan video semacam itu, apalagi jika speaker yang kita gunakan juga berkualitas, hasilnya memang sempurna.
Tetapi, di YouTube juga banyak video abal-abal, dengan kualitas suara yang sangat menyedihkan, yang menyuguhkan musik seperti radio rusak!
Ada banyak video semacam itu di YouTube. Cirinya bisa ditandai dengan mudah, yaitu ketidaksinkronan antara suara yang terdengar, dengan video yang kita lihat. Biasanya, orang membuat video abal-abal semacam itu dengan teknik mudah. Yaitu mengubah audio—entah dari media apa pun—dan menjadikannya video, yang kemudian diunggah ke YouTube. Jika kita mendengarkan suatu lagu/musik dari video semacam itu, hasilnya jelas. Ancur!
Lagu atau musik sebagus apa pun, hasilnya benar-benar jelek ketika didengar dengan cara semacam itu.
So, itulah yang saya maksudkan dalam tweet, “Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”
Maksud saya dalam tweet itu, kalau kita ingin mengecek—sekali lagi, mengecek—suatu lagu di YouTube, dan kebetulan video yang kita lihat bukan video resmi, hasilnya pasti buruk. Itu jelas cara yang tidak adil dalam menilai kualitas suatu lagu atau musik. Karena sarana atau media yang kita gunakan tidak memadai.
Cara terbaik untuk mengecek—sekali lagi, mengecek—suatu lagu benar-benar bagus atau tidak, lakukan dengan mendengarkan rekaman musik aslinya. Yang saya maksud adalah lewat CD atau saluran lain yang dirilis resmi. Dengan cara itu, musik yang kita dengar benar-benar utuh dan sempurna, sehingga penilaian kita lebih objektif, tanpa distorsi.
Sebagai contoh, saya punya CD berisi lagu-lagu soundtrack film Hameshaa. Salah satu lagu dalam CD itu berjudul “Aisa Milan Kal Ho Na Ho” (dinyanyikan oleh duet Kumar Sanu dan Alka Yagnik). Saat didengar lewat CD, lagu itu sangat indah. Setiap denting dalam musik—selirih dan sesamar apa pun—terdengar, dan telinga saya benar-benar dimanjakan. Lagu itu, beserta musik yang mengiringi, sangat bagus.
Tetapi, ketika saya cek di YouTube, hasilnya berbalik seratus delapan puluh derajat!
Di YouTube, memang ada video yang menampilkan lagu “Aisa Milan Kal Ho Na Ho”, bahkan memvisualkan adegan Saif Ali Khan dan Kajol—yang lipsinc lagu tersebut—sebagaimana yang terdapat dalam film. Tetapi, kualitas suaranya... ya ampun, benar-benar buruk. Saat mendengar lagu itu di YouTube, saya merasa sedang mendengar siaran radio AM yang kresek-kresek tidak jelas!
Saat didengar lewat CD, “Aisa Milan Kal Ho Na Ho” sangat indah. Tapi saat didengar di YouTube, lagu yang indah itu bisa sangat menyakiti telinga, karena kualitas suaranya yang sangat... sangat buruk!
Sudah paham yang saya maksudkan?
Jadi, ketika saya menulis tweet tentang mengecek lagu jangan di YouTube, yang saya maksudkan memang mengecek lagu. Saya tidak sedang mempersoalkan file sharing, komoditas musik, apalagi sampai kapitalisme industri rekaman. Yang saya maksudkan—dalam tweet tersebut—semata-mata mengecek kualitas musik!
“Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”
Di Twitter, saya memang kadang mengunggah video dari YouTube ke akun Twitter. Biasanya, saya baru menemukan lagu asyik di YouTube, lalu ingin membagikannya ke follower di Twitter, siapa tahu mereka juga suka. Dalam hal itu, maksud dan tujuan saya bukan “mengecek kualitas musik”, melainkan “sekadar berbagi kesenangan”. Itu dua hal yang sangat berbeda. Yang satu membutuhkan keseriusan, yang satu lagi hanya untuk bersenang-senang.
Omong-omong, salah satu album Iwan Fals yang sangat saya suka adalah “1991”. Dalam album itu, Iwan Fals menggunakan instrumen musik yang sangat kompleks, termasuk melibatkan senterewe hingga klenengan sapi.
Ketika musik yang sangat kompleks semacam itu dikonversi ke—misalnya—MP3, suara senterewe dan klenengan sapi akan hilang, karena dianggap tidak “substansial”. Hasilnya, telinga kita mendengarkan suara musik yang tidak lagi utuh.
Apa itu senterewe dan klenengan sapi? Saya tidak akan menjelaskan. Saya hanya bisa menyarankan, dengarkan album itu di CD original!
PS:
Terkait YouTube, file sharing, hingga persoalan kapitalisme di industri rekaman, saya bisa menyarankan kalian untuk membaca catatan yang tayang di situs Mojok.Co: File Sharing, Profit, dan Pembajakan: Ode untuk Artem Vaulin. Tulisan itu bisa menjadi pelengkap sekaligus pembanding catatan saya di sini.