Apa pun yang disentuh dengan hati memang memiliki efek magis.
Lukisan, sinema, musik, kata-kata, senyuman...
—@noffret
Lukisan, sinema, musik, kata-kata, senyuman...
—@noffret
Dewa Budjana, gitaris terkenal Indonesia, pernah menyatakan bahwa “di dalam setiap gitar terdapat khadam”. Saya pikir, itu cara dia dalam menghormati gitar, sesuatu yang sangat dekat dengan diri dan kehidupannya. Para “dewa”—dalam bidang apa pun—memang memiliki semacam ikatan batin dengan pekerjaannya, atau hal-hal yang terkait pekerjaannya. Seperti Dewa Budjana dan gitar.
Kita mungkin kerap melihat gitaris-gitaris hebat memainkan gitar mereka, hingga orang-orang terpukau. Umpamakan saja kita melihat Dewa Budjana memetik gitar, dan menghasilkan melodi yang sangat indah, hingga kita terpesona. Cobalah pinjam gitar tersebut, dan cobalah ulangi melodi yang tadi dimainkan Dewa Budjana. Mungkin kita bisa menghasilkan melodi yang sama. Tapi apakah hasilnya seindah yang dihasilkan Dewa Budjana? Kemungkinan besar tidak!
Padahal, kita menggunakan gitar sama yang juga digunakan Dewa Budjana, dan kita menguasai notasi musik untuk menghasilkan melodi yang sama. Apa yang membedakan di sini, hingga melodi yang kita hasilkan tidak sebagus atau seindah yang dihasilkan Dewa Budjana?
Setidaknya ada dua hal yang membedakan kita dengan para “dewa”. Pertama, skill. Kedua, hati. Seseorang disebut “dewa” di bidangnya, jika memiliki dua hal itu. Skill atau kemampuan yang hebat, dan hati yang digunakan untuk bekerja atau menghasilkan karya.
Di jalanan New York, pernah ada pengamen yang memainkan musik dengan gitar listrik. Di suatu siang yang cukup adem, dia memainkan “Brothers”, salah satu musik karya Yngwie Malmsteen yang sangat melodius. Secara skill, pengamen itu bisa dibilang hebat, karena musik yang ia hasilkan dengan gitarnya nyaris mirip musik yang dihasilkan Yngwie Malmsteen. Tetapi, orang-orang yang berlalu lalang di sana terlihat cuek, tidak terlalu memperhatikan, meski sebagian mereka meninggalkan uang untuk si pengamen.
Kebetulan, waktu itu, Yngwie Malmsteen baru keluar dari sebuah toko, dan mungkin tergelitik karena mendengar musiknya sedang dimainkan pengamen jalanan. Dia mendekati pengamen tersebut, dan menyapa ramah. Mereka bercakap sesaat, kemudian Yngwie Malmsteen meminjam gitar listrik si pengamen. Yngwie Malmsteen duduk di samping si pengamen, mulai memainkan gitar, dan “keajaiban” terjadi.
Di tangan Yngwie Malmsteen, gitar yang tadi digunakan si pengamen bisa menghasilkan melodi yang sangat indah dan membius. Sebegitu membius, hingga orang-orang yang berlalu lalang di sana seperti dipaksa untuk berhenti dan menyaksikan. Dalam waktu singkat, sudut jalanan New York yang semula sepi berubah seperti arena konser.
Waktu itu, Yngwie Malmsteen juga memainkan “Brothers”—musik sama yang tadi dimainkan si pengamen. Tetapi, entah bagaimana caranya, musik yang dihasilkan Yngwie Malmsteen jauh lebih indah dan lebih membius.
Apa yang membedakan di sini? Jawabannya itu tadi, skill dan hati.
Tentu tidak adil membandingkan skill seorang pengamen jalanan dengan skill seorang maestro gitar. Tapi ada hal besar yang terjadi sini, yaitu kemampuan sang maestro memasukkan hatinya ke dalam petikan gitarnya! Itulah yang membedakan orang biasa dengan para “dewa”. Hati!
Orang-orang awam—atau orang yang sinis—mungkin bisa mengatakan, Yngwie Malmsteen atau para gitaris hebat lain bisa menghasilkan melodi yang sangat indah, karena mereka menggunakan gitar yang luar biasa mahal. Tapi kenyataan di jalanan New York mementahkan tuduhan itu. Meski bermain dengan gitar milik pengamen jalanan, seorang maestro tetap maestro!
Sebaliknya, meski kita meminjam gitar milik Yngwie Malmsteen—atau milik Steve Vai atau milik Joe Satriani atau milik Jimi Hendrix sekali pun—tetap saja kita belum tentu mampu menghasilkan musik seperti mereka. Bagaimana pun, ada jurang mendalam yang membedakan kita dengan mereka. Yaitu skill, dan hati. Kemampuan kita, khususnya dalam urusan gitar, jelas di bawah mereka. Sementara hati kita bisa jadi ada di tempat lain.
Well, gitar hanya contoh, atau ilustrasi. Betapa sesuatu yang mungkin biasa ketika di tangan orang biasa, bisa berubah menjadi luar biasa ketika berada di tangan seorang maestro.
Ada kalanya, kemampuan-kemampuan yang mengagumkan memang lahir dari bakat. Dalam arti, seseorang memang dikaruniai “gen alami” untuk memiliki suatu kemampuan, yang kemudian menjadikannya seorang maestro. Seperti Dewa Budjana, atau Yngwie Malmsteen. Bisa jadi, mereka memang memiliki bakat sebagai gitaris, dan mereka tumbuh dengan mengembangkan bakat yang dimiliki—bertahun-tahun tanpa henti—hingga menjadi “dewa” di bidangnya.
Tetapi, tentu di antara banyak “dewa” di berbagai bidang, ada pula yang memiliki kemampuannya semata-mata karena usaha dan upaya. Karena, bagaimana pun, setiap kemampuan atau keterampilan selalu bisa dipelajari. Bahkan yang paling sulit sekali pun.
Siapa pun bisa belajar bemain gitar—ada banyak buku panduan tentang itu kalau mau otodidak, dan ada banyak guru atau tempat kursus kalau ingin belajar lebih mendalam. Artinya, siapa pun bisa menjadi gitaris profesional. Itu tak jauh beda dengan kemampuan lain, dari menjadi pelukis, penyanyi, penulis, penari, dan lain-lain. Semuanya bisa dipelajari, dan siapa pun bisa menguasai kemampuan yang diinginkan.
Dengan kata lain, kemampuan bisa dilatih. Dan siapa pun bisa melakukan. Saat sampai di titik itulah, seorang maestro akan terlihat di antara banyak orang biasa. Sama-sama punya kemampuan, sama-sama menggunakan media serupa, tapi seorang maestro bekerja dan menghasilkan karya dengan hati.
Sekali lagi, hati!
Selalu itu yang membedakan seorang maestro dengan orang-orang biasa.
Ada banyak orang bisa menyanyi, tapi kita selalu tahu mana yang bernyanyi dengan hati, dan mana yang menyanyi sekadar menyanyi. Di televisi, dalam acara-acara pencarian bakat, kita pasti sering menjumpai peserta yang mampu menyanyi dengan indah, hingga hati kita bergetar saat menyaksikan dan mendengar suaranya. Padahal kita tidak kenal sang penyanyi, karena bisa jadi dia orang biasa yang baru muncul di televisi. Kita baru melihatnya, tapi langsung terbius dengan kemampuan dan caranya bernyanyi. Tidak bisa tidak, dia pasti menyanyi dengan hati.
Untuk menjadi profesional, kemampuan jelas penting. Tapi hati yang membalut kemampuan, itulah yang membuat hati orang lain bergetar.
Well, salah satu buku mengesankan yang pernah saya baca, adalah memoar Sidney Sheldon, “The Other Side of Me”. Berbeda dengan novel-novelnya, buku itu merupakan memoar kehidupan Sidney Sheldon, sebagai pribadi, juga sebagai penulis. Dia menceritakan kisah kehidupannya, sejak kecil, saat tumbuh remaja dan dewasa, karirnya di dunia perfilman, pernikahannya, keluarganya, hingga perjalanannya menjadi penulis novel yang mengantarkan namanya dikenal dunia.
Selama membaca buku itu, saya terus menerus tersenyum dan menangis. Novel-novel Sidney Sheldon, bagi saya, sangat hebat. Tapi memoar kehidupan sang pengarang, jauh lebih hebat. Ketika membaca memoar tersebut, saya tidak ingin selesai, karena sangat menikmati cerita yang dikisahkannya, meski terus menerus tersenyum dan menangis. Saat akhirnya selesai membaca seutuhnya, saya merasa telah mendapat pengalaman yang sangat berharga.
Bagaimana bisa sebuah buku mampu membuat pembacanya tersenyum dan menangis, padahal kita sama sekali tidak kenal si penulis? Karena buku itu ditulis dengan hati!
Ada banyak buku, ada banyak tulisan, ada banyak cerita, tapi hanya yang ditulis dengan hati yang mampu menggetarkan hati pembaca.
Karena gitar hanya alat bagi musisi, sebagaimana kuas bagi pelukis, dan pena bagi penulis. Kemampuan memungkinkan siapa pun memanfaatkan alat-alat itu untuk menghasilkan karya—musik, lukisan, tulisan—tapi hanya yang dihasilkan dari hati yang selalu menggetarkan.