Pengalaman terbaik adalah pengalaman yang diceritakan secara jujur.
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.
—@noffret
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.
—@noffret
Setiap kali orang bercerita tentang ibadah haji di Mekkah, rata-rata mereka menceritakan hal-hal yang asyik, hebat, menyenangkan, dan positif lainnya. Sebegitu menyenangkan, hingga mereka ingin sering beribadah haji ke Mekkah, kalau saja bisa. Selama ini, saya belum pernah mendengar orang mengatakan hal sebaliknya. Kapan pun orang bercerita tentang ibadah haji, yang selalu saya dengar adalah “hebat”, “asyik”, “menyenangkan”, dan seterusnya.
Jadi, saya pun percaya kalau ibadah haji ke Mekkah memang sangat menyenangkan. Karenanya, saya pun tidak heran ketika mendapati banyak orang sampai rela menabung bertahun-tahun demi bisa beribadah haji ke Mekkah. Sebagai salah satu ibadah, haji tampaknya memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki rata-rata ibadah lain. Bahkan, ibadah haji juga memberi “bonus”—khususnya bagi orang Indonesia—yaitu sebutan Pak Haji atau Bu Haji.
Bandingkan itu dengan ibadah atau bahkan rukun Islam lain. Haji termasuk rukun Islam. Tetapi, di antara semua rukun Islam, cuma haji yang istimewa. Orang yang shalat saban hari, tidak pernah dipanggil “Pak Shalat” atau “Bu Shalat”. Orang yang berzakat setiap tahun tidak pernah dipanggil “Pak Zakat” atau “Bu Zakat”. Tapi orang yang beribadah haji—meski hanya sekali seumur hidup—dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Haji”.
Kalau kau pernah ke Mekkah untuk ibadah haji, kau berhak dan layak menempatkan huruf “H” di depan namamu, dan orang-orang akan lebih menghormatimu.
Jadi wajar kalau kemudian banyak orang sangat ingin beribadah haji. Karena, selain ibadah itu menyenangkan—sebagaimana yang biasa dikatakan orang-orang—ibadah haji juga memiliki semacam prestise. Atau semacam gelar yang mengukuhkan derajat seseorang lebih tinggi, dibanding rata-rata orang lain yang tidak memiliki gelar sama.
Tentu tidak semua orang ingin berangkat haji ke Mekkah karena motivasi itu. Banyak dari mereka yang beribadah haji semata-mata karena memang ingin beribadah, dan tidak ingin macam-macam, termasuk tidak ingin dipanggil Pak Haji atau Bu Haji. Lebih dari itu, ternyata tidak semua orang memiliki pengalaman menyenangkan selama berhaji—sebagaimana yang biasa dikatakan orang. Ada pula orang yang justru “kapok” naik haji. Teman saya bisa menjadi contoh dalam hal ini.
Teman saya, sebut saja Ihsan, berangkat ke Mekkah untuk beribadah haji bersama orangtua dan kakaknya. Jadi, mereka berempat pergi ke Mekkah bersama rombongan dari Indonesia. Sepulang dari Mekkah, seperti biasa, orang-orang pun mengunjungi mereka, untuk ikut bersuka cita karena mereka pulang dengan selamat.
Bersama teman-teman, saya ikut mengunjungi Ihsan setelah dia pulang dari Mekkah. Dalam kunjungan itu, kami pun mengobrol, dan meminta Ihsan menceritakan pengalamannya selama berhaji di Mekkah. Berbeda dengan umumnya cerita yang biasa kami dengar dari orang lain, Ihsan memiliki pengalaman berbeda. Bukannya berkata senang atau ingin kembali berhaji, Ihsan justru mengatakan, “Terus terang, aku kapok naik haji.”
Kami semua tercengang.
Perlu saya jelaskan terlebih dulu, Ihsan teman kami memang sosok yang suka ngablak, dan biasa berbicara apa adanya. Dia bukan orang yang suka jaim. Dia orang jujur dalam arti sebenarnya. Karena itu, ketika dia mengatakan kapok naik haji, kami pun percaya. Tetapi, tentu saja, kami penasaran ingin mendengar ceritanya, hingga ia kapok naik haji. Maka Ihsan pun bercerita.
“Aku benar-benar heran dengan orang yang mengatakan ibadah haji sangat menyenangkan,” ujar Ihsan terus terang. “Di sana (Mekkah) sangat panas, cuacanya sangat tidak ramah, dan itu—ditambah berbagai masalah lain—bisa membuat orang mudah emosi. Aku sampai sering bertengkar dengan kakakku gara-gara hal sepele, karena dipicu kondisi di sana yang memang tak bersahabat. Itu baru kondisi alam, belum yang lain.”
Setelah terdiam sejenak, Ihsan melanjutkan, “Kita ke Mekkah untuk ibadah haji, kan? Jadi, aku pun mengikuti rombongan untuk melaksanakan ibadah haji di sana, dan—terus terang—itu ibadah yang sangat berat, tak bisa dibilang menyenangkan, juga sangat melelahkan. Kita berdesak-desakan dengan jutaan orang yang sama-sama beribadah haji, dan tidak semua dari mereka orang ramah.”
Penjelasan mengenai hal itu sebenarnya masih panjang lebar, tapi sengaja saya potong sampai di situ.
“Itu baru soal ibadah,” lanjut Ihsan. “Belum lagi dalam urusan keseharian, seperti makan, minum, istirahat, dan lainnya. Ya ampun, dibandingkan kehidupan sehari-hariku di sini, terus terang jauh lebih enak di sini. Meski sederhana, aku di sini bisa makan dengan mudah, bisa beristirahat dengan layak. Lhah, di sana...? Semuanya serba susah, dan—sekali lagi—jauh dari kesan menyenangkan. Makanya aku heran dengan orang-orang yang mengatakan ibadah haji itu menyenangkan, hingga mereka ingin kembali ke sana. Di mana menyenangkannya...?”
Seorang teman kemudian bertanya, “Jadi, kamu tidak ingin kembali ke sana?”
Ihsan menjawab, “Seperti yang kubilang tadi, aku kapok. Kalau orang lain menganggap beribadah haji menyenangkan, itu urusan mereka, dan bisa jadi mereka memiliki pengalaman berbeda denganku. Tetapi, berdasarkan pengalamanku sendiri, semua yang kualami di sana sama sekali tidak bisa dibilang menyenangkan.”
Saat pulang dari rumah Ihsan, kami benar-benar mendapat “pengalaman baru”, meski dengan tercengang. Seumur-umur, baru kali itu kami mendengar ada orang yang kapok naik haji. Biasanya, setiap kali orang bercerita pengalamannya naik haji, yang terdengar adalah hal-hal hebat, asyik, menyenangkan, dan semacamnya. Ihsan punya pengalaman berbeda, dan itu membuat kami “terpesona”.
Karena penasaran dengan cerita dan pengalaman Ihsan, saya pun mencoba mengonfirmasikannya pada Iskandar. Dia orang yang sangat alim, tapi moderat. Dia juga pernah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Lebih dari itu, Iskandar sosok yang bisa dipercaya. Jadi, saya ingin tahu bagaimana pendapat Iskandar mengenai cerita Ihsan.
Ketika mendengar saya menceritakan pengalaman Ihsan, Iskandar menyatakan, “Sebenarnya tidak aneh, kalau temanmu (Ihsan) punya pengalaman seperti itu. Karena nyatanya di sana memang panas, dan kondisi di sana memang kadang tidak ramah. Ritual ibadah yang dijalani juga relatif berat—itu bukan hal-hal menyenangkan.”
Saya jadi tergelitik, dan bertanya, “Tapi menurutmu, ibadah haji menyenangkan?”
“Aku tidak pernah mengatakan begitu,” jawab Iskandar. “Bagiku, ibadah haji tak jauh beda dengan ibadah lain, sama-sama ibadah. Ya sama seperti ibadah lain—ada senangnya, juga ada tidak senangnya. Ambil contoh yang jelas sajalah, seperti puasa misalnya. Sebagai ibadah, apakah puasa menyenangkan? Kalau kamu menganggapnya menyenangkan, itu urusanmu. Tetapi, menurutku, puasa sangat tidak menyenangkan, karena seharian harus menahan lapar dan haus. Memangnya apa yang menyenangkan dari hal semacam itu? Tetapi, begitu magrib tiba, dan kita bisa mulai makan minum, aku merasa minum setelah berpuasa seharian jauh lebih nikmat dibandingkan minuman yang kurasakan di hari-hari biasa.”
Saya mulai memahami maksudnya.
“Begitu pun ibadah lain, termasuk haji,” lanjut Iskandar. “Mengatakan bahwa ibadah haji pasti menyenangkan, itu berlebihan. Karena nyatanya—setidaknya berdasarkan pengalamanku sendiri—prosesi selama ibadah haji ada yang menyenangkan, ada pula yang tidak menyenangkan. Yang membedakan, mungkin, ada orang yang menikmati pengalaman menyenangkan lebih banyak, ada pula yang kebetulan menghadapi pengalaman menyenangkan lebih sedikit. Seperti Ihsan, temanmu. Mungkin dia kebetulan menghadapi pengalaman menyenangkan lebih sedikit, hingga mengatakan kapok naik haji. Bagiku, itu hal wajar. Kita toh tidak bisa menyalahkan pengalaman orang, wong itu pengalamannya. Dia yang mengalami, bukan kita.”
Setelah jeda beberapa saat, saya bertanya, “Tetapi, kenapa kebanyakan orang yang naik haji lebih sering mengatakan hal-hal hebat, menyenangkan, dan nyaris tidak pernah menjelaskan bahwa di sana juga ada hal-hal yang tidak atau kurang menyenangkan? Maksudku, kenapa mereka tidak menjelaskan secara jujur dan apa adanya mengenai keadaan di Mekkah—bahwa di sana ada hal menyenangkan, tapi juga ada yang tidak menyenangkan—sehingga orang-orang yang ingin naik haji lebih mampu menyiapkan mental.”
Iskandar tersenyum. “Kamu lebih tahu soal itu.”
“Sori?”
Senyum Iskandar makin lebar. “Itu urusan yang terkait sifat manusia, dan kamu lebih tahu sifat manusia.”
“Sebenarnya, aku tidak tahu.”
Setelah hening sejenak, akhirnya Iskandar berkata perlahan-lahan, “Manusia selalu berusaha membenarkan diri sendiri—atau setidaknya menjaga etika—terlepas apa pun yang dilakukan. Termasuk soal ibadah, seperti haji. Apalagi dalam kebudayaan kita, yang masih menganggap ibadah haji sebagai sesuatu yang hebat. Orang tidak mungkin berangkat ke Mekkah untuk ibadah haji, membayar sekian puluh juta, menunggu sampai lama untuk bisa berangkat, diantar orang sekampung, lalu pulang disambut keramaian, kemudian berkata blak-blakan bahwa dia kapok naik haji.”
Saya tersenyum. “Kecuali Ihsan.”
“Ya, kecuali Ihsan, temanmu. Dia pasti orang yang sangat jujur.” Lalu Iskandar melanjutkan, “Jadi, ketika kebanyakan orang mengatakan bahwa ibadah haji menyenangkan, hebat, dan semacamnya, itu upaya mereka untuk menjaga etika di hadapan orang-orang lain, karena mereka tentu berat untuk mengatakan hal sebaliknya, meski jika itu kenyataan atau pengalaman yang mereka hadapi. Bukankah memang begitu sifat alami manusia?”
Saya mengangguk.
Iskandar melanjutkan, “Mereka ingin tampak baik. Itu lebih terkait dengan sifat manusia, yang tidak ingin berbeda dengan pendapat umum masyarakat. Karena kebanyakan orang lain mengatakan ibadah haji menyenangkan, mereka pun berusaha menunjukkan hal yang sama. Mereka tidak ingin mencederai kepercayaan orang lain, dalam hal ini terkait haji. Mereka ingin orang lain punya kesan positif, bahwa mereka juga menikmati pengalaman beribadah haji yang menyenangkan—sama seperti orang-orang lain.”
Saya mengangguk-angguk, lalu berkata, “Jadi, yang terjadi sini—terkait pengalaman haji yang selalu terdengar menyenangkan—adalah upaya konformitas?”
Iskandar tersenyum. “Konformitas, atau kamu bisa menyebutnya sebagai kebohongan yang bisa dimaklumi bersama.”
Saya tertawa. “Seperti perkawinan, ya? Orang-orang selalu berusaha menunjukkan kalau perkawinan pasti menyenangkan, bahagia, dan lain-lain, meski sebenarnya belum tentu seperti itu.”
“Ya, seperti perkawinan,” ujar Iskandar. “Orang kerap menganggap perkawinan sebagai bagian dari ibadah, dan posisinya jadi mirip fenomena haji. Orang yang menikah, yang melangsungkan prosesi sejak melamar sampai diramaikan orang sekampung, yang telah menghabiskan banyak biaya untuk resepsi dan segala macam, apa iya mau blak-blakan mengakui kalau perkawinan ternyata tidak seindah yang mereka bayangkan? Lagi-lagi, ini sangat terkait dengan sifat manusia. Mereka ingin tampak senang, tampak beruntung, tampak baik. Apalagi, dalam perkawinan, ada pihak lain yang terlibat. Kita tidak mungkin mengatakan terang-terangan bahwa pasangan kita ternyata brengsek dan menjengkelkan, meski sebenarnya mungkin begitu.”
Saya jadi teringat, “Omong-omong, kamu akan menikah tidak lama lagi.”
“Ya.” Iskandar mengangguk. “Tetapi, aku menikah bukan karena tergiur iming-iming bahwa menikah pasti menyenangkan, atau akan melancarkan rezeki dan semacamnya. Kakak-kakakku telah menikah, dan aku tahu bagaimana keluarga mereka. Ada hal positifnya, ada pula hal negatifnya. Kalau kakakku mengatakan bahwa menikah pasti menyenangkan, aku tahu dia bohong. Aku akan menikah, tak lama lagi, semata-mata karena aku memang jatuh cinta pada calon istriku, dan kami telah bersepakat untuk hidup bersama, berbagi hidup, kegembiraan dan kedukaan.”
“Kedengarannya menyenangkan.”
“Kuharap begitu.” Setelah terdiam sesaat, Iskandar kembali berkata, “Bagaimana pun, kita toh menyadari hidup tidak hitam putih. Mengatakan bahwa kehidupanmu selalu bahagia, itu bohong. Sama bohong kalau mengatakan kehidupanmu selalu sengsara. Begitu pun hal lain. Ibadah haji, menikah, urusan kerja, dan lain-lain. Ada bahagianya, ada pula kedukaannya. Karenanya, kemarin, aku dan calon istriku juga membahas hal itu, bahwa kehidupan yang akan kami jalani tidak seindah ocehan orang-orang. Jauh lebih baik kami menyiapkan mental untuk menghadapi hal-hal buruk, daripada berharap hal-hal indah tapi justru merasa tertipu.”
Saya mengangguk-angguk. “Aku jadi penasaran, kira-kira bagaimana komentar Ihsan, kalau saja dia telah menikah...”
Iskandar tertawa.