Ahok atau bukan Ahok, masalah tidak akan selesai,
kalau sistem nilai yang digunakan hanya sebatas fanatisme
dan suka atau tidak suka.
Sebenarnya saya tidak ingin menulis catatan ini. Tapi otak saya gatal. Sebegitu gatal, hingga saya tidak mampu menahan diri untuk tidak menulis catatan ini. Jadi, meski dengan terpaksa, saya menulis catatan ini.
Orang-orang meributkan kasus ucapan Ahok—terkait surat Al-Maidah—yang bahkan sampai memicu banyak orang melakukan demo di Jakarta, tempo hari. Kasus itu bahkan belum selesai hingga hari ini. Jika dirunut ke belakang, kasus ucapan itu—hingga sampai munculnya demo—dimulai oleh Buni Yuni yang memotong (perhatikan, saya tidak mengatakan “mengedit”) ucapan Ahok.
Buni Yani memotong video rekaman Ahok saat berbicara di Kepulauan Seribu, tepat pada bagian yang diinginkannya, kemudian mengunggah potongan video itu ke akun Facebook miliknya. Beserta unggahan itu, Buni Yani juga menuliskan tiga baris kalimat. Berikut ini tiga baris kalimat yang ditulis Buni Yani:
PENISTAAN TERHADAP AGAMA?
“Bapak ibu (pemilih muslim) dibohongi surat Al Madinah (dan) masuk neraka (juga bapak ibu) dibodohi”.
Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.
Lebih jelas, silakan lihat gambar yang saya ambil dari Detik.Com berikut ini.
Itulah asal usul ribut-ribut sampai demo di Jakarta, tempo hari. Seiring dengan itu—khususnya di dunia maya—ada dua kubu yang terpecah. Sebagian menganggap Buni Yani benar, sementara sebagian lain menganggap Buni Yani salah. Dan dua kubu itu terus ribut sampai sekarang, sebegitu ribut hingga topik perdebatan mereka sering kali lepas dan meninggalkan konteks awal.
Bagi saya, kasus ini sangat jelas, gamblang, dan sederhana. Sebegitu jelas dan sederhana, hingga saya heran kenapa akibat dan kekisruhan yang terjadi tidak juga selesai. Masalah terkait ucapan Ahok hanyalah masalah konteks. Dan, seperti biasa, ada banyak orang yang lebih suka meributkan teks tapi melupakan konteks.
Sejujurnya, saya bukan pendukung Ahok, terkait Pilkada yang akan dilangsungkan di Jakarta. Saya bukan warga DKI, dan KTP saya juga bukan KTP Jakarta. Terus terang, saya juga tidak peduli siapa yang akan jadi Gubernur DKI, karena bisa dibilang tidak ada pengaruhnya bagi saya.
Dulu, saya sempat “menyinyiri” Ahok, lantaran bosan melihat dia tiap hari muncul di banyak situs berita, mengomentari apa saja, dan media-media terus memuatnya tanpa jeda. Saya bahkan sempat mencurigai beberapa media sengaja meng-endors Ahok, hingga sangat aktif menulis tentang Ahok, dan melupakan objektivitas. Jadi, terkait Ahok, saya tidak punya kepentingan apa pun dengannya.
Tetapi, bagaimana pun, saya harus fair dan objektif melihat fakta—dan tidak sekadar menghakimi Ahok lantaran sentimen pribadi—khususnya fakta terkait ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, yang jadi masalah akhir-akhir ini. Ketika kasus itu mencuat, saya pun menyempatkan diri menyaksikan rekaman video Ahok yang berbicara di hadapan warga Kepulauan Seribu. Saya menontonnya dari awal sampai akhir, hingga bisa memahami seutuhnya; apa sebenarnya yang diucapkan Ahok.
Setelah selesai menonton rekaman video itu, saya tidak melihat masalah apa pun. Ucapan Ahok biasa-biasa saja, dan dia tidak menistakan Al-Qur’an seperti yang dituduhkan banyak orang. Ahok memang sempat menyebut “surat Al-Maidah”, tetapi dia mengucapkan kalimat itu dalam konteks yang sama sekali berbeda dari yang dipahami orang-orang yang lalu menista dirinya.
Jika ingin membaca transkrip lengkap ucapan Ahok dalam acara itu, silakan lihat di sini: Ini Transkrip Ucapan Ahok di Kepulauan Seribu.
Lalu kenapa ucapan Ahok yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa menjadi masalah besar? Ada banyak faktor penyebab. Tetapi, meski begitu, kita bisa merunut akarnya. Yaitu ulah Buni Yani yang memotong video tersebut.
Jadi, Buni Yani memotong ucapan Ahok dalam rekaman video tersebut, tepat pada bagian Ahok menyebut Surat Al-Maidah. Buni Yani memang tidak mengedit—karena ulahnya lebih tepat disebut “memotong”. Dan bagian yang ia potong adalah bagian yang diinginkannya, yaitu pada durasi ketika Ahok menyebut Surat Al-Maidah. Setelah itu, ia unggah potongan video tersebut ke akun Facebook-nya, sembari menulis kalimat provokatif seperti yang terlihat dalam gambar di atas.
Sekilas, pemotongan yang dilakukan Buni Yani memang tampak sepele. Tapi dia melakukan kesalahan besar, yaitu menghilangkan konteks!
Buni Yani sengaja mengambil teks yang ia inginkan, sembari menghilangkan konteks seutuhnya yang mengikuti teks tersebut. Kenyataan itu pula yang membuat Buni Yani menjadi tersangka dalam kasus ini, karena yang dilakukannya memang salah. Penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut, bisa dilihat di sini: Buni Yani Jadi Tersangka karena 3 Paragraf Kalimat.
Perdebatan tentang hal ini—apakah Buni Yani bersalah atau tidak—bisa jadi akan terus berlangsung sampai kiamat, jika orang hanya mengedepankan kebenaran versinya sendiri, dan tidak mau objektif melihat fakta. Karenanya, agar tidak terjebak dalam perdebatan semacam itu, sekarang saya akan menceritakan kisah yang bisa dibilang serupa dengan kasus Ahok dan ulah Buni Yani. Yaitu kisah tentang Louis CK.
Bagi yang mungkin belum tahu, Louis CK adalah salah satu komedian hebat di dunia, yang dianggap sosok penghibur penuh inspirasi. Para komedian di mana pun sangat menghormatinya, karena Louis CK bukan hanya sosok senior di bidang komedi, tapi juga seorang guru. Dalam kariernya, dia adalah komedian pertama di dunia yang meraih tiga kali sold-out tiket dalam satu show di Madison Square Garden.
Dalam kehidupan pribadi, Louis CK punya beberapa anak perempuan, dan dia sangat menyayangi mereka. Sebegitu sayang pada putri-putrinya, sampai Louis CK bertekad meninggalkan smartphone dan internet, demi bisa meluangkan waktu lebih banyak bersama putri-putrinya, demi bisa bercakap-cakap secara dekat dengan anak-anak yang disayanginya. Dia bukan hanya seorang komedian yang hebat, tapi juga figur ayah yang hebat.
Nah, suatu hari, Louis CK mengisi acara Saturday Night Live. Seperti biasa, dia ngomong banyak hal yang mampu membuat orang-orang tertawa, tapi juga memberi inspirasi. Dalam acara itu, Louis CK mengatakan kalimat berikut ini:
“Padahal hukuman karena memperkosa anak itu sangat keras! Bisa hukuman mati, atau penjara seumur hidup. Kalau pun dipenjara, orang-orang itu (si pemerkosa) pasti akan dihabisi karena—bahkan bagi para penghuni penjara—pemerkosa anak dianggap kriminal yang levelnya paling nista. Tapi kenapa masih ada yang berani melakukannya? Kesimpulan yang bisa kita ambil, pasti enak memperkosa anak-anak, sehingga mereka bersedia menerima risikonya. Enak untuk mereka (si pemerkosa), lho ya.”
Ketika Louis CK mengatakan kalimat itu, tidak ada yang mempermasalahkan, karena kenyataannya kalimat itu memang tidak salah. Tetapi, kemudian, ada orang yang memotong kalimat Louis CK pada bagian yang diinginkannya, dan sengaja meninggalkan konteks kalimat seutuhnya. Bagian yang ia potong adalah, “pasti enak memperkosa anak-anak.”
Bayangkan hasilnya seperti ini, Louis CK mengatakan, “Pasti enak memperkosa anak-anak.”
Kira-kira bagaimana respons kebanyakan orang atas kalimat provokatif semacam itu? Benar, orang-orang langsung geger dan mencerca Louis CK! Kenapa? Karena mereka tidak melihat konteks kalimat itu seutuhnya, dan hanya melihat bagian teks yang sengaja dipotong oleh si provokator!
Padahal, kalau saja orang-orang mau melihat konteks kalimat seutuhnya, mereka akan memahami, bahwa maksud Louis CK jauh berbeda dari kalimat yang dipotong tersebut. Lebih dari itu, Louis CK seorang ayah yang sangat menyayangi putri-putrinya, sehingga tidak mungkin dia mengatakan kalimat semacam itu.
Nah, kenyataan semacam itulah yang terjadi pada kasus ucapan Ahok yang sengaja dipotong Buni Yani. Memang, Buni Yani tidak mengedit, dia memotong. Tapi dia sengaja memotong pada bagian yang diinginkannya, lalu menambahi potongan kalimat itu dengan kalimatnya sendiri yang cenderung provokatif. Mungkin kasusnya akan berbeda, kalau saja Buni Yani secara jujur mengunggah video Ahok selengkapnya, dan membiarkan orang lain menilai tanpa diprovokasi.
Terkait Buni Yani, sebenarnya bukan sekali ini dia ketahuan memotong ucapan orang. Sebelum kasus Ahok, Buni Yani diketahui pernah memotong ucapan Profesor Quraish Shihab, dan menimbulkan masalah serupa. Baca beritanya di sini: Ternyata Ahok Bukan yang Pertama Dipelintir Ucapannya....
Quraish Shihab berbicara tentang banyak hal terkait kehidupan Nabi Muhammad, hingga ada penjelasan bahwa Nabi tidak terjamin masuk surga karena amal atau perbuatannya, karena masuknya seseorang ke surga—termasuk Nabi—semata karena kasih sayang Allah. Quraish Shihab adalah pakar tafsir terkemuka, dan dia tentu paham betul ajaran agama. Karenanya, penjelasan itu pun didasarkan pada ajaran agama, bukan sesuatu yang ia karang-karang sendiri.
Oleh Buni Yani, kalimat utuh Quraish Shihab tersebut dipotong, menjadi, “Nabi tidak dijamin masuk surga karena amal atau perbuatannya.”
Apa akibatnya? Kita semua sudah tahu! Orang-orang mencerca dan mencaci Quraish Shihab gara-gara sepotong teks tersebut, padahal mereka tidak melihat konteks kalimat seutuhnya.
Selain Quraish Shihab, Buni Yani juga diketahui pernah memotong ucapan Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun, seorang mufti besar Suriah. Lagi-lagi, dia sengaja mengambil bagian kalimat yang diinginkannya—tentang “pemusnahan rakyat Aleppo”—dan sengaja meninggalkan konteks kalimat seutuhnya. Orang-orang kembali terprovokasi, padahal mereka hanya melihat secuil teks yang sengaja dipotong atau dilepaskan dari konteks seutuhnya.
Jadi, setidaknya kita bisa mengambil simpulan, bahwa Buni Yani tampaknya memang suka memotong kalimat orang lain, lalu ia gunakan untuk kepentingannya sendiri—terlepas apa pun kepentingannya. Dan kalau kepada orang seperti Quraish Shihab atau Badruddin Hassoun saja Buni Yani bisa seenaknya memotong kalimat mereka, apalagi kepada seorang yang suka ngablak seperti Ahok?
Ahok adalah orang yang suka ngablak—bicara blak-blakan, ceplas-ceplos, dan apa adanya. Umumnya, orang-orang ngablak semacam itu sosok yang jujur, tidak takut kelepasan ngomong apa pun, karena memang tidak menyembunyikan apa pun. Secara pribadi, saya percaya Ahok sosok yang jujur—terlepas orang-orang yang mungkin mengelilinginya.
Kalau saja Ahok bukan pejabat, dia orang yang menyenangkan dijadikan teman, karena kita bisa yakin dia memang jujur. Yang menjadi masalah, Ahok adalah pejabat, bahkan memegang jabatan kunci. Karenanya, diakui atau tidak, pasti akan ada konflik kepentingan yang terjadi di sini, terkait ucapannya yang dipotong Buni Yani. Apalagi menjelang Pilkada seperti sekarang.
Jadi, dalam melihat kasus ini, saya menilai Ahok kebetulan apes, begitu pula Buni Yani. Ahok apes akibat kebiasannya ngomong ngablak, sementara Buni Yani juga apes karena kali ini “hobinya” memotong ucapan orang berbuntut panjang.
Karenanya, biarlah kasus ini menjadi pembelajaran bersama—bagi Ahok, Buni Yani, dan kita semua. Dengan terjadinya kasus ini, bisa jadi Ahok akan mulai belajar berbicara secara lebih baik dan lebih tertata, sehingga ucapannya tidak rentan disalahpahami orang lain, khususnya oleh orang-orang yang mungkin tidak menyukainya.
Sementara bagi Buni Yani, semoga ia juga mulai belajar memahami pentingnya konteks sebelum seenaknya memotong teks. Karena jika teks dianggap penting, konteks seribu kali lebih penting. Karena konteks yang melahirkan teks, bukan sebaliknya.
Menggunakan analogi yang akademis, konteks adalah realitas, sementara teks adalah teori. Jika teori dianggap penting, realitas jauh lebih penting. Bahkan, jika teori ternyata tidak sesuai realitas, yang diralat tentu teorinya, bukan realitasnya. Karena teori mengikuti realitas! Kalau realitas mengatakan A tapi teori mengatakan B, yang salah teorinya, bukan realitasnya!
Begitu pula teks dan konteks. Sebelum menghakimi teks, pahami konteksnya dulu seutuhnya. Jangan mudah terprovokasi hanya karena potongan teks. Karena kita manusia yang bisa berpikir, dan bukan kumpulan ayam yang hanya bisa berkoteks.