Roda kehidupan terus berputar. Memang.
Tapi kadang ada paku di jalan, dan ban bocor,
lalu roda berhenti berputar. Begitu pun kehidupan.
—@noffret
Tapi kadang ada paku di jalan, dan ban bocor,
lalu roda berhenti berputar. Begitu pun kehidupan.
—@noffret
Dalam perjalanan pulang, setelah makan siang, saya mengendarai motor perlahan-lahan, dan tanpa sengaja melihat seseorang yang saya kenal sedang berjalan sendirian di pinggir jalan. Ia tampak membawa bungkusan cukup besar di tangan. Meski melihatnya dari belakang, saya tahu itu Nizar. Kenapa dia jalan kaki, pikir saya.
Saat jarak kami telah dekat, saya pun menyapa, “Zar, mau ke mana?”
Dia agak kaget melihat saya tiba-tiba muncul di sampingnya. Tapi segera menjawab, “Ke Pasar Senggol.”
Pasar Senggol yang dia maksud adalah tempat jual beli barang bekas dan rongsokan. Saya tidak tahu apa tujuan Nizar ke Pasar Senggol, tapi saya tahu jarak pasar itu dari tempat kami masih lumayan jauh. Jadi, saya pun menawari, “Mari kuantar.”
“Nggak usah,” sahutnya. “Takut merepotkan.”
“Nggak. Aku nggak lagi buru-buru.”
Akhirnya Nizar bersedia saya antar. Karena dia tidak pakai helm, kami pun melewati jalan-jalan di perkampungan untuk sampai di Pasar Senggol. Sesampai di sana, saya menghentikan motor di tempat parkir. Agar dia merasa nyaman, saya pun berkata, “Aku tunggu di sini.”
Nizar pergi membawa bungkusan di tangannya. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia sudah kembali, dan bungkusan yang tadi sudah tidak ada. Berarti dia menjual sesuatu, pikir saya.
“Mau pulang?” saya menawari. “Atau masih perlu ke tempat lain?”
“Aku mau makan dulu,” sahutnya.
“Sayang sekali aku barusan makan. Biar kutemani aja.”
Kami masuk warung makan sederhana di tempat itu. Dia makan dengan lahap, dan saya menemaninya sambil merokok. Setelah makan, saya mengantarkannya pulang.
Saat sampai di rumahnya, Nizar menawari saya masuk. Lalu kami mengobrol di ruang tamu rumahnya yang sepi.
Nizar adalah teman sejak remaja. Dulu kami sering bermain bersama, saling mengunjungi saat kami masih tinggal bersama orang tua. Ketika saya mulai kuliah dan hidup di rumah sendiri, kami mulai jarang ketemu. Waktu itu kami sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Nizar merintis usaha tekstil ATBM (asli tenun bukan mesin), dan usahanya perlahan-lahan berkembang. Meski begitu, kami tetap berteman, dan sesekali bertemu untuk mengobrol.
Ketika tekstil ATBM mengalami booming pada awal 2000-an, usaha Nizar pun berkembang pesat. Meski usaha yang dimilikinya tidak terlalu besar, tapi dia sudah dianggap sukses oleh banyak orang. Dari usaha tersebut, Nizar bahkan bisa membeli rumah sederhana yang kemudian ia tinggali sendirian. Rumah yang siang itu saya masuki adalah miliknya, yang ia beli bertahun-tahun lalu, saat usahanya masih lancar.
Di ruang tamu rumahnya, siang itu, Nizar menceritakan kehidupannya akhir-akhir ini. “Mengherankan, kalau dipikir-pikir,” ujarnya, “hidup bisa membawa kita ke atas, lalu menerjunkan ke bawah.”
Nizar bercerita, usaha yang dijalaninya mulai runtuh ketika tekstil ATBM mengalami kehancuran pasar pada akhir 2000-an. Karena waktu itu usaha tekstil tumbuh di mana-mana, persaingan pasar pun makin ketat, sementara ceruk yang diisi semakin sempit akibat mulai pudarnya tren. Banyak pengusaha yang terpaksa menurunkan harga demi bisa laku, dan persaingan yang sengit itu menjadi awal hancurnya usaha kecil di mana-mana. Termasuk usaha milik Nizar.
Akhirnya, produksi tekstil Nizar benar-benar berhenti, sama seperti yang dialami pengusaha kecil lain yang juga gulung tikar. “Aku mencoba beberapa usaha lain,” ujar Nizar, “tapi sulit sekali untuk berkembang kayak dulu.”
Karena kondisi itu pula, perlahan-lahan modal yang dimiliki Nizar makin tersedot, dan habis. Saat hal itu terjadi, Nizar bertahan hidup dengan menjual alat-alat tekstil yang dimilikinya, dan menjual apa saja yang masih memiliki nilai jual, termasuk dua motor yang dulu dimilikinya. Ia menceritakan, bungkusan yang tadi dibawanya ke Pasar Senggol adalah salah satu alat tenun miliknya, yang sekarang sudah tak terpakai. “Lumayan, bisa buat makan,” ujarnya.
Saya mengenal Nizar sebagai pribadi ulet yang tidak suka merepotkan orang lain. Sejujurnya, saya tidak tahu kondisinya sekarang. Dalam beberapa kali pertemuan, Nizar tidak pernah menceritakan hal itu. Karenanya, semula saya pikir dia masih lancar menjalankan usaha tekstilnya.
“Kenapa kamu nggak cerita dari dulu?” saya bertanya.
Dia mencoba tersenyum. “Orang senang mendengar kabar baik, tapi belum tentu senang mendengar kabar buruk. Beberapa orang, bahkan, nggak peduli dengan masalah kita. Jadi, aku pun nggak merasa perlu menjelaskan keadaanku pada siapa pun.”
Saya mengangguk, memahami sepenuhnya. Hanya sedikit orang yang peduli—benar-benar peduli—dengan orang lain. Kebanyakan orang bahkan lebih peduli denganmu saat kamu sukses, dan tiba-tiba menghilang atau berpaling saat kamu hancur. Itu pula yang kemudian diceritakan Nizar siang itu.
“Aku pernah jalan kaki ke Pasar Senggol kayak tadi, untuk menjual sesuatu,” Nizar menceritakan. “Waktu itu, ada temanku yang kebetulan melihat. Tapi dia nggak menegur atau menyapa. Sebaliknya, dia malah diam-diam membuntutiku dari belakang dengan motornya. Aku tahu hal itu, ketika dia sendiri menceritakan ulahnya. Suatu waktu, saat kami kebetulan ketemu, dia cerita pernah melihatku jalan kaki membawa sesuatu, dan diam-diam mengikutiku dari belakang, hingga sampai di Pasar Senggol.”
Nizar terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, “Sejujurnya, aku heran mengetahui hal itu. Teman yang kuceritakan ini bukan sekadar kenal. Dia orang yang kuanggap teman dekat. Bahkan, keakrabanku dengannya lebih dekat daripada keakrabanku denganmu. Tapi ketika mengetahui aku hancur, dia mulai jaga jarak. Bahkan saat melihatku jalan kaki menuju Pasar Senggol, dia nggak menyapa atau menegur, atau bertanya, tapi malah diam-diam mengikutiku dari belakang.”
“Kamu akan tahu siapa temanmu, saat kamu hancur,” ujar Nizar dengan pahit. “Tapi aku nggak menyalahkannya. Karena teman-temanku yang lain juga begitu. Masing-masing mereka mulai menunjukkan aslinya saat aku mulai hancur, dan aku kehilangan mereka satu per satu. Tetapi, sekali lagi, aku nggak menyalahkan mereka. Karena jangankan sekadar teman, bahkan orang tua dan para familiku pun berubah sikap terhadapku.”
Saya masih mendengarkan.
“Dulu,” ujar Nizar, “saat aku masih sukses, sikap para familiku sangat manis. Mereka berupaya mendekati. Sekarang, setelah aku nggak punya apa-apa, sikap mereka berubah. Jangankan mendekati, bahkan ketika aku datang pun sikap mereka nggak sebaik dulu. Tetapi, sekali lagi, aku nggak menyalahkan mereka. Karena jangankan famili, bahkan orang tuaku pun berubah sikap.”
Nizar anak sulung dari empat bersaudara. Ayah Nizar telah meninggal, tapi dia masih punya ibu. Nizar menceritakan, dulu sikap ibunya sangat baik kepadanya, jauh lebih baik dibanding pada adik-adiknya. Dulu, saat masih sukses, Nizar rutin menyantuni ibu dan adik-adiknya. Setiap kali dia datang ke rumah orang tua, ibunya selalu menyambut hangat. Tapi semua berubah saat usahanya hancur, dan dia mulai tak punya apa-apa.
“Karena itu pula,” ujar Nizar dengan nelangsa, “aku segan setiap kali mau datang ke rumah orang tua. Niatku tulus mau mengunjungi, tapi sikap yang kudapati nggak mengenakkan. Jadi, seperti yang kubilang tadi, aku nggak heran pada sikap teman-teman atau para familiku yang berubah, karena bahkan ibuku sendiri pun berubah sikap hanya karena aku udah nggak punya apa-apa.”
Saya mencoba membesarkan hatinya, “Setidaknya, kamu masih punya rumah untuk berteduh.”
“Ya.” Dia mengangguk. “Sebenarnya, dulu aku sempat berniat menjual rumah ini untuk modal usaha lain. Tapi setelah mendapati sikap orang tuaku yang nggak sebaik dulu, aku nggak jadi menjual rumah ini. Kalau rumah ini kujual, dan aku kembali hidup di rumah orang tua, aku pasti akan sering mengalami tekanan batin.”
Kemudian, dengan serbasalah, Nizar berujar, “Sori, mestinya aku nggak mengatakan semua ini kepadamu. Kita baru ketemu, dan aku membebanimu dengan semua cerita ini.”
“Nggak apa-apa,” saya menyahut, “aku senang mendengarkan.”
“Dan aku sangat berterima kasih, karena kamu mau mendengarkan.”
Lalu kami mengobrolkan hal-hal lain. Di tengah percakapan, Nizar berujar, “Eh, baru ingat, kadang-kadang aku membaca blogmu. Aku suka tulisanmu yang selalu jujur dan apa adanya.”
Saya tersenyum. “Semoga kamu terhibur.”
Dia ikut tersenyum. “Kamu juga akan menulis pertemuan ini di blogmu?”
“Kalau kamu mengizinkan.”
“Ya. Tentu aku mengizinkan. Pasti menyenangkan membacanya di blogmu.”
Siang itu, saat saya akan pulang, Nizar berkata, “Kapan-kapan, kalau kamu pas ada waktu, main-mainlah ke sini. Aku akan senang, karena merasa masih memiliki teman.”
Saya mengangguk. “Aku pasti datang.”