***
“Hei, Henri.”
Bocah yang dipanggil Henri menengok, dan tampak sumringah. Wanita itu pun melepaskan anak lelakinya, yang langsung mendekati sepupu saya. Anak lelaki itu mungkin berusia 4 atau 5 tahun, tampak lucu dan sehat, dan sepertinya telah akrab dengan sepupu saya.
Lalu Henri didudukkan di kursi teras. Sepupu saya berkata, “Bocah ini genius. IQ-nya sangat tinggi.” Lalu dia mengambil buku berbahasa Inggris yang tadi saya baca, dan memberikannya pada Henri. “Baca ini, Henri.”
Henri membaca tulisan di buku yang dipegangi sepupu saya, dan dia membacanya dengan lancar, fasih, bahkan sangat cepat! Mau tak mau saya takjub. Bocah berusia 4 atau 5 tahun bisa membaca buku berbahasa Inggris dengan sangat lancar, cepat, bahkan dengan tingkat kefasihan yang mungkin mengungguli bocah-bocah SMP umumnya.
Perlu saya jelaskan di sini, Henri bukan anak bule! Orangtuanya sama-sama Jawa tulen. Dia anak dari pasangan orangtua asal Tegal, yang mengontrak sebuah rumah di daerah Kebon Jeruk. Sekadar catatan, bahkan orangtua Henry tidak bisa berbahasa Inggris!
Ayah Henri bekerja sebagai tukang batu (buruh bangunan) di Jakarta. Seharusnya, Henri sudah mulai masuk TK. Tetapi, ketika didaftarkan ke TK, guru-guru di sana memberitahu bahwa Henri tidak bisa diterima, karena, “IQ-nya terlalu tinggi untuk ukuran anak TK.”
Lalu guru-guru di sana menyarankan agar Henri disekolahkan di sekolah khusus untuk anak-anak super cerdas. Yang jadi masalah, biaya di sekolah khusus itu sangat mahal, dan orangtua Henri tidak mampu membiayai. Akhirnya, Henri pun terpaksa tidak masuk TK sebagaimana teman-temannya. IQ yang sangat tinggi itu pula yang menjadikan Henri senang bermain-main di rumah sepupu saya, karena ada banyak buku yang bisa dibaca.
Jadi, seperti yang dibilang tadi, saya takjub menyaksikan bocah berusia 4 atau 5 tahun bisa membaca buku berbahasa Inggris dengan sangat lancar, cepat, dan fasih. Jika anak-anak lain seusianya masih kerepotan mengeja A-B-C-D, Henri sudah langsung bisa membaca. Jika anak-anak balita lain masih kebingungan saat harus membaca suatu kalimat, Henri bisa langsung membacanya dengan lancar, cepat, dan fasih. Bukan hanya bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Inggris, Prancis, Jerman, atau bahasa lain.
Apakah itu menakjubkan...?
Tentu saja, ya! Itu sangat menakjubkan. Menyaksikan bocah kecil bisa membaca tulisan dalam berbagai bahasa secara lancar dan fasih, pasti sangat menakjubkan.
Tetapi... Henri tidak paham apa yang dibacanya!
Jadi, sebagai bocah ber-IQ sangat tinggi, Henri bisa membaca apa saja dengan tingkat kelancaran, kecepatan, dan kefasihan, yang mengagumkan—jauh melampaui anak-anak lain seusianya. Tapi hanya sebatas membaca. Dia tidak tahu apa yang dibacanya, tidak memahami arti atau makna yang dibacanya. Jadi, ketika Henri ditanya apa arti atau makna kalimat yang dia baca, misalnya, dia tidak bisa menjawab.
Sudah melihat sesuatu yang sangat penting di sini...?
Tak peduli setinggi apa pun IQ yang dimiliki seseorang, tetap saja dia harus belajar, agar mampu memahami apa yang dibacanya. Karena setiap orang tidak bisa melewati proses. Mungkin Henri beruntung, karena dikaruniai IQ sangat tinggi, sehingga bisa lebih mudah menangkap banyak hal, tanpa harus kerepotan seperti anak lain yang tidak memiliki IQ setinggi dirinya. Tapi dalam hal proses... semuanya sama—masing-masing menjalani prosesnya sendiri.
Sebenarnya, perbedaan antara IQ tinggi dan IQ biasa hanya terletak pada cara berpikir. Orang dengan IQ biasa berpikir secara literal—lurus, dari A ke B, dari B ke C, dari C ke D, dan begitu seterusnya. Sementara orang ber-IQ tinggi berpikir secara melompat—dari A bisa langsung ke D, lalu melompat ke K, kemudian melompat ke N, dan begitu seterusnya. Tetapi, pada akhirnya, masing-masing orang akan sampai pada Z. Tak peduli orang ber-IQ biasa atau ber-IQ tinggi, keduanya tetap akan sampai pada Z, dengan proses belajar masing-masing.
Jadi, yang paling menentukan dalam pencapaian apa pun sebenarnya bukan IQ atau kemampuan seseorang, melainkan proses yang dijalani. Orang ber-IQ biasa mampu melampaui orang ber-IQ tinggi, jika belajar sangat keras, berusaha sangat keras, jauh lebih keras dari si pemilik IQ tinggi. Karena IQ hanya sekadar pisau. Tak peduli setajam apa pun, ia akan tumpul jika tidak dipakai. Dan pisau setumpul apa pun akan tajam jika terus menerus digunakan.
Karena itulah, Stephen Hawking sampai mengatakan, “Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang.”
Oh, well, IQ...???
Orang menjadi sesuatu, atau tidak menjadi sesuatu, tidak ditentukan oleh IQ-nya. Atau bakatnya. Atau kemampuannya. Atau popularitasnya. Atau apa pun. Orang menjadi sesuatu, atau tidak menjadi sesuatu, tergantung pada proses yang dijalaninya.
Ada banyak orang ber-IQ tinggi tapi tidak menjadi apa-apa, sama banyaknya orang berpendidikan tinggi tapi menjadi pengangguran. Ada banyak orang dikaruniai kemampuan hebat tapi tidak bisa melakukan apa-apa, sama banyaknya orang terkenal yang hanya bisa melakukan perbuatan sia-sia. Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang. Begitu pula orang yang membanggakan pendidikannya, titelnya, gelarnya, popularitasnya, atau bahkan latar belakangnya.
Orang tidak dinilai dari berapa tinggi IQ-nya, sebagaimana orang lain tak peduli berapa banyak titel dan gelarmu. Orang hanya peduli apa yang telah kita lakukan, yang telah kita perbuat, yang telah kita hasilkan, yang telah kita kerjakan, yang telah kita capai. Dan untuk melakukan, membuat, menghasilkan, mengerjakan, dan mencapai apa pun... semuanya membutuhkan proses. Karena satu-satunya cara mencapai apa pun yang hebat adalah melalui proses. Satu-satunya keajaiban yang ada di bawah langit tersembunyi di balik proses.
Hari ini, saat telah dewasa, saya sering takjub menyaksikan bayi-bayi yang baru mulai belajar melangkah. Mereka jatuh dan bangun, jatuh dan bangun, jatuh dan bangun, demi bisa melangkah. Kadang-kadang kepala mereka terbentur sesuatu ketika jatuh, atau kaki mereka terluka, dan bayi-bayi itu pun menangis. Tetapi, mereka kembali bangkit, kembali belajar melangkah. Meski harus jatuh lagi, harus terbentur lagi, harus menangis lagi.
Untung, bayi-bayi itu tidak pernah putus asa. Coba bayangkan kalau seorang bayi belajar melangkah, kemudian jatuh, dan berpikir, “Aku sudah belajar melangkah setiap hari, tapi jatuuuuuh terus. Sepertinya aku tidak punya bakat berjalan. Baiklah, aku akan merangkak saja seumur hidup.”
Untung, tidak ada satu bayi pun yang berpikir begitu. Bersama kemurnian dalam pikiran mereka, bayi-bayi itu menyadari, bahwa semua pencapaian di bawah langit harus ditempuh melalui proses. Jatuh dan bangun. Jatuh dan bangun. Jatuh dan bangun. Dan mereka bangun kembali. Belajar lagi. Sampai kemudian bisa melangkah, berjalan, bahkan berlari.
Pelajaran penting di bawah langit adalah pelajaran memahami proses. Pelajaran itu bahkan telah diajarkan kepada setiap manusia sejak masih bayi. Tidak ada hasil tanpa proses. Tidak ada pencapaian tanpa proses. Tidak ada keberhasilan tanpa proses. Dan masing-masing orang menjalani prosesnya sendiri, dengan segala kesulitan dan pembelajarannya sendiri.