Takdir dan kepastian adalah kerlip bintang di kegelapan.
Jutaan tahun lalu, bumi adalah kawasan hijau dengan pohon-pohon menjulang tinggi ke langit. Daratan adalah tanah subur yang membentang luas tak terbatas, sementara lautan begitu bersih. Pada masa itu, hewan-hewan dapat tumbuh hingga luar biasa besar, karena tempat hidup mereka memungkinkan untuk itu. Merekalah penguasa bumi di zamannya, jauh sebelum kemunculan manusia.
Di daratan, masa itu, ada argentinosaurus, hewan dengan panjang 45 meter, dan berat sekitar 95 ton, atau 30 kali berat gajah Afrika sekarang. Makhluk itu hidup pada masa Cretaseous (sekitar 100 juta tahun lalu), dan menjadi salah satu hewan darat terbesar.
Tetapi argentinosaurus bukan yang terbesar, karena masih ada giganotosaurus. Sebagaimana namanya, giganotosaurus adalah hewan darat terbesar dalam arti sebenarnya, bahkan predator darat terbesar yang pernah ada. Struktur tubuh hewan itu mirip Tyrannosaurus-rex. Tetapi T-rex lebih pendek, karena panjang tubuhnya “cuma” sekitar 9 meter, sedangkan giganotosaurus dewasa bisa mencapai panjang 13 meter. Raksasa mengerikan itu hidup berkelompok, dan biasa memangsa hewan besar lain semisal argentinosaurus dewasa.
Sementara itu, di laut ada liopleurodon, makhluk yang disebut predator laut terbesar sepanjang masa. Hewan itu memiliki gigi sepanjang 30 cm, dan tengkorak sepanjang 5 meter. Panjang tubuhnya mencapai 25 meter. Makanannya adalah paus dan berbagai makhluk berdaging lainnya.
Masih di laut, ada pula megalodon, hiu purba yang menjadi nenek moyang hiu modern. Berbeda dengan hiu zaman sekarang yang besarnya tidak seberapa, megalodon memiliki ukuran raksasa. Megalodon kecil memiliki panjang sekitar 6 meter, sedangkan megalodon dewasa mencapai panjang 18 meter atau sebesar kapal.
Jika di darat dan di laut ada hewan-hewan besar, begitu pula di udara. Pada masa jutaan tahun lalu, bumi pernah menyaksikan raksasa-raksasa terbang, salah satunya ornithocheirus. Hewan itu merupakan makhluk terbesar yang pernah terbang. Sayapnya saja, dari ujung ke ujung, mencapai panjang 46 kaki atau 18 meter—cukup untuk menampung dua mobil besar.
Bagaimana makhluk sebesar itu bisa terbang? Kemampuan terbang ornithocheirus dimungkinkan karena tubuhnya berongga, sehingga mudah untuk terbang. Ornithocheirus inilah yang menjadi leluhur burung-burung yang bisa terbang pada masanya.
Sebagaimana pada masa sekarang, jutaan tahun lalu juga ada burung yang bisa terbang, namun ada pula burung yang tidak bisa terbang. Burung-burung yang bisa terbang—semisal ornithocheirus dan keturunannya—biasa bertengger di pepohonan, lalu terbang melintasi darat dan laut, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sementara burung-burung yang tidak bisa terbang hanya berjalan di tanah.
Lalu, suatu ketika, bencana mahadahsyat terjadi.
Enam puluh enam juta tahun lalu—saat hewan-hewan besar masih menjalani kehidupan seperti biasa—tiba-tiba meteor raksasa jatuh menghantam bumi, dan efeknya sangat... sangat mengerikan.
Meteor seluas 9 mil itu menghantam bumi, tepatnya di tepi pantai Meksiko (sekarang), dan tumbukannya yang sangat keras menghasilkan sembilan kali energi bom nuklir. Panas yang luar biasa itu memicu kebakaran dahsyat di seluruh bumi, dan kehancuran yang ditimbulkannya memusnahkan makhluk-makhluk yang hidup pada masa itu. Hutan-hutan yang semula tumbuh subur berubah menjadi kawasan neraka.
Argentinosaurus, giganotosaurus, dan hewan-hewan darat besar lain, punah. Apalagi cuma Tyrannosaurus-rex yang besarnya “tidak seberapa”. Liopleurodon, megalodon, dan hewan-hewan raksasa lain di laut ikut musnah, karena pada waktu itu laut berubah menjadi kawah membara. Begitu pula spinosaurus, theropoda terbesar, punah. Sarcoshucus, amfibi terbesar, punah. Termasuk ornithocheirus dan burung-burung terbang lainnya, ikut punah.
Itu menjadi akhir kisah para dinosaurus, sekaligus menjadi awal perubahan besar yang terjadi di bumi dan makhluk-makhluk lain yang masih bertahan hidup di dalamnya.
Seiring hutan-hutan di seluruh kawasan bumi musnah terbakar, hewan-hewan terbang yang biasa bertengger di pohon ikut punah. Satu-satunya jenis burung yang selamat dari kehancuran zaman itu hanyalah spesies yang tidak bisa terbang, dan biasa tinggal di tanah. Berdasarkan penelitian, para ilmuwan meyakini bahwa burung yang tidak bisa terbang itulah yang kemudian menjadi nenek moyang burung-burung di masa sekarang.
Dr. Regan Dunn, peneliti dan palaeontolog dari Field Museum, Chicago, menyatakan, “Melihat jejak fosil tanaman dan burung, ada banyak bukti yang memperlihatkan bahwa kanopi hutan runtuh. Burung yang bisa terbang punah, karena tidak ada lagi tempat bertengger.”
Perlu waktu ratusan hingga ribuan tahun bagi hutan untuk pulih kembali. Jejak fosil yang ditemukan di Selandia Baru, Jepang, Eropa, dan Amerika Utara, menunjukkan bukti deforestasi massal. Untuk hal itu, Dr. Daniel Field, dari University of Bath, menyatakan, “Kami menyimpulkan bahwa hilangnya hutan akibat hantaman meteor tersebut menjelaskan mengapa burung-burung arboreal tidak mampu bertahan hidup pada peristiwa kepunahan.”
Nenek moyang burung arboreal tidak bergerak ke arah pohon, sampai hutan benar-benar pulih.
“Saat ini,” lanjut Dr. Daniel Field, “burung merupakan kelompok hewan vertebrata teresterial yang paling beragam, dan tersebar luas di seluruh dunia—ada sekitar 11 ribu spesies hidup. Hanya segelintir garis keturunan mereka yang berhasil selamat dari kepunahan massal 66 juta tahun lalu. Dan semua keanekaragaman burung hidup yang ada saat ini bisa ditelusuri kembali ke nenek moyang yang selamat.”
Jadi, burung-burung yang saat ini bisa terbang, sebenarnya keturunan burung-burung yang tidak bisa terbang. Artinya, mereka memiliki kemampuan terbang—sebagaimana yang kita saksikan sekarang—bukan karena faktor keturunan atau mewarisi kemampuan dari leluhurnya, melainkan hasil pembelajaran. Karena nenek moyang mereka tidak bisa terbang.
Kemampuan terbang jelas bukan kemampuan remeh, buktinya manusia—dengan kekuatan tubuhnya—tidak bisa melakukannya, bahkan sampai sekarang. Tentu butuh waktu sangat lama bagi burung-burung yang semula tidak bisa terbang untuk memiliki kemampuan terbang. Mereka tidak hanya mengasah kemampuan terbang, tapi juga mengubah struktur tubuh mereka agar memungkinkan terbang.
Jangankan burung-burung yang merupakan keturunan langsung burung yang tidak bisa terbang, bahkan burung-burung yang merupakan anak dari induk yang bisa terbang pun, butuh latihan dan pembelajaran—bahkan paksaan—untuk bisa terbang.
Di zaman sekarang, misalnya, kita mengenal elang sebagai hewan terbang yang perkasa di udara. Burung itu bisa terbang dan melayang sampai berjam-jam, kemudian melesat secepat kilat saat menghadapi bahaya, atau saat menerkam mangsa. Jelas, elang adalah burung dengan kemampuan terbang luar biasa.
Tetapi, kemampuan terbang elang tidak diperoleh sebagai warisan atau karena keturunan, melainkan lebih karena pembelajaran. Anak-anak elang, sebagaimana anak-anak menusia, lebih suka menjadi anak manja, yang ingin menikmati kehidupan seenaknya.
Saat mulai tumbuh, anak-anak elang lebih suka menghabiskan keseharian di sarang mereka yang nyaman di atas gunung, atau mengorek-ngorek tanah mencari cacing. Mereka punya sayap, sebagaimana induknya, tapi malas terbang. Karena terbang bukan pekerjaan mudah, itu membutuhkan energi dan usaha luar biasa. Anak-anak elang malas melakukannya.
Dalam hal itu, induk elang sangat keras dalam mendidik anak-anaknya. Induk elang tahu, bahwa takdir tidak diberikan, tapi dibangun—dari usaha, latihan, pembelajaran, jatuh dan bangun. Jadi, setiap pagi, setelah memberikan sarapan untuk anak-anaknya, induk elang akan menendang sang anak dari sarang mereka, dan membiarkannya jatuh dari ketinggian.
Anak elang, yang tidak bisa terbang, tentu ketakutan saat tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat. Melihat hal itu, induk elang segera melesat menuju anaknya, dan menangkapnya sebelum tubuh sang anak menghantam tanah. Lalu hal sama diulangi. Induk elang membawa sang anak kembali ke sarang di ketinggian, membiarkannya istirahat sebentar, lalu kembali menendangnya keluar dari sarang.
Sekali lagi, anak elang jatuh meluncur ke bawah. Tetapi, kali ini, dia mulai berusaha menggerakkan sayapnya, dengan harapan tidak mati menghantam tanah. Saat anak elang hampir tewas di bawah, induk elang melesat dan kembali menangkapnya. Lalu hal sama diulangi, setiap hari, sampai si anak—yang semula manja dan tak bisa terbang—berubah menjadi makhluk perkasa yang mampu terbang berjam-jam di udara.
Jika anak elang, yang jelas dilahirkan dari induk perkasa yang bisa terbang saja membutuhkan latihan dan pembelajaran untuk bisa terbang, apalagi burung-burung di masa lampau yang merupakan keturunan burung tak bisa terbang? Mereka tentu menjalani proses latihan dan pembelajaran berkali lipat lebih keras dari yang dijalani anak-anak elang.
Sebagian burung dilahirkan induk yang tak bisa terbang, tapi mereka bisa terbang karena latihan dan pembelajaran. Sebagian lagi dilahirkan induk yang bisa terbang, tapi mereka harus jatuh bangun dan bekerja keras untuk bisa terbang. Karena takdir hebat memang tidak disuguhkan di atas nampan emas, tapi diberikan bersama cucuran keringat.