Sebelum badai datang mengguncang bumi, sebagian hewan akan mengetahuinya. Burung-burung akan saling bercicit dan terbang menuju ke tempat aman, tikus-tikus akan berlarian tunggang langgang, serigala akan melolong bersahutan, bahkan gajah akan segera mengirimkan pesan infrasonik kepada teman-temannya melalui injakan kaki di tanah. Hewan-hewan itu akan waspada, kalang kabut, panik.
Satu-satunya hewan yang mengetahui kedatangan badai namun tetap tenang hanya rajawali. Bahkan, dibanding lainnya, rajawali menunggu datangnya badai, dan dia bersiap menyongsongnya.
Ketika badai akan menjelang, rajawali akan berdiri dengan tenang, menyiapkan sayapnya, dan memperhatikan angkasa dengan sepasang matanya yang tajam. Ketika akhirnya badai itu datang, rajawali akan mengembangkan sayap... dan dia terbang tinggi menuju langit.
Sementara hewan-hewan di bumi kalang kabut diterjang badai, rajawali mengepakkan sepasang sayapnya, menuju tujuannya. Berbeda dengan teman-temannya yang panik dan ketakutan kepada badai, rajawali justru menggunakan badai untuk membantu tujuannya. Angin yang amat besar itu membantu rajawali terbang dan mengangkasa, menuju tempat yang amat jauh. Sementara yang lain bersembunyi dari badai, rajawali terbang mengatasi badai.
Ketika masih kecil, rajawali tak berbeda dengan burung-burung lainnya. Lemah, dan tak berdaya. Tetapi, berbeda dengan burung lain, rajawali menghadapi hidup dengan visi hebat yang telah ditakdirkan untuknya. Semula, dia memang tidak tahu takdir yang telah disiapkan di pundaknya, tetapi induknya tahu. Dan sang induk akan mengajarnya dengan baik, bahkan keras, hingga si rajawali kecil benar-benar menjadi “raja” dalam hidupnya.
Pada waktu masih kecil, rajawali juga takut terbang. Oh, well, jangan salah sangka. Meski dikaruniai sepasang sayap, tidak semua burung berani terbang. Begitu pula rajawali. Ketika masih anak-anak, rajawali akan berlindung di sarangnya yang nyaman di atas pohon, menikmati makanan yang dibawakan induknya, dan berharap ia dapat menjalani hidup yang nyaman itu seterusnya.
Tetapi, seperti yang disebutkan di atas, induk rajawali tahu takdir anak-anaknya. Jadi, alih-alih memberikan kenyamanan seterusnya untuk sang anak, induk rajawali akan mengajari anaknya terbang. Mula-mula, rajawali yang masih kecil akan ketakutan. Tapi induknya tak peduli. Sang induk akan menendang rajawali kecil dari sarang, tak peduli si rajawali berteriak ketakutan.
Karena belum pernah terbang, rajawali yang masih kecil biasanya akan jatuh karena belum tahu bagaimana menggunakan sayapnya. Dan setiap kali rajawali itu meluncur jatuh, sang induk akan mengejar dan menopang, menyelamatkannya dari benturan. Setelah itu, sang induk akan membawa si rajawali ke sarang, dan kembali menendangnya. Begitu terus-menerus, sampai sang rajawali akhirnya tahu bagaimana menggunakan sepasang sayapnya. Akhirnya, sebagaimana takdirnya, rajawali itu pun tahu cara terbang. Ketika dewasa, dia menjadi satu di antara sedikit burung yang mampu terbang bersama badai.
Rajawali bahkan tahu cara memperbarui diri. Ketika terbang mengangkasa, semua burung harus mengerahkan tenaga yang luar biasa besar, tak terkecuali rajawali. Dalam hal itu, rajawali tahu kapan harus berhenti. Ketika merasakan kekuatan sayapnya mulai berkurang, dia akan mencari tempat yang tenang—biasanya di bukit batu atau puncak tinggi yang hening. Di sana dia akan berdiam diri, beristirahat dalam ketenangan, bersama kesendirian.
Ketika tenaganya kembali pulih, rajawali akan kembali terbang menuju tujuannya. Pada waktu itu, jika badai kebetulan datang, rajawali akan memanfaatkan badai untuk membantunya terbang. Dia akan memperhatikan dari arah mana badai itu akan datang, kemudian menyiapkan diri untuk menyongsongnya. Dan ketika badai itu akhirnya datang mengguncang dataran bumi, rajawali meloncat bersama sayap yang terkepak, dan terbang.
Dalam badai, rajawali bahkan tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk terbang, karena angin yang luar biasa besar itu membantunya untuk terus melayang di angkasa. Yang perlu dilakukan hanyalah mengepakkan sepasang sayapnya, dan mengarahkan tujuannya. Berbeda dengan anak-anak ayam yang lari pontang-panting dan berkotek-kotek ribut, rajawali tersenyum dalam badai, dan terus terbang.
Rajawali tahu ia dilahirkan dengan membawa takdir besar. Ia hidup untuk terbang tinggi, dan ia pun tahu kehidupan bahkan kematian adalah soal pilihan.
Dalam kehidupan, rata-rata rajawali akan hidup selama 40 tahun. Tetapi rajawali bisa memilih—mati pada usia 40 tahun, atau melanjutkan hidup lagi hingga berusia 70 tahun. Jika ia memilih mati dalam usia 40 tahun, cerita pun selesai. Ia hanya perlu menunggu waktu itu tiba, kemudian tubuhnya yang perkasa akan segera mati dan menjadi bangkai.
Tetapi, rajawali juga memiliki pilihan lain. Jika ia ingin terus hidup setelah 40 tahun, ia dapat melanjutkan hidup hingga berusia 70 tahun—namun harus menjalani proses yang menyakitkan. Hidup, bahkan kematian, bagi rajawali, adalah soal pilihan.
Ketika seekor rajawali memilih untuk melanjutkan hidup setelah berusia 40 tahun, maka ia harus melakukan proses transformasi tubuh yang amat menyakitkan. Tidak semua rajawali mampu melakukan pilihan itu, sehingga kebanyakan rajawali mati dalam usia 40 tahun. Hanya rajawali perkasa yang mampu memilih melanjutkan hidup hingga berusia 70 tahun. So, setiap rajawali punya pilihan—hidup singkat dan tenang, atau hidup lama namun harus melalui proses menyakitkan.
Pada waktu berumur 40 tahun, paruh rajawali sudah sangat bengkok dan panjang, hingga mencapai lehernya. Kondisi paruh yang sudah tua itu bahkan menyulitkan rajawali untuk makan. Kemudian, cakar-cakarnya juga sudah tidak tajam, karena bertahun-tahun telah digunakan. Selain itu, bulu-bulu pada sayapnya sudah sangat tebal, sehingga ia pun sulit untuk dapat terbang tinggi.
Sebagaimana manusia yang makin renta seiring beranjaknya usia, begitu pun rajawali. Pada usia 40 tahun, rajawali bisa bersiap menyongsong kematian—mungkin berdiam di tempat yang tenang menunggu ajal.
Tetapi, apabila rajawali memutuskan untuk melanjutkan hidup, dia akan hidup 30 tahun lagi, dengan kesegaran dan kemudaan kembali, namun dengan transformasi yang menyakitkan. Mula-mula, si rajawali harus terbang mencari pegunungan yang tinggi. Di sana dia akan membangun sarang di puncak sunyi, untuk memulai hidup yang kedua.
Di sarangnya yang sunyi itu, setiap hari si rajawali akan mematuk-matukkan paruhnya pada bebatuan gunung yang keras, sampai paruhnya terlepas. Proses itu sangat menyakitkan, tak jauh beda kalau manusia membentur-benturkan kepalanya ke tembok hingga otaknya tercecer. Tetapi perjuangan rajawali tidak selesai sampai di situ.
Ketika paruhnya yang tua akhirnya terlepas, rajawali harus menunggu beberapa lama sampai paruhnya yang baru tumbuh dan muncul. Setelah paruhnya muncul, ia akan menggunakan paruhnya yang baru untuk mencabuti cakar atau kukunya satu per satu. Proses itu kembali sangat menyakitkan. Tetapi rajawali akan terus mencabuti semua cakarnya yang tua, hingga semuanya habis, dan ia akan menunggu beberapa lama lagi hingga semua kukunya yang baru tumbuh kembali.
Seiring bergantinya hari, cakar-cakar baru pun kembali tumbuh—cakar-cakar baru yang lebih tajam dan kuat. Setelah semua cakarnya tumbuh lengkap, rajawali akan menggunakannya untuk mencabuti bulu-bulu tubuh dan sayapnya hingga semua rontok dan terlepas. Lagi-lagi itu sangat menyakitkan. Tetapi rajawali akan terus melakukannya hingga tubuh tuanya terbebas dari bulu yang lama. Dan sama seperti sebelumnya, dia harus kembali menunggu hingga bulu-bulu baru tumbuh di tubuh dan sayapnya.
Setelah tubuhnya tertutup oleh tumbuhnya bulu-bulu yang baru, transformasi pun selesai, dan rajawali bisa memulai hidupnya yang baru. Seperti Phoenix yang terlahir kembali dari tumpukan abu, rajawali terlahir kembali setelah menjalani proses transformasi yang menyakitkan. Dan setelah itu ia akan terbang, mengepakkan sayapnya seperti dulu, seperti biasa, dalam keheningan.
Dalam takdir yang dipilihnya sendiri, rajawali mengepakkan sayap dalam sunyi.