Kita menafsirkan sesuatu berdasarkan interpretasi, persepsi,
atau bahkan asumsi. Yang jadi masalah, di mana tempat kita berdiri?
—@noffret
—@noffret
Saya tuh mungkin suka ge-er, atau terlalu pede. Dan gara-gara suka ge-er pula, saya kadang jadi pusing sendiri. Misalnya, ketika membaca suatu posting di blog, atau menikmati timeline di Twitter, saya menemukan kata-kata atau kalimat yang saya pikir ditujukan untuk saya. Kalimat itu kadang membuat tersanjung, tapi kadang pula membuat saya tersindir.
Padahal, belum tentu juga si penulis kalimat itu memang menujukannya untuk saya. Karena, boro-boro menujukannya secara khusus, bisa jadi si penulis kalimat itu sama sekali tidak mengenal saya. Kalau pun dia mengenal, bisa jadi dia sama sekali tidak ingat saya ketika menulis kalimat itu. Tetapi, seperti yang dibilang tadi, saya tuh suka ge-er, atau terlalu pede.
Dulu saya tidak menyadari kecenderungan yang tidak beres itu—yakni suka ge-er atau terlalu pede. Akibatnya, saya jadi seperti anak kecil, atau orang dewasa yang kurang waras. Kalau menemukan tulisan yang tampaknya memuji, efeknya bisa membuat saya senyum-senyum sendiri. Sebaliknya, kalau menemukan tulisan yang kelihatannya menyindir, efeknya bisa membuat saya murung atau marah-marah sendiri.
Padahal, sekali lagi, orang yang membuat tulisan itu belum tentu mengenal saya. Dia mungkin menulisnya untuk tujuan lain, atau ditujukan kepada orang lain, dan sama sekali tidak bersangkut paut dengan saya. Lagian saya ini siapa, kok sampai mengkhayalkan orang lain menulis secara khusus untuk saya? Wong saya bukan artis, bukan selebriti, bukan orang terkenal, bukan siapa-siapa.
Oh, well, ini konyol. Dan saya bersyukur, akhirnya saya menyadari bahwa ini konyol. Sejak itu, saya pun selalu berusaha untuk mawas diri, bahwa apa pun yang saya baca—tak peduli menyanjung atau menyindir—belum tentu ditujukan kepada saya, dan biasanya memang begitu.
Lain soal kalau tulisan itu nyata-nyata menyebut nama saya, mungkin saya tetap akan berpikir kalau tulisan itu memang ditujukan buat saya. Tetapi jika dalam tulisan itu sama sekali tak tertulis nama saya, maka saya akan memilih untuk berpikir bahwa tulisan itu memang tidak berhubungan dengan saya, tidak ditujukan untuk saya, dan penulisnya juga belum tentu mengenal saya.
Kedengarannya remeh, eh?
Memang, karena ini berhubungan dengan sifat dasar kita, sebagai manusia, yakni sensitif dengan pujian atau sindiran. Pipi kita memerah ketika mendapat pujian, dan telinga kita memerah ketika merasa tersindir. Entah mengapa, kita sangat sensitif terhadap dua hal itu—pujian dan sindiran. Sebegitu sensitifnya, hingga kadang-kadang kita—khususnya saya—terlalu ge-er atau suka kepedean.
Mengapa kita suka dipuji? Sepertinya tidak perlu dijelaskan, karena anak SD pun tahu jawabannya. Yang perlu kita bicarakan, mungkin, adalah mempertanyakan mengapa kita bisa tersindir.
Jadi, mengapa kita merasa tersindir? Kalau saya melihat diri sendiri, saya tersindir jika mendapati sesuatu—misalnya tulisan—yang tampaknya berhubungan dengan beberapa sifat yang tidak mau saya akui, padahal saya miliki. Sepertinya, orang lain juga akan tersindir karena hal sama, yakni mendapati sesuatu yang tampaknya berhubungan dengan sifat atau karakter yang mereka miliki, namun tidak mereka akui.
Misalnya begini. Saya menghormati orang alim, tapi saya tidak merasa sok alim, dan tidak pernah menunjukkan perilaku atau ucapan yang terkesan sok alim. Jadi, ketika saya mendapati tweet di timeline yang berbunyi, “Gue tuh ilfil sama orang yang sok alim!” maka saya tidak akan tersindir oleh tweet itu. Mengapa? Jelas, karena saya tidak merasa sok alim!
Sebaliknya, orang yang sok alim akan tersindir atau bahkan marah oleh tweet itu, karena dia akan menghubungkan tweet itu dengan sifat yang ia miliki, namun tidak mau ia akui. Padahal, tweet itu belum tentu berhubungan dengan dirinya, dan penulisnya juga belum tentu mengenal dirinya. Tetapi, karena dia merasa memiliki sifat yang tertulis dalam tweet itu, dia pun merasa tersindir.
Apa artinya itu? Jika kita merasa tersindir oleh sesuatu, maka artinya kita memiliki sifat atau karakter yang terdapat dalam sesuatu yang membuat kita tersindir! Dengan kata lain, perasaan tersindir adalah cara alami masing-masing individu untuk membukakan sifatnya yang terselubung. Perasaan tersindir adalah telanjang di depan cermin. Ketika tersindir, kita mulai melihat sifat tersembunyi atau sesuatu yang kita sembunyikan dari orang lain.
Jika kita benar-benar alim—dan tidak sekadar sok alim—kita tidak akan merasa tersindir oleh tweet seperti di atas. KH. Mustofa Bisri, misalnya, adalah orang yang benar-benar alim. Kalau beliau mendapati tweet seperti di atas, saya yakin beliau tidak akan tersindir sama sekali. Ada perbedaan yang sangat jelas, antara “benar-benar alim”, dan “sekadar sok alim”. Orang yang benar-benar alim tidak pernah bertingkah sok alim.
Well, kata-kata memang memiliki efek yang besar bagi masing-masing kita. Ia bisa menginspirasi, membangkitkan semangat, membuka pikiran, menghangatkan hati, namun bisa pula mematikan. Dalam kadarnya yang ringan, kata-kata juga bisa membuat orang merasa tersindir. Dan merasa tersindir, kadang-kadang, bisa membuat orang yang sama sekali tidak saling kenal namun saling membenci.
Sekitar satu tahun yang lalu, saya menemukan sebuah blog milik seorang dokter, setelah searching lewat Google. Saya pun membaca tulisan-tulisan di dalamnya, sampai kemudian menemukan beberapa artikel di dalam blog itu yang membuat saya tersindir habis-habisan.
Karena milik seorang dokter, sebagian besar materi blog itu pun berhubungan dengan kesehatan, dan upaya-upaya menjaga kesehatan. Kebetulan, saya tergolong orang yang tak terlalu peduli pada kesehatan. Karenanya, ketika membaca artikel-artikel dokter tersebut, saya pun jadi tersindir.
Dokter itu seperti tahu kebiasaan orang-orang seperti saya (orang-orang yang tak terlalu peduli masalah kesehatan), dan dia bisa menuliskan hal itu dengan sangat detil, nyaris tepat seperti gaya hidup yang biasa saya jalani. Ketika membacanya, saya jadi berpikir kalau dokter itu menujukan tulisannya buat saya. Bahkan, waktu itu saya sempat berpikir, “Orang ini pasti sedang nyindir saya, nih!”
Kenyataannya, dokter itu sama sekali tidak kenal saya!
Dia tidak mengenal saya, tidak tahu sedikit pun tentang saya, dan dia menulis sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan atau bersangkut paut dengan saya. Tetapi, dengan sangat tolol dan konyol, saya merasa tulisannya ditujukan untuk saya, kemudian merasa tersindir dan jengkel kepadanya!
Kita sensitif, sangat sensitif, pada sindiran. Sebegitu sensitifnya, sampai-sampai kita kadang bertingkah konyol gara-gara merasa tersindir. Yang lebih memalukan, kadang ada orang yang sampai marah-marah dan mencaci-maki seseorang, gara-gara merasa tersindir oleh ucapan atau tulisannya. Padahal, orang yang menulis itu belum tentu kenal dengan orang yang merasa tersindir. Kalau pun kenal, belum tentu dia teringat kepadanya ketika membuat tulisan itu.
Sekarang, ketika mulai menyadari kenyataan ini, saya selalu mewanti-wanti diri sendiri untuk tidak mudah terpengaruh pada apa pun yang saya dengar, lihat, atau baca. Kalau ada tweet yang sepertinya ditujukan kepada saya, atau kalau ada tulisan di blog yang tampaknya berhubungan dengan saya, maka saya akan berusaha ngomong pada diri sendiri, “Hei, Hoeda, memangnya kamu tuh siapa, kok sampai pede dan ge-er berpikir kalau tulisan itu ditujukan untukmu? Orang yang bikin tulisan itu belum tentu tahu atau kenal kamu, jadi ngapain juga kamu merasa terganggu?”
Lagi pula, saya pikir, jika saya merasa tersindir oleh ucapan atau tulisan, maka artinya ada sesuatu dalam diri saya yang memang tidak beres, namun tidak mau saya akui. Daripada marah pada orang yang membuat saya tersindir, sekarang saya memilih untuk introspeksi dan belajar mengakui bahwa saya perlu memperbaiki diri.
Kita semua memiliki hal-hal buruk yang tak pernah kita ungkapkan, bahkan tidak mau kita akui. Dan merasa tersindir adalah kesempatan untuk bercermin, untuk belajar jujur pada diri sendiri.
Omong-omong, tulisan ini tidak bermaksud menyindir siapa pun. Kalau kau merasa tersindir, well... mohon maaf, saya tidak mengenalmu.