“Mental pemimpin Indonesia itu mental calo.”
—Ribka Tjiptaning
—Ribka Tjiptaning
Jika judul post ini dianggap bombastis, coba bandingkan dengan judul ini: “Indonesian maids now on SALE!!!” Kemudian, di bawah judul itu, terdapat kalimat berikut, “Fast & Easy Application!! Now your housework and cooking come easy. You can rest and relax, Deposit only RM 3,500! Price RM 7,500 nett.” (Ditranksrip sesuai aslinya).
Judul dan kalimat di atas terdapat dalam iklan yang muncul di kawasan Chow Kit, Malaysia, pada Oktober 2012 lalu. Dalam iklan itu juga dilengkapi contact person, plus nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi. Dan, seperti yang tertera dalam iklan tersebut, yang dijual adalah para tenaga kerja Indonesia (TKI), yang tentu saja manusia. Yang mengejutkan, dan yang memilukan, manusia-manusia yang disebut TKI itu dijual dengan harga diskon!
Satu bulan setelah geger iklan “penjualan” TKI di Malaysia, hal yang lebih parah terjadi di Singapura. Pada November 2012, di Bukit Timah Plaza, Singapura, dipasang neon box dan reklame yang isinya tak jauh beda dengan di Malaysia, yakni penjualan TKI. Yang memilukan, para TKI yang “dijual” itu dibariskan di sebuah ruangan khusus, dengan seragam khusus, menunggu peminat datang “membeli” mereka. Sementara pembeli yang datang bisa memilih TKI mana yang mereka minati.
Oh, well, itu belum semuanya. Sekarang hal terburuknya. Agen yang menjual para TKI di Bukit Timah Plaza itu merayu para pembeli dengan menyatakan bahwa mereka bisa mendapatkan para TKI di sana dengan “potongan harga”, yakni tidak perlu membayar gaji mereka selama enam bulan!
Setelah “penjualan” di Bukit Timah Plaza dinilai sukses, berbagai mall di Singapura pun menggelar hal serupa. Mereka menyediakan ruang khusus untuk “menjual” para TKI, dilengkapi dengan papan reklame yang menarik minat—persis reklame penjualan mobil di mall-mall Indonesia.
Menyaksikan para TKI yang duduk berjajar menunggu pembeli di sana, mau tak mau akan mengingatkan kita pada era perbudakan di zaman pertengahan, ketika manusia hasil pampasan perang diperjualbelikan sebagai budak. Di zaman pertengahan yang primitif, kau bisa melakukan invasi ke wilayah mana pun, lalu merampas kebebasan pihak yang kalah, dan menjual mereka sebagai budak. Sekarang, di zaman modern, hal tak jauh beda kembali terjadi.
So, di zaman kita, praktik perbudakan belum menjadi sejarah, karena komodifikasi manusia masih terjadi. Hanya saja, pihak yang menjadi “budak” dalam hal ini adalah manusia-manusia Indonesia, yang mungkin saudara, teman, atau tetangga kita.
Nasib TKI memang telah menjadi berita basi. Tetapi rupanya Indonesia belum kenyang menelan berita basi itu, sehingga pemerintah seperti cuek beibeh dengan nasib mereka, dan berita basi itu terus terjadi, berulang, dan terus berulang. Kita sudah tak bisa lagi menghitung berapa banyak TKI yang disiksa, diperkosa, dibunuh, dijual ke tempat pelacuran, atau dihukum di luar negeri dengan berbagai alasan. Tetapi, entah mengapa, pengiriman TKI ke luar negeri tak pernah berhenti.
Berita tentang TKI mungkin memang berita basi, dan ruwetnya persoalan ini seruwet benang kusut. Orang-orang rela menjadi TKI, meninggalkan kampung halaman dan keluarga mereka, lalu pergi ke negeri jauh untuk mencari uang, karena menghadapi himpitan hidup. Kemiskinan, kurangnya pendidikan, sempitnya lapangan kerja di negeri sendiri, semuanya itu dicampur berbagai hal di sana-sini—dari kebijakan pemerintah, sampai para calo yang memanfaatkan peluang.
Pemerintah lebih sibuk mengundang investor daripada membuka lapangan kerja, sehingga orang Indonesia semakin kesulitan mendapat lapangan pekerjaan di negeri sendiri. Seiring dengan itu, pemerintah Indonesia juga mendukung keberadaan TKI, karena mereka mendatangkan devisa bagi negara. Di tengah-tengah kebijakan itu, berbagai kemiskinan dan keterbelakangan menjadi wabah di mana-mana. Maka kisah tragis para TKI pun seperti cerita bersambung dari seri ke seri.
Memang, dalam hal TKI, pemerintah Indonesia telah mengadakan perjanjian dengan berbagai negara penerima TKI menyangkut nasib mereka. Dengan Malaysia, misalnya, pemerintah Indonesia telah menyepakati MoU mengenai rekruitmen dan penempatan kerja di sana, yang ditandatangani pada 2006. Lima tahun kemudian, pada 2011, kedua negara melakukan amandemen terhadap MoU tersebut terkait hak-hak TKI, yang di dalamnya termasuk masalah gaji, kontrak kerja, dan hari libur.
Di atas kertas, MoU itu menjadi protokol yang menaungi kedua negara untuk menyepakati satu mekanisme bersama, yang berkaitan dengan TKI. Ketika terjadi masalah-masalah yang menimpa TKI seperti pada akhir 2011, misalnya, Indonesia pun segera memutuskan untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara penempatan TKI sektor informal ke Malaysia. Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, sejak amandemen MoU di atas, dan sejak adanya moratorium, hanya ada 64 TKI yang secara resmi lolos seleksi dan dikirim ke Malaysia.
Tetapi, sekali lagi, itu hanya ada di atas kertas. Dalam realitas, kemiskinan dan himpitan hidup mencekik jutaan orang tanpa henti. Dan karena cekikan kemelaratan itu, orang-orang pun menerobos birokrasi resmi, mencari segala cara untuk dapat menjadi TKI karena sempitnya lapangan kerja di negeri sendiri.
Kenyataan itu kemudian dimanfaatkan para calo dan orang-orang tak bertanggung jawab, yang kemudian memfasilitasi mereka untuk menjadi TKI ilegal. Dan selanjutnya adalah kisah-kisah memilukan yang menghiasi headline koran dan layar televisi kita, yang salah satunya iklan penjualan TKI seperti yang digambarkan di atas.
Nova Riyanti Yusuf, Wakil Ketua Komisi IX DPR, menyatakan, “Iklan tersebut jelas merupakan justifikasi bentuk perbudakan baru, di mana TKW diperdagangkan seperti sebuah barang. Apa pun modus oknum pembuat iklan tersebut, oknum itu telah menginjak bom waktu, yaitu menghina harga diri bangsa Indonesia.”
Sementara Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR, mengamati persoalan ini secara lebih mendalam. Menurutnya, pelecehan dan kekerasan verbal maupun nonverbal yang dialami TKI adalah sebuah akibat. “Pertanyaannya, apa akar penyebabnya?” ujar Ribka Tjiptaning. “Mari kita ajak pemerintah untuk introspeksi diri sebagai penyelenggara negara.”
Lebih jauh, dia juga menyatakan, “Selama aparat pemerintah Indonesia masih bermental calo, maka masalah TKI akan terus ada. Selain itu, selama pemerintah tidak ada niatan untuk membuka lapangan pekerjaan di dalam negeri, masalah ini pun tak kan selesai. Pemerintah lebih cenderung menjadi calo-calo untuk merayu investor, ketimbang memikirkan pembangunan industri berbasis tenaga kerja.”
Urusan TKI adalah urusan ruwet seperti benang kusut. Selain dibelit berbagai masalah yang harus dihadapi di luar negeri, para TKI juga menghadapi masalah yang dibuat oleh negerinya sendiri. Berdasarkan data Migran Care, dana konsorsium asuransi TKI per tahun mencapai Rp. 84 miliar. Tetapi, yang bisa diklaim oleh TKI hanya Rp. 4 miliar. Jadi kemana yang Rp. 80 miliar?
Karena kenyataan memilukan itu pula, Ribka Tjiptaning dengan jengkel menyatakan, “Kalau perlu KPK turun tangan untuk mengaudit dana konsorsium asuransi TKI, ke mana larinya dana sebanyak itu?”
Sensitifitas pemimpin negeri kita mungkin memang sudah mati rasa. Atau mungkin mereka terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri, sehingga terlupa pada rakyat yang dulu telah memilih mereka menjadi pemimpin.
Sementara sebagian rakyat Indonesia yang menjadi TKI diperbudak, disiksa, diperkosa, dan dibunuh, sebagian pemimpin kita malah sibuk kawin, sibuk shopping, sibuk jalan-jalan ke luar negeri, atau sibuk menyanyi. Oh, well, sebagian yang lain bahkan sibuk korupsi dan memperkaya diri. Mau dibawa ke manaaa negeri ini...???