Senin, 07 Juni 2010

Sebuah Catatan Luka

Inilah sebuah dunia yang sempurna, suatu dunia maha mulia,
satu dunia yang sangat ajaib, buah terlezat dalam kebun Tuhan,
gagasan utama alam semesta. Tetapi mengapa aku harus ada di sini, Tuhan,
aku benih segar keinginan yang tak terpenuhi, badai gila yang tidak ke timur
ataupun ke barat, dan orang asing yang kebingungan dari suatu planet yang
terbakar? Mengapa aku ada di sini, hai Tuhan dari jiwa-jiwa yang hilang,
engkau yang hilang di antara berhala-berhala...?
Kahlil Gibran, God of Lost Soul


Berapakah hasratmu dinilai dan berapakah nilaimu ditakar dalam timbangan kebudayaan yang absurd itu? Kau yang agung, kau yang begitu dekat dalam pelukanku selama ini telah ditimbang dengan timbangan rongsokan yang berkarat dari tangan-tangan setan yang bertopeng adat-istiadat, kebudayaan, peradaban manusia. Kau yang telah menjadikanku menemukan diriku sendiri telah ditelikung oleh bebalnya ambisi bernama kemapanan, bernama massa yang bingung, bernama perserikatan hukum dan keyakinan.

Apakah aku yang gila? Ataukah mereka yang gila?

Tetapi persoalan kita bukanlah menemukan siapa yang waras dan siapa yang gila. Persoalan kita adalah bahwa perbudakan umat manusia masih terus berlangsung hanya saja rantainya telah berganti. Persoalan besar yang dihadapi peradaban hari ini adalah bahwa meski manusia telah mengaku begitu modern, tetapi sesungguhnya tak berubah jauh dari orang-orang yang hidup di goa-goa.

Dan berapakah nilaimu dibayar, hai Cintaku...? Berapakah sesungguhnya kau dibayar untuk lepas dari jiwa-jiwa yang selama ini begitu hangat memelukmu? Berapakah kau dibayar untuk memenuhi tuntutan dalam masyarakatmu, dalam kebudayaanmu, dalam tetek-bengek peraturan bikinan manusia itu? Berapakah sesungguhnya kau dibayar untuk melakukan pembunuhan terhadap dirimu sendiri, serta memperkosa nilai-nilai sejatimu sendiri? Berapakah kau dibayar...?

Aku menangisimu, Cintaku... Aku menangisimu...

Aku menangisimu karena keagungan dan kemurnianmu harus dicincang di atas mahligai kepalsuan itu. Aku menangisimu karena harkatmu telah dihinakan, martabatmu telah direndahkan, dan kesejatianmu telah dicampakkan ke dasar comberan, sementara sekian ribu orang yang menyaksikannya bertepuk tangan dan orang-orang tersenyum kepadamu.

Berapakah nilaimu dibayar, Cintaku...? Berapakah harkatmu ditakar oleh masyarakatmu? Berapakah bobotmu ditimbang untuk ditentukan berapa jumlah pembayaranmu? Kaukah budak itu? Ataukah orang yang membayarmu itulah budakmu? Dan bagaimana dengan rantai-rantai yang kini membelenggu tangan dan kakimu? Bagaimana dengan belenggu yang kini mengikat erat di lehermu? Bagaimana dengan nota-nota absurd yang kini menumpuk dalam perbendaharaanmu?

Hari ini kau telah menjadi bagian dari masyarakatmu karena kau telah rela dibayar oleh mereka. Hari ini masyarakatmu menjadi saksi betapa salah satu dari mereka telah sah untuk disebut sebagai bagian mereka karena masyarakat telah membayarmu. Dan masyarakatmu bertepuk tangan, Cintaku. Masyarakatmu mengabadikan momen itu dalam ratusan kepingan, album, dan kenangan-kenangan. Dan kau...? Kau pun menghilang—karena telah menjadi bagian jiwa yang hilang.

Karena itulah aku menangisimu, Cintaku...

 
;