Rabu, 15 Agustus 2018

Merenung di Dapur

Seekor tikus masuk perangkap gara-gara tergoda sepotong tulang ayam. 
Tiga hari kemudian, tikus mati dalam perangkap, dengan tulang ayam yang 
masih utuh, tak mampu ia habiskan. Kupikir, begitu pula nafsu manusia.


Salah satu kesenangan kecil dalam keseharian saya adalah merenung di dapur. Kadang-kadang, kalau sedang ingin santai, saya ke dapur dan membuat kopi, lalu duduk menyeruput kopi sambil merokok. Rasanya nikmat sekali. Sendiri di dapur yang hening, ditemani kopi dan rokok.

Karena berada di dapur, cakrawala pandang saya pun terbatas—hanya seluas dapur. Yang saya lihat hanya hal-hal yang biasa ada di dapur, dari gelas dan piring dan sendok, kompor, tabung gas, termos, panci, dan semacamnya. Biasanya, kalau sedang iseng, saya memfokuskan pikiran pada salah satu benda tersebut, dan memikirkannya. Yeah, namanya juga lagi iseng.

Di dapur rumah saya ada jebakan tikus berbentuk kurungan. Kadang-kadang memang ada tikus kurang kerjaan yang berkeliaran di rumah, dan—mungkin karena kurang kerjaan—tingkahnya sering menjengkelkan. Menggerogoti apa saja, atau melakukan hal-hal meresahkan. Karena terganggu, saya pun menjebak mereka dengan perangkap yang saya siapkan di dapur.

Perangkap berbentuk kurungan itu tidak terlalu luas. Panjangnya cuma sekitar 20 cm, dengan lebar dan tinggi sekitar 10 cm. Dilengkapi pintu yang dapat menutup sendiri, saat ada tikus yang terjebak masuk. Pada kurungan perangkap, biasanya saya pasangi umpan berupa daging sisa saya makan, atau bahkan gorengan. Dengan umpan itu, tak terhitung banyaknya tikus yang pernah terjebak dan terperangkap dalam kurungan. Biasanya nasib mereka pun selesai.

Suatu siang, saat saya sedang ingin merenung di dapur, perangkap kurungan di sana telah mendapatkan seekor tikus yang juga terjebak di dalam. Pikiran saya pun terfokus pada kurungan itu, dan memikirkan tikus di dalamnya.

Saya bertanya-tanya, kenapa tikus-tikus bisa dijebak dengan mudah? Kurungan yang menjebak dan memerangkap mereka sangat sederhana—hanya berupa kurungan besi berukuran sempit yang dipasangi umpan di dalamnya. Kenapa mereka bisa begitu mudah terjebak, hingga tak bisa keluar?

Selama ini, tak terhitung tikus di rumah saya yang terjebak masuk ke dalam perangkap kurungan. Sering kali, saya lihat ada tikus-tikus yang sempat menyaksikan temannya berada di dalam kurungan. Artinya, tikus-tikus itu telah melihat teman-teman mereka yang pernah terjebak di dalam perangkap, tanpa bisa keluar. Yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa mereka tidak belajar dari pengalaman?

Sebagian orang mungkin berpikir, “Lhah, namanya juga tikus. Mereka makhluk yang bodoh, kan?”

Salah!

Sebaliknya, tikus termasuk hewan pintar. Keparat-keparat kecil itu tahu bagaimana cara mencari makanan, dan mereka akan menemukannya. Bukan hanya pintar, mereka juga makhluk yang tekun. Jika makanan yang mereka tuju ada di dalam lemari, misalnya, mereka tidak keberatan mengerat kayu lemari demi bisa membuat lubang.

Percaya atau tidak, tikus adalah salah satu hewan yang mirip manusia. Karena “kemiripan” itu pula, eksperimen-eksperimen di laboratorium sering menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Mereka—maksud saya tikus-tikus—bukan hewan bodoh. Berdasarkan otak yang mereka miliki, seharusnya mereka dapat berpikir lebih pintar. Bahkan, berdasar penelitian terbaru, otak tikus masih berfungsi (masih hidup) ketika tubuh mereka sudah mati (secara klinis).

Karena itulah, saya heran setengah mati mendapati tikus-tikus yang terus terjebak masuk ke dalam kurungan perangkap, seolah mereka tidak bisa berpikir, seolah mereka tidak pernah menyaksikan temannya yang lebih dulu terjebak dan tak bisa keluar. Itu mengherankan, dan saya bertanya-tanya.

Jika saya menempatkan diri pada tikus, dan mencoba berpikir seperti tikus, saya membayangkan tikus-tikus terjebak masuk ke dalam perangkap karena mereka menatap kurungan di depannya tidak dengan perspektif yang utuh. Mereka hanya melihat makanan (umpan yang dipasang di dalam kurungan), dan hanya berpikir mendapatkan makanan tersebut.

Tikus-tikus itu tidak memikirkan makanan di hadapannya dengan perspektif yang utuh. Mereka tidak memikirkan mengapa makanan ada di tengah-tengah kurungan sempit. Mereka tidak menganalisis kenapa kurungan hanya memiliki satu pintu, dan tidak ada pintu samping atau pintu belakang. Mereka tidak bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika satu-satunya pintu itu menutup, ketika mereka ada di dalam kurungan.

Mereka tidak berpikir dengan perspektif yang utuh.

Dan itulah kesalahan terbesar mereka.

Tikus-tikus yang akhirnya terjebak itu berpikir dalam jangka pendek—yang penting mendapatkan sesuatu yang ada di sana (makanan), tanpa menyadari bahwa makanan itu hanya umpan. Jadi, ketika mereka mencoba masuk ke dalam kurungan untuk menyentuh makanan di dalamnya, seketika pintu kurungan menutup. Dan mereka tidak bisa keluar. Karena tidak ada pintu lain. No where to run.

Perspektif yang utuh—tampaknya itulah masalah terbesar yang kerap dialami tikus... juga manusia. Saat menghadapi sesuatu, mereka tidak sempat memikirkan dalam skala luas atau jangka panjang, karena hanya fokus pada skala sempit atau jangka pendek. Padahal, hidup tidak sesempit itu, dan kehidupan juga tidak sesingkat itu.

Kalau saja tikus-tikus mau memandang dalam perspektif yang utuh, mereka akan selamat. Setidaknya, mereka akan berpikir, kira-kira seperti ini, “Aku memang menginginkan makanan di dalam kurungan. Tetapi, kalau kuperhatikan, kurungan itu sempit, dan hanya memiliki satu pintu yang dapat dilewati. Bagaimana kalau aku sedang ada di dalam, lalu pintu menutup? Aku pasti akan terkurung di sana, dan tak bisa keluar.”

Sejenak, tikus mungkin bisa mengitari kurungan, untuk memastikan bahwa kurungan tersebut memang tidak memiliki pintu lain. Setelah itu, dia pun yakin bahwa kurungan memang hanya memiliki satu pintu.

Jadi, dia pun berpikir, “Sekarang aku yakin, kurungan ini memang hanya memiliki satu pintu. Makanan di dalam kurungan memang tampak menggiurkan. Tetapi, bagaimana nasibku kalau aku sedang meraih makanan di dalamnya, lalu pintu kurungan menutup? Kenikmatan makanan di dalam kurungan jelas tak sepadan dengan kehidupanku. Jauh lebih baik aku menahan lapar tapi bebas, daripada mendapat makanan tak seberapa tapi aku terkurung.”

Dia juga bisa mengingat teman-temannya, yang pernah terlihat masuk kurungan, dan berpikir, “Teman-temanku yang pernah kulihat masuk ke dalam kurungan, sekarang tidak ada kabarnya. Aku tidak tahu di mana mereka. Aku masih ingat, beberapa temanku ada dalam kurungan dan tak bisa keluar, karena pintu kurungan menutup saat mereka ada di dalam. Itulah yang paling kukhawatirkan. Teman-temanku juga pasti berpikir ingin mengambil makanan di dalam kurungan. Tapi mereka tidak sempat memikirkan apa yang mungkin terjadi jika pintu kurungan menutup.”

Sampai di situ, tikus (seharusnya) bisa mengambil kesimpulan, “Artinya, kurungan berisi makanan ini sebenarnya perangkap, sebuah jebakan.”

Jika sampai pada kesimpulan semacam itu, dia pun selamat. Dia telah mendapatkan pencerahan yang tidak didapat teman-temannya—sesama tikus—yang telah terjebak dan kini hilang entah ke mana.

Kesimpulan yang baik dihasilkan oleh analisis yang baik. Analisis yang baik dihasilkan oleh pemikiran yang baik. Pemikiran yang baik dihasilkan oleh proses pembelajaran yang baik. Dan proses pembelajaran yang baik dihasilkan oleh ketekunan.

Tikus adalah hewan yang tekun. Saat mereka sedang mengerat atau menggerogoti sesuatu, mereka akan tekun melakukannya, hingga tujuan mereka tercapai. Kayu sekeras apa pun bisa berlubang, jika tikus menghendaki berlubang. Mereka hewan-hewan tekun, dan dilengkapi gigi-gigi kuat untuk mengerat. Sayang, mereka tidak menggunakan ketekunan yang sama untuk belajar.

Oh, well, tikus-tikus itu tidak belajar.

Mereka bahkan tidak belajar dari pengalaman.

Hari ini ada tikus yang masuk kurungan perangkap, dan besok ada lagi tikus yang masuk perangkap. Lalu besoknya lagi ada tikus lain masuk perangkap. Bagaimana bisa setiap hari ada tikus masuk perangkap, padahal kurungan yang digunakan sama, dan umpan di dalamnya juga serupa? Karena mereka tidak belajar dari pengalaman.

Mereka telah menyaksikan satu per satu temannya masuk ke dalam kurungan perangkap, dan tak bisa keluar. Tetapi, bukan belajar dari kenyataan pahit itu, mereka justru ikut-ikutan terperangkap! Mereka tidak belajar. Oh, well, mereka tidak pernah belajar!

Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, yaitu makanan di dalam kurungan, tanpa sempat memikirkan hal-hal yang tak terlihat. Seperti kemungkinan tak bisa keluar, hilangnya kebebasan, hingga selesainya riwayat hidup karena terjebak dalam perangkap. Hanya karena umpan tak seberapa, kehidupan mereka selesai.

Begitulah manusia... eh, maaf, begitulah tikus-tikus. Mereka rakus setiap kali melihat sesuatu yang diinginkan, hingga lupa menggunakan pikiran.

Meski begitu, tikus-tikus tak pernah habis. Hari ini terjebak masuk kurungan, besok ada lagi, dan begitu seterusnya. Mereka tak pernah habis. Mengapa? Para ilmuwan di laboratorium tahu jawabannya. Karena, sebagaimana manusia, tikus-tikus sangat cepat berkembang biak.

 
;