Kamis, 22 Februari 2018

Perspektif Utuh

Ada banyak tafsir yang merasa lebih tahu
dari sesuatu yang ditafsirkan. Karena itulah dibutuhkan
kemampuan memahami dan mendengarkan.
@noffret


Jalaluddin Rumi, penyair sufi terkenal, menulis aforisma tentang gajah di dalam gelap. Seekor gajah dimasukkan ke dalam ruang gelap tanpa cahaya, dan sekelompok orang diminta menyebutkan ciri-ciri makhluk tersebut. Orang-orang—yang sama sekali belum pernah melihat gajah—masuk ke ruangan, meraba-raba bagian gajah yang kebetulan mereka temukan, mengira-ngira, lalu mengambil kesimpulan.

Orang yang kebetulan memegang telinga gajah, mengatakan gajah mirip kipas. Orang yang kebetulan meraba kaki gajah, menyebut gajah mirip tiang. Orang yang kebetulan menyentuh belalai gajah, meyakini gajah mirip ular. Di dalam gelap dan pengetahuan terbatas, perspektif bahkan keyakinan bisa sangat keliru. Bagaimana pun, gajah sama sekali tidak mirip kipas, tidak mirip tiang, juga tidak mirip ular. Ciri-ciri itu lahir dari ketidaktahuan akibat kegelapan.

Aforisma Rumi menjadi dongeng populer, yang diceritakan dari masa ke masa, dan tampaknya masih relevan untuk diceritakan dan diceritakan kembali. Karena kenyataannya masih banyak orang yang meyakini sesuatu di dalam gelap, masih banyak orang membangun perspektif bahkan keyakinan tanpa kesadaran dan pengetahuan utuh. Padahal perspektif tanpa pengetahuan akan memicu kekeliruan, keyakinan tanpa kesadaran akan merusak.

Masih terkait hewan, ada kasus nyata yang bisa dijadikan contoh, betapa keyakinan tanpa pengetahuan akan menimbulkan kekeliruan, bahkan kekeliruan massal. Mari kita lihat burung unta.

Burung unta kadang terlihat memasukkan kepala ke dalam pasir, karena hewan ini memang banyak hidup di padang pasir Afrika dan Timur Tengah. Banyak orang mengira bahkan meyakini burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir karena ketakutan pada bahaya yang datang. Sebegitu populer keyakinan tersebut, hingga analogi “burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir” sering digunakan untuk menyebut orang yang pengecut, atau takut pada risiko.

Padahal, anggapan atau keyakinan itu keliru. Burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir, bukan karena ketakutan pada bahaya yang datang!

Sebelum melangkah lebih jauh, sekarang kita lihat profil burung unta. Burung unta memiliki berat hingga 150 kilogram, dengan tinggi mencapai 2,4 meter. Meski besar dan tinggi, burung unta memiliki kemampuan berlari hingga kecepatan 50 kilometer per jam. Kenyataan itu menunjukkan burung unta memiliki kaki yang kuat. Kaki yang kuat itu dilengkapi cakar tajam, yang bisa membelah musuh dengan mudah. Di atas semua itu, burung unta memiliki pendengaran yang sangat tajam.

Sekarang pikirkan, musuh macam apa yang membuat burung unta ketakutan? Kenyataannya, tidak ada hewan di sekitar padang pasir yang berani melawan burung unta! Burung raksasa itu memiliki kemampuan dan kekuatan yang sulit dikalahkan, sehingga hewan-hewan yang hidup di sekitarnya memilih jaga jarak. Di padang pasir Afrika, bisa dibilang burung unta adalah penguasa. Jadi, sangat aneh kalau kita menuduh burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir karena ketakutan. Burung unta tidak sebodoh itu!

Tapi kenyataannya burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir—untuk apa? Bukan untuk menghindari bahaya, melainkan untuk mendeteksi kemungkinan datangnya bahaya! Ingat, burung unta adalah penguasa di padang pasir, dan tidak ada hewan yang berani mengusiknya. Tetapi ada satu musuh nyata bagi burung unta... yaitu manusia.

Sejak berabad-abad lalu, burung unta telah menjadi buruan manusia. Untuk dipelihara, maupun untuk dimakan dagingnya. Karenanya, bahaya paling nyata bagi burung unta tidak datang dari sesama hewan, melainkan dari manusia. Bagaimana pun, burung unta sulit melawan manusia, karena manusia membawa senjata. Dari panah, tombak, sampai senapan. Itulah ancaman terbesar bagi burung unta.

Karenanya, sejak berabad-abad lalu, burung unta mengembangkan mekanisme pertahanan diri, dengan memasukkan kepala ke dalam pasir, untuk mendeteksi kemungkinan bahaya, yaitu kedatangan manusia. Burung unta memiliki pendengaran yang tajam. Sementara suara akan lebih cepat merambat melalui benda padat daripada melalui udara. Dengan memasukkan kepala ke dalam pasir, burung unta akan dapat mendeteksi dari mana kemungkinan bahaya (manusia) akan datang, sehingga bisa memutuskan untuk lari ke arah mana.

Satu-satunya bahaya yang ditakuti burung unta hanya manusia. Dan mereka memasukkan kepala ke dalam pasir untuk mendeteksi kemungkinan datangnya manusia, yang bisa menjadi bahaya baginya.

Setelah menentukan dari mana arah datangnya manusia, burung unta bisa menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman. Mungkin, kalau saja manusia tidak membawa senjata, burung unta akan berani bertarung melawan manusia mana pun, asal sama-sama tangan kosong. Dan hampir bisa dipastikan burung untalah yang akan menang!

Jadi, kita lihat, burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir sama sekali bukan karena ketakutan. Itu mekanisme pertahanan diri bagi burung unta dalam mendeteksi bahaya yang ditimbulkan manusia. Artinya, menyebut burung unta sebagai “pengecut karena memasukkan kepala ke dalam pasir saat menghadapi bahaya” sama sekali tidak benar. Itu kesimpulan yang datang dari perspektif tidak utuh, pengetahuan yang tidak utuh.

Bahwa burung unta memasukkan kepala ke dalam pasir, ya. Tetapi bukan karena ketakutan, melainkan untuk mendeteksi datangnya bahaya. Itu dua hal yang berbeda. Dengan kata lain, umpama gajah datang untuk menyerang burung unta, hampir bisa dipastikan burung unta tidak akan memasukkan kepala ke dalam pasir. Kalau pun burung unta benar-benar takut melawan gajah, dia pasti akan memilih lari, karena gajah tidak akan mungkin bisa mengejarnya.

Pengetahuan adalah sesuatu yang baik. Tetapi pengetahuan yang tidak utuh bisa berbahaya. Keyakinan adalah sesuatu yang baik. Tetapi keyakinan yang tidak benar bisa merusak. Dalam contoh yang ringan, kita telah melihatnya pada burung unta. Akibat pengetahuan yang tidak utuh, kita menilai burung unta sebagai pengecut. Susahnya, pengetahuan itu diwariskan turun temurun, sehingga banyak orang memiliki keyakinan serupa. Padahal, kita tahu, itu keyakinan yang keliru.

Dalam contoh faktual, kita bisa melihat kasus yang belum lama terjadi. Di internet sempat beredar foto yang menunjukkan poster bergambar kucing. Poster dalam foto itu terdapat di sebuah pabrik makanan. Pada poster itu terdapat tulisan dengan huruf kapital, “KUCING MEMANG MENGGEMASKAN, TAPI DALAM INDUSTRI MAKANAN DIA ADALAH HAMA. STOP. JANGAN MEMBERI MAKAN KUCING. JANGAN MELEPASKAN KUCING. YANG TERTANGKAP, LAPORKAN.”


Seketika, poster bergambar kucing itu viral, dan perusahaan makanan yang memasang poster itu dihujat banyak orang, khususnya para pencinta kucing. Orang-orang menganggap perusahaan makanan itu telah berlaku kejam terhadap kucing, sebagian orang bahkan menyatakan akan memboikot dan tidak lagi membeli makanan yang diproduksi perusahaan tersebut.

Selama waktu-waktu itu, berbagai situs di internet memuat berita menyangkut hal tersebut, sementara media sosial ramai oleh poster kucing. Sebegitu ramai masalah yang muncul, hingga pihak perusahaan makanan itu pun merasa perlu melakukan klarifikasi dan menjelaskan isi poster tersebut, yang ternyata arti atau maknanya jauh berbeda dari yang dipahami kebanyakan orang.

Berdasarkan penjelasan dari pihak perusahaan, mereka memang menjauhkan kucing dari pabrik pengolah makanan. Bagaimana pun, mereka berusaha mengolah dan memproduksi makanan sebersih mungkin, benar-benar steril, sehingga menjauhkan apa pun yang bisa mengontaminasi produk makanan mereka. Bagaimana pun, mereka ingin konsumen benar-benar mendapatkan makanan yang bersih, steril, dan sehat.

Karena hal itu pula, mereka sengaja memasang poster tadi di sekitar pabrik, yang tujuannya untuk mengingatkan para karyawan agar menjauhkan kucing dari pabrik pengolah makanan. Bulu-bulu kucing mudah lepas, dan sulit dilihat karena sangat kecil. Jika bulu-bulu yang terlepas itu sampai masuk ke mesin pengolah makanan, maka terjadi kontaminasi. Jika kebetulan pada bulu itu terdapat bibit penyakit, maka hasilnya tentu bahaya.

Untuk itulah, dalam poster terdapat tulisan, “KUCING MEMANG MENGGEMASKAN, TAPI DALAM INDUSTRI MAKANAN DIA ADALAH HAMA.” Kenyataannya memang benar. Kucing dalam pabrik makanan mungkin tidak memakan makanan yang sedang diolah di sana. Tapi kucing bisa menimbulkan bahaya melalui bulu-bulu di tubuhnya. Karena itu, “STOP. JANGAN MEMBERI MAKAN KUCING. JANGAN MELEPASKAN KUCING.”

Imbauan agar “jangan memberi makan kucing” pada poster tidak dimaksudkan agar para karyawan di sana membiarkan kucing kelaparan dan mati, melainkan dengan tujuan lain. Jika kucing masuk pabrik pengolah makanan, lalu diberi makan, dia akan terus datang. Bukankah kucing memang begitu? Karenanya, untuk menghindari kucing datang kembali, pabrik itu pun mengimbau karyawan mereka agar tidak memberi makanan kepada kucing. Sebaliknya, “YANG TERTANGKAP, LAPORKAN.”

Laporkan ke mana? Laporkan ke satpam! Setelah itu, satpam akan mengambil kucing tersebut, dan melepaskannya di tempat lain, agar menjauh dari tempat pengolah makanan. Dengan aturan itu, produk makanan yang dibuat tetap steril, konsumen mendapat makanan yang bersih dan sehat, sementara kucing bisa hidup bebas tanpa menimbulkan masalah.

Setelah mendapat penjelasan itu, kita pun melihat bahwa pemahaman kita terhadap tulisan di poster bisa berbeda seratus delapan puluh derajat. Apa artinya itu? Yang kita lihat belum tentu sesuai kenyataan. Yang kita pahami belum tentu memang benar. Karena yang kita lihat hanya sebagian, yang kita pahami belum utuh. Meminjam istilah anak kampus, “belum komprehensif”. Persis seperti orang-orang yang meraba gajah di ruang gelap.

Karena itu, setiap kali mendapati sesuatu, tidak perlu buru-buru menyimpulkan lalu berkoar-koar. Pahami dulu, endapkan dulu, lakukan klarifikasi dan verifikasi, agar kita benar-benar tahu secara utuh, benar-benar memahami secara penuh. Sebab gajah tidak seperti kipas, tidak seperti tiang, juga tidak seperti ular. Berkoar-koar mengatakan gajah seperti itu bukan hanya keliru, tapi juga menyesatkan orang yang tidak tahu.

Pengetahuan bukan pengetahuan selama belum ada klarifikasi. Keyakinan bukan keyakinan sebelum ada verifikasi.

Karenanya, daripada buru-buru meributkan pengetahuan orang lain, klarifikasi terlebih dulu pengetahuan diri sendiri, karena bisa jadi pengetahuan kita yang keliru. Sebelum menyalahkan keyakinan orang lain, jauh lebih baik mempelajari keyakinan diri sendiri. Jika memang benar, kita bisa bertambah yakin; jika ternyata keliru, kita bisa memperbaiki diri. Dalam pengetahuan maupun keyakinan, itu jauh lebih baik.

 
;