Saya termasuk generasi yang terdoktrinasi media untuk meyakini bahwa wanita adalah makhluk yang terlahir mulus tanpa bulu. Sejak puber sampai cukup dewasa, saya benar-benar yakin bahwa mulusnya kulit wanita memang “sudah dari sononya”. Bahwa wanita tidak punya bulu kaki atau bulu ketiak, sebagaimana mereka tidak punya kumis dan jenggot.
Di lembar-lembar majalah, kita pasti sering mendapati foto-foto wanita yang begitu mulus, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu pula penampilan para wanita di film atau sinetron, atau di acara-acara televisi. Lebih jelas lagi di film bokep. Di film-film JAV, misalnya, kita menyaksikan tubuh wanita seutuhnya, dan, well... mulus. Tidak ada bulu apa pun di tubuh mereka, selain bulu vagina.
Jadi, saya terdoktrin untuk meyakini bahwa seperti itulah wanita. Mulus, bersih, tanpa bulu. Doktrin itu secara tak langsung memberitahu bahwa wanita adalah makhluk yang mulus. Saat dewasa, satu-satunya bulu yang mereka miliki hanya bulu vagina. “Doktrin” itu, sebagaimana umumnya doktrin lain, merasuk ke bawah sadar saya.
Belakangan, seiring pengetahuan makin bertambah, saya mulai tahu bahwa wanita ternyata memiliki bulu kaki, dan mereka harus mencabutnya—menghilangkan bulu-bulu itu—dengan cara yang kadang menyakitkan. Sampai di situ, saya memang terkejut. Tetapi, setidaknya, reaksi saya hanya membatin, “Ooh, ternyata wanita juga punya bulu kaki.”
Yang agak mengerikan, ketika saya tahu bahwa wanita juga punya bulu ketiak. Di suatu majalah, tanpa sengaja, saya mendapati foto-foto wanita yang memamerkan ketiak dengan bulu-bulu lebat. Itu pertama kali saya menyaksikan wanita dengan bulu ketiak. And you know what...? Saya shock, dan tidak doyan makan sampai beberapa hari!
Keterkejutan saya waktu itu sedemikian besar, karena sama sekali tidak tahu, dan tidak menduga. Bahwa wanita punya bulu kaki, saya pikir it’s okay. Tapi bulu ketiak...? Itu sesuatu yang sepertinya sulit diterima akal sehat, akibat doktrinasi yang selama itu saya yakini. Kenyataan bahwa wanita ternyata punya bulu ketiak, seperti realitas yang menampar kesadaran saya dari lena doktrinasi.
Dan itu mengerikan, setidaknya bagi saya.
Butuh waktu lama bagi saya untuk menyadarkan diri sendiri, bahwa ternyata wanita “tidak semulus” seperti yang saya yakini selama ini. Bahwa mereka punya bulu kaki, dan harus mencabutnya. Bahwa mereka juga punya bulu ketiak, dan harus membersihkannya.
Meski kesadaran itu akhirnya hinggap, saya tetap terdoktrin bahwa wanita “seharusnya” mulus. Saya tidak ingin—dan merasa tidak mampu—melihat wanita yang punya bulu kaki, apalagi bulu ketiak. Kapan pun saya tanpa sengaja melihat wanita berbulu ketiak—misal di lembar majalah atau media lain—saya akan spontan memalingkan muka, dan tidak ingin melihat. Karena merasa “tidak mampu” menyaksikan.
Mungkin akan beda cerita, kalau sejak dulu saya telah diberi tahu bahwa wanita tidak semulus seperti yang didoktrinasikan. Bahwa wanita juga punya bulu-bulu tubuh tertentu, dan mereka harus menghilangkannya, demi terlihat mulus. Dengan pengetahuan itu—meski belum pernah melihatnya—mungkin saya tidak akan terlalu shock, saat benar-benar melihat.
Sayangnya, saya telanjur terdoktrinasi, dan ternyata doktrinasi itu keliru. Ketika akhirnya melihat kenyataan sesungguhnya, saya benar-benar shock, sampai tidak doyan makan.
Berkebalikan dengan bulu ketiak—atau bulu kaki—saya juga terdoktrin untuk meyakini bahwa wanita dewasa memiliki bulu vagina. Doktrin itu sedemikian menancap dalam bawah sadar, hingga saya sulit menerima kenyataan wanita dewasa yang vaginanya bersih, tanpa bulu. Omong-omong, KBBI menyebut bulu vagina dengan istilah “jembut”. Yeah, itu maksud saya.
Di film JAV, kita tahu, kadang pemain wanita mencukur habis bulu vaginanya, hingga terlihat mulus dan bersih. Ketika kebetulan menemukan hal itu, saya akan skip bagian tersebut, atau tidak menontonnya. Dalam bayangan saya, vagina yang bersih tanpa bulu adalah vagina anak-anak, dan saya merasa... well, tidak bermoral kalau sampai nafsu pada anak-anak. Bagaimana pun, saya sudah terdoktrin untuk meyakini vagina wanita dewasa punya bulu!
Betapa mengerikan pengaruh doktrin, kalau dipikir-pikir. Padahal, doktrinasi yang saya terima—khususnya terkait bulu di tubuh wanita—hanyalah doktrin yang tersebar lewat media. Majalah, koran, televisi, atau hal lain. Selama bertahun-tahun, sejak kecil sampai cukup dewasa, saya terus menerus dihadapkan pada kenyataan bahwa wanita adalah makhluk yang bersih dan mulus. Tanpa saya sadari, “kenyataan” itu meresap menjadi doktrinasi, hingga saya meyakini sesuatu yang sebenarnya keliru.
Sejujurnya, saya tidak tahu apakah semua wanita pasti memiliki bulu kaki, atau juga bulu ketiak. Maksud saya, bisa jadi hanya sebagian wanita yang “dikaruniai” bulu kaki dan bulu ketiak, dan mereka harus membabatnya sampai bersih, sementara sebagian wanita lain memang murni tidak memiliki bulu di kaki maupun ketiak. Saya tidak tahu pasti soal ini, karena saya bukan wanita.
Yang jelas, akibat doktrinasi yang saya terima selama ini, bagaimana pun saya sulit menerima kenyataan saat melihat wanita berbulu kaki atau berbulu ketiak. Sama halnya saya sulit menerima kenyataan wanita dewasa yang tidak memiliki bulu vagina.
Mungkin yang mengalami “fenomena” semacam ini hanya saya, tapi bisa jadi ada cowok-cowok lain yang juga telanjur terdoktrinasi hal sama. Bagaimana pun, kita sama-sama generasi yang tumbuh dan dibesarkan oleh media. Televisi yang ditonton sejak kecil, koran dan majalah yang dibaca, sampai—belakangan—internet yang memborbardir kehidupan kita. Media-media itulah yang selama ini memberitahu kita tentang hal-hal yang tidak pernah dijelaskan guru di sekolah, atau orang tua kita di rumah.
Kenapa selama ini tidak ada yang pernah memberitahu saya, “Hei, bocah, ketahuilah bahwa sesungguhnya wanita-wanita di sekelilingmu tidak seperti yang kaubayangkan. Tubuh mereka tidak semulus yang didoktrinkan media. Selain memiliki bulu vagina, kaki mereka juga kadang ditumbuhi bulu, begitu pula ketiak mereka. Jadi, kapan pun kau melihat kenyataan itu, jangan terkejut.”
Tidak ada yang memberitahu saya begitu! Padahal itu kenyataan penting. Coba bayangkan kalau misal saya menikah, dan benar-benar belum sadar bahwa wanita punya bulu kaki atau bulu ketiak. Lalu, suatu hari, saya mendapati wanita yang menjadi istri saya sedang membersihkan bulu kaki atau bulu ketiaknya. Kira-kira bagaimana perasaan atau reaksi saya waktu itu?
Saya tidak sanggup membayangkan, karena rasanya terlalu mengerikan. Wong melihat foto wanita di majalah dengan bulu ketiak saja, sudah membuat saya tidak doyan makan.
Berdasarkan uraian yang saya ceritakan, meski parsial, kita melihat bahwa sebenarnya pengetahuan atau pendidikan seks memang penting, dan perlu diajarkan. Tetapi, sayang, setiap kali mendengar “pendidikan seks” sebagian orang langsung mengasumsikan urusan senggama. Padahal, arti “seks” itu “kelamin atau jenis kelamin”, dan bukan “senggama”.
Dengan kata lain, “pendidikan seks” artinya “pendidikan terkait kelamin”, dan bukan “pendidikan tentang senggama”. Kalau gurumu mengajarkan pendidikan seks, dia sedang mendidikmu untuk mengenali dirimu sendiri dan lawan jenismu, dan bukan sedang mengajarimu cara bersenggama! Sialnya, sesuatu yang jelas dan gamblang ini masih sulit dipahami sebagian orang, yang mungkin otaknya cuma berisi urusan senggama.
Jadi, kalau saya ditanya apakah pendidikan seks perlu diajarkan di sekolah? Saya akan menjawab, “Ya, perlu.” Karena saya menyadari bahwa pendidikan seks artinya pendidikan yang mengajarkan hal-hal terkait tubuh kita dan tubuh lawan jenis, untuk lebih mengenali dan memahami. Pendidikan seks bukan berarti mengajari cara berhubungan seks! Kenapa orang-orang dewasa yang suka ngotot itu tidak juga paham?
Anak laki-laki perlu tahu bahwa tubuh lawan jenis tidak semulus seperti yang mungkin mereka bayangkan, agar tidak shock seperti saya. Mungkin itu pengetahuan remeh, sepele, khususnya bagi orang-orang dewasa. Tapi bagi saya, atau bocah-bocah lelaki lain, pengetahuan itu jauh lebih penting daripada mengetahui kapan Columbus melayari samudera. Persetan dengan Columbus! Ngapain juga sekolah bertahun-tahun cuma untuk kenal Columbus?
Karena guru-guru di sekolah tidak mengajarkan hal-hal penting terkait lawan jenis, saya pun mendapatkan pengetahuan tentang itu dari luar sekolah. Lewat majalah yang saya baca, lewat televisi yang saya tonton, juga lewat film yang saya saksikan. Dan sekarang saya memahami, pengetahuan yang saya peroleh dari media-media itu ternyata keliru, sementara saya telanjur meyakini.
Saya telanjur meyakini bahwa wanita tidak punya bulu kaki. Ketika menyadari kenyataan sebaliknya, saya merasa geli. Saya telanjur meyakini wanita tidak punya bulu ketiak. Ketika menyadari realitas sebenarnya, saya tidak doyan makan. Saya telanjur meyakini wanita dewasa memiliki bulu vagina. Ketika menyadari ada wanita yang sengaja menghilangkan bulu vagina mereka, saya tidak bernafsu.
Did you see that...?
Contoh-contoh yang saya paparkan tentu sepele, dan masih tergolong ringan, karena hanya sebatas tampilan luar fisik. Padahal, wanita—dan tentu juga pria—tidak hanya terdiri dari fisik yang tampak, tapi juga psikis yang tak tampak. Jadi, persetan, apa sebenarnya yang kita pelajari di sekolah bertahun-tahun, kalau tentang lawan jenis saja ternyata kita masih tolol?