Selasa, 10 April 2018

Burung di Laboratorium

Kita berubah, tanpa disadari. 
Seperti usia yang merangkak pergi, seperti kebiasaan yang 
terbentuk perlahan, seperti senyum yang hilang.


Untuk suatu keperluan, saya mendatangi sebuah laboratorium. Setelah mendapatkan tanda pengenal yang harus dipasang di dada, saya diantar seorang pria—mungkin usianya 25—ke ruang laboratorium yang menjadi tujuan utama. Di dalam laboratorium itu terdapat sebuah kantor, tempat seseorang yang perlu saya temui.

Ruangan itu cukup luas, dan sepi. Seluruh ruangan tampak bersih dan steril, tapi ada sesuatu yang mengganggu atau tidak lazim—seekor burung tekukur bertubuh layu di dalam sangkar.

Di salah satu sisi dinding, terdapat rak permanen yang menyatu dengan dinding—khas rak permanen di laboratorium mana pun—dan di atas rak itulah burung tadi berada, terkurung dalam sangkar. Dan hanya ada burung itu, tidak ada benda lain di dekatnya.

Ada yang salah, pikir saya. Ini seperti ‘sesuatu yang seharusnya tidak ada di suatu tempat, tapi kau melihatnya ada di sana, dan kau tahu itu salah, meski kau juga tidak tahu mengapa kesalahan itu bisa terjadi’.

“Mengapa ada burung di laboratorium?” tanya saya pada pria yang mengantar.

Dia mengangkat bahu, dan menjawab, “Entahlah.”

“Maaf?”

Dia menghentikan langkah, dan menatap ke arah burung di dalam sangkar. “Uhm, saya tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di sini. Maksud saya, burung itu sudah ada waktu saya mulai bekerja sini. Jadi, saya benar-benar tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di laboratorium, atau bagaimana asal usulnya.”

Kebetulan, waktu itu, pembersih ruangan melangkah lewat sambil membawa lap. Pria di samping saya memanggil, “Fred.”

Fred menengok, dan melangkah ke arah kami.

“Fred, kau tahu mengapa ada burung di sana?”

“Tidak,” jawab Fred. “Sepertinya burung itu sudah ada, sebelum saya bekerja di sini.”

Kami melanjutkan langkah, dan menuju ruangan seseorang yang perlu saya temui. Pikiran saya seperti mengawang, dan terus memikirkan burung yang tadi saya lihat.

Sampai di sebuah ruang kantor, pria pengantar saya berhenti, membukakan pintu, dan berkata, “Silakan.” Setelah itu, dia pergi.

Saya masuk ke ruangan, dan mendapati orang yang perlu saya temui—seorang wanita yang dulu saya kira adik Rosamund Pike. Dia sedang berdiri dengan anggun, dan berkata, “Ada banyak sekali yang perlu kita bicarakan. Tapi, pertama-tama, terima kasih kau mau datang.”

Kami berjabat tangan. Lalu dia mengajak duduk di sofa, yang merupakan tempatnya biasa menerima tamu.

Saya berkata, “Sebelum kita membicarakan apa pun yang perlu dibicarakan, kau tidak keberatan menjawab yang ingin kutanyakan?”

“Sure.”

“Kenapa ada burung di laboratorium?”

Di luar dugaan, dia tertawa terbahak. Setelah puas tertawa, dia berkata sambil tersenyum. “Sorry, aku tidak menyangka itu yang kautanyakan. Tapi jawabannya cukup panjang.”

“Aku mendengarkan.”

“Sebenarnya,” dia memulai, “aku juga tidak tahu bagaimana ada burung di laboratorium kami. Waktu aku datang ke sini pertama kali, burung itu sudah ada—di tempat yang tadi kaulihat. Aku bertanya pada orang-orang yang lebih lama di sini, dan mereka rata-rata menjawab senada. Sama-sama tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di sana. Kau sudah bertemu Fred?”

“Pria pembersih ruangan?”

Dia mengangguk. “Kau tahu berapa umur Fred?”

Seingat saya tadi, Fred sudah cukup tua. “Sekitar 60 tahun?”

Sekali lagi dia mengangguk. “Fred telah bekerja di sini sejak masih muda. Tapi Fred juga tidak tahu bagaimana burung itu bisa ada di sana. Ketika dia mulai bekerja di sini, burung itu sudah ada di sana, dan Fred tidak tahu bagaimana asal usulnya, atau siapa yang menempatkannya di sana.”

Sejenak, keheningan menggantung.

Saya berkata dengan tidak nyaman, “Ada yang salah dengan burung itu.”

Untuk kesekian kali, dia mengangguk. Lalu menyahut, “Semua hal terkait burung itu, sebenarnya salah. Asal usulnya tidak jelas, dan tidak seorang pun bisa menjelaskan bagaimana dia—maksudku burung itu—bisa ada di sana. Semua orang yang bekerja di sini tidak ada yang tahu bagaimana ada burung di laboratorium. Dan, terakhir, burung itu terlalu tua untuk tetap hidup.”

“Sorry?”

“Rata-rata burung tekukur tidak bisa hidup selama itu.”

Saya memahami maksud ucapannya. Di alam liar, burung-burung bisa hidup lama, tergantung spesies dan habitatnya. Meski begitu, kurungan yang bersih dan terawat serta makanan yang disediakan secara teratur—dan mengandung gizi cukup—bisa memperlama usia burung. Karenanya, ketika burung hidup di dalam sangkar, dan segala kebutuhannya tercukupi, dia bisa hidup lebih lama. Selain dapat makan tanpa bekerja, dia juga terhindar dari serangan predator. Meski begitu, usia burung tetap terbatas.

Dengan perawatan yang tepat, misalnya, burung kacer dapat hidup sekitar 10-15 tahun. Kutilang bisa hidup 8-11 tahun. Murai batu, 7-10 tahun. Trucukan, 8-11 tahun. Pekin robin, 10-11 tahun. Beo, 12-25 tahun. Kenari, 7-10 tahun. Lovebird, 10-12 tahun. Derkuku, 10-20 tahun. Finch, 5-10 tahun. Merpati, 10-20 tahun. Parkit, 5-10 tahun. Pleci, 8-10 tahun. Cendet, 12 tahun. Sementara burung gereja bisa bertahan hidup 11-13 tahun.

Di dalam sangkar, dengan perawatan dan makanan tepat, burung yang mampu bertahan hidup paling lama adalah macaw, amazon, dan african grey, yang rata-rata mampu hidup 40-50 tahun. Sementara tekukur—burung yang tadi saya lihat di laboratorium—hanya mampu bertahan 10 hingga belasan tahun.

Saya pun mengatakan hal itu. “Rata-rata burung tekukur tidak bisa hidup lebih dari dua puluh tahun.”

Dia mengangguk, dan berkata terus terang, “Dan kami sebenarnya ingin melihat dia mati.”

Saya menatapnya. “Tapi dia tidak juga mati.”

“Itulah. Fred, si tukang bersih-bersih, telah ada di laboratorium ini lebih dari tiga puluh tahun. Waktu pertama kali masuk ke sini, dia sudah melihat burung itu di sana. Artinya, burung itu telah berusia di atas 30 tahun—jika menggunakan patokan lama kerja Fred di sini. Bisa jadi, burung itu sebenarnya jauh lebih tua dari itu. Sebegitu tua, sampai semua orang yang sekarang bekerja di sini tidak tahu bagaimana asal usulnya, dan bagaimana dia bisa ada di sana.”

“Omong-omong, makanan apa yang kalian berikan pada burung itu?”

“Makanan biasa, seperti umumnya burung.” Setelah terdiam sejenak, dia berkata ragu-ragu. “Kupikir, faktor yang menjadikan burung itu hidup sampai lama bukan apa yang dia makan... tapi sesuatu yang memakannya.”

Saya menatapnya. “Sorry?”

“Aku agak kesulitan menjelaskan. Bagaimana kalau kita datangi saja burung itu, agar kau tahu yang kumaksudkan?”

Kami pun bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah menuju laboratorium, tempat burung tekukur tadi berada.

Burung itu masih ada di sana—terkurung dalam sangkar, dan tampak kuyu. Kadang bergerak, kadang diam. Sekarang saya tahu, wujud fisiknya yang kuyu karena faktor usia.

Kami berdiri di depan sangkar, dan menatap burung di dalamnya.

“Kaulihat?” dia berbisik.

“Ya, aku melihat burung yang sama.” Lalu melanjutkan dengan tidak nyaman, “Kenapa kau berbisik?”

“Maksudku, lihat lebih jelas.”

Saya mendekatkan wajah ke sangkar, berharap bisa melihat sesuatu yang mungkin belum saya lihat. Burung tekukur di dalam sangkar tampak diam, hingga saya bisa fokus menatapnya. Saya memperhatikan, seinci demi seinci, tapi saya melihat rupa burung yang sama seperti burung-burung umumnya. Kecuali tubuhnya yang tampak kurus, bulu-bulu yang kini tidak rapi, dan tampak layu. Sampai kemudian saya melihat matanya.

Berbeda dengan mata manusia yang sepenuhnya ada di depan, mata burung—khususnya burung tekukur—terletak di kanan dan kiri wajah. Ketika saya menatap matanya, burung itu menatap saya dengan salah satu matanya. Dan saya mendapati mata yang sama seperti umumnya mata burung tekukur. Bedanya, mata bulat yang saya lihat waktu itu begitu gelap, nyaris tanpa lingkaran terang seperti yang biasa ada pada burung tekukur umumnya.

Semakin lama saya menatap mata itu, pelan-pelan saya menyadari arti kalimat “bukan apa yang dia makan, tapi sesuatu yang memakannya”. Di mata burung tekukur itu, entah bagaimana, saya melihat kepahitan dan kejahatan dan hal-hal buruk yang bisa dipahami manusia. Itu bukan mata burung... itu mata makhluk lain, tapi tersamar di dalam tubuh burung.

“Kau sudah melihatnya?” dia kembali berbisik.

Tanpa sadar, saya menjawab dengan bisik yang sama. “Ya, aku sudah melihatnya.”

Lalu dia menarik saya dari sana, dan kami kembali ke ruang kantornya.

Beberapa saat kemudian, setelah menyesap minuman, dia berkata dengan salah tingkah, “Aku pernah menyuruh Fred mem... mematikan burung itu.”

Saya menatapnya. “Dan...?”

“Fred tidak bisa mematikannya.” Setelah itu, dia melanjutkan, “Maksudku, Fred tidak tega mematikan burung itu. Yeah, bagaimana pun itu burung, dan kau tidak mungkin mematikan burung tanpa alasan.”

“Fred tidak melihat yang kaulihat?”

“Tidak. Entah bagaimana, Fred hanya melihat burung itu sebagai burung. Karenanya, dia pula yang selama ini rutin merawat dan memberi makan burung itu. Yeah, dia benar-benar percaya itu burung.”

Saya berkata dengan linglung. “Kenyataannya... itu memang burung.”

Dia mengangguk. “Jika kita melupakan berapa usianya, dan terlepas dari yang tadi kaulihat, makhluk itu memang burung.”

....
....

Waktu-waktu berlalu. Saat saya menulis catatan ini, Fred—si tukang bersih-bersih laboratorium—sudah meninggal. Ia sakit-sakitan seperti umumnya lansia, lalu meninggal suatu hari dengan tenang di rumah sakit.

Pria berusia 25 tahun—yang mengantarkan saya masuk ke laboratorium pertama kali—masih bekerja di sana, namun sekarang telah mendapat jabatan lebih tinggi.

Orang yang saya temui di laboratorium itu—yang menjadi teman saya bercakap-cakap hingga lama—sudah pindah kerja di tempat lain, yang menurutnya memberi gaji, kantor, dan fasilitas lebih baik.

Dan burung itu...?

Well, burung tekukur itu masih ada di sana, di laboratorium, seperti yang saya lihat pertama kali. Dan, berdasarkan penjelasan orang-orang yang kini bekerja di sana, burung tekukur itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mati.

 
;