Saran "berhentilah merasa menjadi korban" memang terdengar baik.
Yang masih jadi masalah, bagaimana kalau senyatanya kita memang korban?
Itu sama saja memberi nasihat "berhentilah merasa dirampok"
kepada korban perampokan.
Seorang laki-laki menabrakkan diri pada kereta api yang sedang melaju, dan dalam beberapa detik kemudian dia tewas. Itu jelas tindakan bunuh diri, dan nyatanya dia memang meninggalkan catatan perpisahan, yang menjelaskan bahwa keputusannya bunuh diri dilatari malu akibat perundungan yang menimpanya.
Beberapa orang, yang mungkin kurang bisa berempati, mengatakan, “Halah, gitu aja bunuh diri. Cemen!”
Ungkapan semacam itu memang terdengar masuk akal. Karena, “masak hanya karena di-bully saja sampai bunuh diri?” Terdengar masuk akal... tapi terdengar masuk akal bagi siapa? Bagi kita, yang bukan korban! Kita tidak mengalami perundungan sebagaimana yang dia alami, sehingga bisa ngomong dengan mudah.
Seorang wanita mengalami depresi dan mengurung diri di kamarnya sampai berbulan-bulan, tidak mau bertemu orang lain, dan ketakutan pada orang asing. Kondisi itu dilatari perkosaan yang menimpanya. Setiap kali teringat peristiwa itu, dia menangis tanpa henti, dari hari ke hari, sampai berbulan-bulan.
Beberapa orang, yang mungkin berniat baik, mengatakan, “Yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Sekarang lupakan, dan lanjutkanlah hidupmu.”
Ungkapan semacam itu terdengar masuk akal. Karena, “bagaimana pun itu sudah terjadi, jadi lupakan sajalah.” Terdengar masuk akal... tapi terdengar masuk akal bagi siapa? Bagi kita, yang bukan korban! Kita tidak mengalami perkosaan sebagaimana yang dia alami, sehingga bisa ngomong dengan mudah.
Faktanya, bagi setiap korban kejahatan, “melupakan” tidak semudah yang diucapkan orang. Apalagi untuk kejahatan keji semacam perkosaan. Itu jelas meninggalkan luka, trauma, dan luka itu sulit hilang, bahkan mungkin sampai akhir hayat. Bagi yang bukan korban, “melupakan” terdengar ringan—persetan, apa sulitnya melupakan? Tapi bagi si korban, yang benar-benar mengalami, “melupakan” adalah hal yang nyaris mustahil.
Itulah perbedaan antara korban dan bukan korban. Antara yang mengalami dan yang tidak mengalami.
Dalam hal itu, bagaimana pun, orang tetap memberikan simpati kepada si korban. Pada kasus kejahatan apa pun, pihak korban tetap mendapat simpati. Seperti korban perkosaan, korban perampokan, korban tabrak lari, dan semacamnya. Kita—dengan segala kedaifan—bisa menyadari bahwa mereka korban yang memang layak mendapat simpati, bahwa peristiwa yang menimpa mereka adalah kejahatan.
Tetapi... ada jenis kejahatan “abu-abu”, yang mungkin akan membuat kita kebingungan, atau bahkan bisa jadi justru membuat kita menyalahkan si korban. Yaitu korban dalam keluarga, atau anak-anak yang menjadi korban orang tua.
Masih ingat kasus anak yang mencaci-maki orang tuanya, dan caci-maki itu viral di media sosial? Seketika, pandangan orang-orang terarah kepada si anak, dan menuduhnya durhaka, dan hampir tidak ada yang mempertanyakan “kenapa dia sampai berbuat seperti itu?” Padahal, bisa jadi, caci-maki itu sampai ditulisnya, karena dia sudah tak sanggup menahan luka yang dialami, akibat perbuatan orang tuanya. Tapi kita langsung menyalahkannya, tanpa melihat seperti apa orang tuanya.
Bagaimana jika ternyata orang tua si anak memang jahat, yang suka menyiksa dan menganiaya? Bagaimana jika si anak adalah korban kekerasan dan kejahatan orang tua, dan tidak punya siapa pun untuk mengadu, sehingga sampai mencurahkan caci-makinya dalam buku tulisnya sendiri? Bagaimana jika si anak memang korban dalam keluarganya?
Kita tidak sempat memikirkan hal-hal itu—kenapa? Karena kita telah didoktrin untuk percaya bahwa orang tua pasti baik, bahwa orang tua pasti mulia, bahwa orang tua pasti ingin anaknya bahagia, bahwa orang tua telah bekerja keras demi anaknya, bahwa tidak ada orang tua yang ingin anaknya sengsara, dan bla-bla-bla.
Mungkin memang banyak orang tua yang seperti itu, termasuk orang tuamu. Tetapi, marilah kita pahami kenyataan bahwa tidak setiap orang tua sebaik orang tuamu.
Pada waktu kelas tiga SD, saya bersama seorang kawan pergi ke pantai, dan mengumpulkan kerang yang banyak terhampar di pasir. Waktu itu, kami mengumpukan kerang cukup banyak, dan membawanya pulang. (Cerita selengkapnya di sini: Kerinduan di Pantai).
Di rumah, saya mencuci kerang-kerang itu hingga bersih, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik tebal. Karena saya tidak punya mainan sebagaimana umumnya anak kecil, saya pun menjadikan kerang-kerang itu sebagai mainan.
Suatu hari, adik saya meminta kerang-kerang itu. (Adik saya yang terbesar, perempuan, usianya cuma setahun lebih muda.) Seperti umumnya anak kecil yang mencintai mainannya, saya tidak memberikan kerang-kerang itu, dan dia berusaha menarik kantung kerang dari saya, sementara saya berusaha mempertahankan. Sambil kami saling menarik, dia menangis dan memanggil-manggil ayah kami.
Ayah kami datang. Dia marah, karena adik saya menangis. Tapi dia marah kepada saya. Dan tanpa mencari tahu apa masalahnya, dia merenggut kantung kerang itu dari kami, lalu menghantamkan kantung berisi kerang itu ke kepala saya. Setelah itu, dia menggendong adik saya, menenangkannya.
Dan saya? Saya menangis sendirian, dengan kepala berdarah.
Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun lalu, dan adik saya telah lupa. Tapi saya selalu ingat... selalu mengingatnya. Kenapa? Karena saya korban dalam peristiwa itu.
Dan kejadian semacam itu tidak hanya terjadi satu dua kali. Tapi berkali-kali, bahkan terus menerus, seiring kami beranjak besar. Kapan pun saya dan adik ribut karena masalah apa pun, selalu saya yang menjadi korban. Selalu saya yang berdarah. Selalu saya yang menangis. Gara-gara itu pula, hubungan saya dengan adik yang paling besar tidak bisa dibilang dekat, bahkan sampai sekarang.
Itu baru satu kisah.
Jika saya harus mengisahkan semua kekerasan dan kejahatan yang saya alami ketika saya tumbuh besar, mungkin hasilnya bisa menjadi sebuah buku tebal. Karena itulah, seperti yang saya tuliskan di sini, “Saya mengenal kebencian pertama kali dari orang tua saya sendiri—ketika saya mulai membenci mereka—sebagaimana saya mengenal kekerasan, egoisme, sikap negatif, dan perilaku yang buruk, juga dari mereka.”
Selama masa-masa itu, hampir setiap hari saya menangis, hampir setiap saat saya berdarah, hampir setiap waktu saya mendapat caci-maki yang akan membuat hati siapa pun terluka. Ayah saya selalu tahu cara membuat saya begitu hina, dan ibu saya selalu tahu cara membuat saya terluka... dan terluka.
Jika kalian bertanya, kenapa orang tua saya bisa begitu kejam, jawabannya di sini.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya telah dewasa, dan kembali teringat pada kisah-kisah yang terjadi di masa lalu, saya kadang merasakan kebencian yang teramat sangat pada orang tua saya sendiri. Karena merekalah yang telah merusak saya hingga sedemikian rusak... seperti yang sekarang saya alami. Kerusakan yang mereka timbulkan memang tidak tampak, karena bekas-bekas luka fisik bisa hilang. Tapi luka-luka yang tersimpan di dalam batin... tak pernah hilang.
Kini, dengan segala kedewasaan, saya menyadari bahwa diri saya tidak utuh. Ada bagian di dalam diri saya yang terluka sedemikian parah, hingga saya tidak yakin akan sembuh. Dan luka menganga itu menjadikan saya begitu sensitif, hingga luka sekecil apa pun bisa membuat batin saya menjerit.
Kadang, dengan maksud meringankan beban, saya mencoba curhat ke teman, atau orang yang saya percaya. Tetapi, bagaimana pun, mereka bukan korban—mereka tidak mengalami yang saya alami. Karenanya, mereka bisa enteng mengatakan, “Yang sudah berlalu biarlah berlalu, lupakan saja dan lanjutkanlah hidupmu.”
Omongan semacam itu memang terdengar benar dan masuk akal—oh, well, sangat masuk akal! Tapi yang saya alami tidak seremeh yang mungkin mereka bayangkan. Andai saya bisa melupakan, sudah dari dulu saya akan melupakan! Fakta bahwa sampai detik ini saya tidak bisa melupakan, karena memang tidak bisa melupakan! Tidakkah mereka menyadari kenyataan itu?
Karenanya, ada waktu-waktu ketika saya merasa begitu rapuh, dan menangis sendirian, karena menyadari tidak ada yang bisa memahami. Saya terluka sendirian, kesulitan menjelaskan kepada siapa pun, karena orang-orang lain tidak memahami... tidak mampu memahami.
Di media sosial, kadang kita menemukan “nasihat” yang terkesan benar, tapi dampaknya justru membuat batin saya merana. Misalnya, “Resep sukses terbaik adalah mencintai orang tua dan keluarga, dan bla-bla-bla...”
Nasihat itu mungkin benar—bahkan terdengar mulia—bagi mereka yang memiliki orang tua baik, yang tumbuh dalam keluarga harmonis, yang menjalani hidup dengan cinta kasih sejak kecil. Tapi nasihat itu terasa tidak relevan bagi saya. Bagaimana bisa saya mencintai orang yang telah merusak saya hingga tidak utuh sebagai manusia? Bagaimana bisa saya mencintai orang yang membuat saya mengutuk dan menyesal karena telah dilahirkan?
Tidak semua orang tua pasti sebaik orang tuamu, tidak semua keluarga pasti seharmonis keluargamu. Nasihat yang didasarkan pada kebahagiaanmu sendiri adalah nasihat yang egois, karena tidak setiap orang sebahagia hidupmu.
Memang, sebagai anak, kadang saya mencoba belajar mencintai orang tua saya, dan berusaha membahagiakan mereka. Salah satu kisah tentang hal itu bahkan pernah saya tuliskan di sini. Tetapi, bagaimana pun, saya sudah terlalu terluka. Sekuat apa pun saya berusaha mencintai orang tua, tetap luka yang saya dapat.
Kadang ada orang-orang yang bangga menulis di media sosial, “Setiap kali bertemu orang tua, aku merasa hidupku lebih tenang, dan bla-bla-bla...”
Mereka pasti orang-orang beruntung, pikir saya. Karena yang saya alami justru sebaliknya. Setiap kali bertemu orang tua, saya bukan menjadi tenang, tapi justru kehilangan ketenangan. Saya bahkan lebih tenang jika lama tidak bertemu orang tua, karena menjauhkan saya dari masalah. Bahkan sudah berusaha menjauh pun, orang tua bisa datang kapan saja, dan menimpakan masalah kepada saya.
Orang Jawa punya pepatah, “Anak polah bapa kepradah.” Artinya, kira-kira, “Jika anak membuat masalah, orang tua yang akan menanggung akibatnya.” Dalam kasus saya, pepatah itu terbalik. Justru orang tua saya yang terus membuat masalah, dan saya terus menjadi korban yang menanggung akibatnya. Sebagai pribadi, saya tidak punya masalah apa pun. Masalah saya terus datang dari orang tua, bahkan meski saya telah menjauh dari mereka.
Jadi, bagaimana bisa saya mencintai mereka?
Tidak semua orang tua pasti sebaik orang tuamu, tidak semua keluarga pasti seharmonis keluargamu. Dan tidak setiap anak seberuntung dirimu.
Kenyataan dan latar belakang inilah yang kemudian menjadikan saya gigih menentang doktrinasi perkawinan yang tidak benar, seperti “menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki”, “anak memiliki rezeki sendiri”, atau “banyak anak banyak rezeki”, dan omong kosong semacamnya. Karena saya tidak ingin ada anak-anak lain yang menjadi korban, yang mengalami penderitaan dan luka seperti yang saya alami.
Dalam perkawinan, ada rumus yang bisa dibuktikan di mana pun. Jika sepasang suami-istri menikmati kehidupan tenteram dan bahagia, anak-anak mereka juga bahagia. Sebaliknya, jika sepasang suami-istri hidup tertekan dan menderita, maka begitu pula anak-anak mereka. Fakta bahwa ada jutaan anak yang menderita, dengan jelas membuktikan bahwa tidak setiap perkawinan pasti bahagia!
Saya berbicara dan menentang doktrinasi perkawinan yang tidak benar, dari perspektif seorang korban. Sebagaimana korban perkosaan yang gigih menentang kejahatan serupa, saya menentang kejahatan yang dilatari doktrin tidak benar.
Saya tidak bisa mengubah masa lalu saya. Tetapi, sebagai korban, saya bisa memberitahu dunia, agar berhenti mengajarkan doktrin penuh dusta... agar berhenti melahirkan dan melukai anak-anak tak berdosa.