Ada yang bertanya-tanya, "Kenapa sih, sekarang banyak
orang yang meributkan pernikahan?"
Lhoh, yang mulai duluan, siapa? Dari dulu, orang-orang yang
sudah menikah merasa bebas mem-bully dan menipu orang-orang lain
yang belum menikah. Sekarang kenyataan berbalik kepada mereka.
Motivasi besar saya ketika menulis di blog, adalah untuk menuangkan kegelisahan, meringankan beban pikiran, dan bersenang-senang. Saya suka menulis diary. Dulu, sebelum ada blog, saya rutin menulis diary, menuangkan apa saja yang ingin saya ocehkan. Ketika blog muncul—dan waktu itu dikenal sebagai “diary online”—saya pun mengubah cara saya menulis diary; dari buku ke blog.
Menyadari tulisan di blog bisa dibaca siapa pun yang kebetulan menemukan, saya pun berusaha “menulis dengan baik”. Ketika menulis di buku diary, saya bisa menulis apa pun yang ingin saya tulis, segila apa pun, dan tidak ada masalah apa pun, wong buku diary hanya akan saya baca sendiri. Tetapi, ketika menulis di blog, saya tidak bisa lagi cuek seperti itu. Karena bisa jadi ada orang lain yang menemukan blog saya, dan membacanya.
Karena kesadaran itulah—selama beberapa tahun di awal ngeblog—saya berusaha menulis di blog ini dengan “moderat”, agar siapa pun bisa ikut menikmati. Saya telah menulis di blog ini sejak 2009, yang artinya sudah 9 tahun. Jika kalian buka-buka catatan lama di blog ini—antara 2009 sampai tahun-tahun setelah itu—kalian akan mendapati tulisan-tulisan yang bisa dibilang “biasa”, dalam arti tidak sefrontal sekarang.
Orang-orang yang rutin membaca blog ini sejak bertahun-tahun lalu mungkin menyadari perubahan yang terjadi. Di masa lalu, saya sangat jarang—bahkan tidak pernah—membahas perkawinan dengan cara frontal seperti sekarang. Selama masa-masa itu, saya bahkan menunjukkan sikap sebagaimana umumnya orang lain, yang sesekali membahas perkawinan dengan cara wajar dan biasa.
Jika kalian teliti, tulisan-tulisan tentang perkawinan di blog ini—khususnya yang frontal—baru terjadi 2 tahun kemarin. (Perhatikan detail waktu ini: Saya telah ngeblog selama 9 tahun. Dalam 7 tahun pertama, saya menulis biasa-biasa saja, dan baru 2 tahun terakhir saya mulai menulis tema perkawinan secara frontal.)
So, apa yang terjadi?
Sejujurnya, saya enggan menulis catatan ini, namun terpaksa, sebagai semacam klarifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa sebenarnya “biang kerok” dalam masalah ini.
Di dunia maya, ada seorang lelaki yang—beberapa tahun kemarin—sangat aktif di internet. Dia punya beberapa blog, juga punya beberapa media sosial, dan hobi memprovokasi orang lain agar cepat kawin, sekaligus bersikap merendahkan orang-orang yang tidak/belum menikah. Karena kelakuannya yang sangat memuakkan—dan doyan ngibul—mari kita sebut dia Si Doyan Ngibul.
Di blog, dia banyak menulis tentang pernikahan yang semua intinya adalah mengajak siapa pun agar cepat kawin. Kenyataannya, dia memang sudah kawin, dan punya satu anak yang masih kecil. Dia sangat hobi memprovokasi orang lain agar cepat kawin, dan dia menggunakan segala dalih, alasan, sampai menyitir ayat-ayat suci yang ia tafsirkan dengan kendangkalan otaknya sendiri. Seiring dengan itu, dia juga suka mengejek atau merendahkan orang lain yang tidak/belum kawin.
Sebenarnya, di internet juga ada—bahkan relatif banyak—orang yang sering membahas perkawinan, tapi mereka melakukannya dengan moderat. Dalam arti, mereka mengajarkan apa itu perkawinan, memberi bekal pengetahuan pada orang-orang yang belum/akan menikah, dan semacamnya. Untuk orang-orang semacam itu, bisa dibilang tidak masalah. Pengetahuan yang mereka sampaikan bahkan bisa bermanfaat bagi orang lain yang belum/akan menikah.
Tapi berbeda dengan orang ini, Si Doyan Ngibul. Dia sangat suka menyinyiri orang lain yang tidak/belum menikah, bahkan cenderung mengejek atau merendahkan. Kenyataan itu sangat tampak dalam tulisan-tulisannya di blog atau akun Facebook-nya. Dia tipe orang sok pintar yang biasa kita temukan—orang yang suka ngurusin selangkangan orang lain, sembari menganggap rendah orang yang belum menikah.
Setiap kali menemukan orang yang hobi nyinyir menyuruh orang lain cepat kawin, apalagi dengan nada merendahkan, saya selalu yakin bahwa orang itu tidak bahagia. Itu rumus psikologi yang bisa dibuktikan dengan tingkat ketepatan serupa matematika. Rumus dasarnya sederhana, “Orang yang bahagia—benar-benar bahagia—tidak punya keinginan mengusik orang lain sambil meninggikan diri.”
Kalau kau benar-benar bahagia, kau akan bahagia—titik. Dan kau tidak akan peduli orang lain menganggapmu bahagia atau tidak. Karenanya, kalau kau berusaha membuktikan bahwa kau bahagia (dengan cara apa pun), dan berharap orang lain percaya bahwa kau bahagia, maka artinya kau tidak bahagia. Sekali lagi, itu rumus psikologi yang bisa dibuktikan dengan tingkat ketepatan eksakta.
Jadi, ketika melihat siapa pun menyinyiri orang-orang lain agar cepat kawin, agar “bisa bahagia seperti dirinya”, saya pun langsung tahu bahwa dia tidak bahagia. Banyak pasangan di sekitar kita yang benar-benar bahagia dalam rumah tangganya, dan mereka santai saja melihat orang lain mau kawin atau tidak. Karena mereka memang orang-orang bahagia. Dan orang bahagia tidak punya keinginan mengusik orang lain.
Kembali pada Si Doyan Ngibul. Seperti yang disebut tadi, dia sangat aktif memprovokasi orang-orang lain agar cepat kawin seperti dirinya, dengan dalih kebahagiaan dan tetek bengek seperti yang biasa kita dengar. Di Facebook, dia juga suka memosting fotonya bersama pasangan, sambil menambahkan kalimat “yang jomblo jangan baper, ya” dan semacamnya.
Jadi, orang ini benar-benar tidak bahagia. Sebegitu tidak bahagia, sampai dia mati-matian menunjukkan kalau dia bahagia bersama pasangannya. Sebegitu tidak bahagia, sampai dia berusaha mati-matian membuktikan kalau dia bahagia.
In fact, apakah dia benar-benar bahagia di dunia nyata?
Jawabannya tidak!
Kenyataan itu sangat mudah dibuktikan. Tulisan—dan apa pun yang dibagikan atau diminati seseorang di dunia maya—adalah refleksi kehidupannya di dunia nyata.
Di Facebook, misalnya, dia pernah meng-copas tulisan saya yang ini. Dalam tulisan itu, saya mengilustrasikan dilema laki-laki yang telah punya istri, bahwa seorang suami kerap tertekan akibat tuntutan istrinya. Saya tersenyum sendiri waktu itu. Di antara banyak tulisan saya di blog, justru tulisan itu yang dia share di Facebook (tentu dengan harapan istrinya membaca tulisan tersebut). Itu seperti pengakuan terang-terangan, kalau dia sebenarnya tertekan dalam pernikahannya.
Di blognya, dia mengatakan bahwa menikah akan membuat bahagia dan lancar rezeki, dan tetek bengek lainnya. Tetapi, dia juga tidak malu menulis catatan yang isinya secara jelas mengatakan bahwa “jika istri ingin dihormati suaminya, istri juga harus bekerja mencari nafkah”.
Konyol, eh? Sangat!
Dia menyuruh dan memprovokasi orang-orang agar segera menikah, bahkan menyuruh agar cepat menikah tanpa menunggu mapan, karena katanya menikah adalah ajaran agama. Tetapi, dia juga mengatakan, “jika istri ingin dihormati suami, istri juga harus bekerja mencari nafkah”.
Itu benar-benar egois dan seenaknya sendiri!
Kalau menyuruh orang lain cepat menikah dengan dalih agama, terima juga ajaran agama bahwa mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Bukan tanggung jawab istri!
Kalau benar-benar menggunakan ajaran agama, seorang suami wajib—sekali lagi, wajib—menafkahi istri secara layak. Karena bersifat wajib, maka seorang suami berdosa kalau tidak memberi hak istri (nafkah yang layak). Kalau tidak memberi nafkah layak saja sudah berdosa, apalagi menyuruh istri mencari nafkah sendiri dengan dalih “agar dihormati suami”?
Jadi, orang ini menyuruh dan memprovokasi orang lain agar cepat kawin tanpa menunggu mapan, dengan alasan agama. Tetapi, seiring dengan itu, dia menyuruh pihak istri untuk bekerja dan mencari nafkah sendiri. Itu benar-benar standar ganda yang bangsat sekaligus menyesatkan!
Agama memang mengimbau orang menikah. Tetapi, di saat sama, agama juga mewajibkan suami memberi nafkah yang layak untuk istri! Artinya, secara tak langsung, agama mengimbau agar menikah setelah mapan, meski definisi “mapan” bisa relatif. Dengan kata lain, kalau kau hanya punya selangkangan—dan menjalani hidup juga masih kerepotan—mending bekerja dan membangun hidupmu lebih dulu, dan bukan buru-buru kawin!
Jangan diambil enaknya sendiri! Giliran nyuruh orang lain kawin, pakai dalih agama. Giliran mencari nafkah, pakai dalih selangkangannya sendiri.
Kalau memang mau mengikuti ajaran agama, perhatikan ini: Agama hanya mengimbau orang menikah. Tetapi, agama mewajibkan suami memberi nafkah layak untuk istri. Hukum dasar pernikahan, dalam agama, hanya sunah. Tapi hukum menafkahi istri, itu wajib!
Menikah hanya sunah. Kau lakukan, itu bagus. Tidak kaulakukan, juga tidak apa-apa. Tetapi, begitu kau menikah, kau wajib menafkahi keluarga, istri dan anak. Kalau kau tidak melakukannya, kau berdosa! Sudah paham, sekarang?
Karenanya, saya benar-benar prihatin melihat orang-orang yang hobi memprovokasi orang lain cepat kawin, bahkan mengatakan “tidak perlu menunggu mapan” seolah modal kawin cuma selangkangan. Itu, dalam perspektif saya, salah satu bentuk manipulasi ajaran agama.
Menikah memang ajaran agama. Tetapi, ajaran pernikahan tidak berdiri sendiri, karena agama melengkapinya dengan kewajiban, yang salah satunya adalah kewajiban menghidupi keluarga, istri, dan anak-anak.
Karenanya, kalau memang ingin memberi imbauan pada yang masih lajang agar menikah, nyatakan imbauan itu secara jujur, misal: “Menikah memang tampak menyenangkan, karena kau memiliki pasangan yang menemanimu dalam hidup. Tetapi, ingatlah, kau juga punya kewajiban di dalam pernikahan, yang bisa jadi tidak selalu enak. Karena agama memang mengimbau agar kau menikah, tapi agama juga mewajibkanmu memberi nafkah yang layak. Karenanya pula, sebelum menikah, pastikan kau memahami kenyataan itu, agar kau bisa menunaikan kewajibanmu dengan baik.”
Bukankah nasihat semacam itu lebih baik, bahkan lebih mulia, daripada ngibul dan mengiming-imingi selangkangan?
Kembali ke Si Doyan Ngibul. Selain hobi berceramah tentang perkawinan dengan dalil-dalil yang ia tafsirkan seenaknya, dia juga punya kecenderungan merendahkan orang yang tidak/belum menikah. Dalam artikel di blognya, misal, dia mengilustrasikan orang yang ingin mapan lebih dulu sebelum menikah, lalu mengakhiri tulisannya dengan kalimat, “Kalau pun kau sudah mapan, memangnya siapa yang akan mau menikah denganmu, kalau umurmu sudah tergolong tua?”
Dangkal, eh? Sangat!
Dalam artikel lain, dia bahkan menyebut orang yang tidak/belum menikah sebagai “masalah sosial”. Karena itu, menurutnya, masyarakat pun kerap menyuruh orang-orang cepat menikah, karena orang yang belum menikah adalah—menurutnya—“tanggung jawab masyarakat”.
Ocehan tolol apa itu?
Jadi, orang ini tampaknya sangat tertekan dan tidak bahagia dalam pernikahannya sendiri. Sebegitu tertekan dan tidak bahagia, sampai dia berusaha keras menunjukkan dirinya bahagia, yang salah satunya dengan cara merendahkan orang lain. Tetapi, karena tolol, dia berkali-kali “keceplosan” dengan menunjukkan kalau sebenarnya hidupnya keblangsak, jauh dari “kebahagiaan dan ketenteraman” sebagaimana yang ia ceramahkan.
Sebagai contoh, dia sangat hobi ngoceh tentang berbagi—berbuat baik kepada orang lain—bahkan dia memanfaatkan hak milik orang lain yang ia jual dengan dalih “berbagi”. Seiring dengan itu, dia membual tentang bisnis online yang dijalankannya, dan siapa pun yang tertarik bisa ikut kursus dengannya. Gratis? Tidak! Berdasarkan tulisannya sendiri di blog, dia mematok tarif Rp500 ribu atau setengah juta rupiah per orang. Oh, well, berbagi!
Masih terkait ocehan berbagi dan berbuat baik, dia juga mengaku mengumpulkan anak-anak miskin yang—menurutnya—akan dididik menjadi wirausahawan. Belakangan, di blognya sendiri, terungkap bahwa “wirausaha” yang ia ajarkan pada anak-anak itu adalah menjual es atau entah apa di jalan-jalan, yang bahkan tampak seperti bentuk eksploitasi.
Masih terkait anak-anak itu, semula dia mengatakan bahwa biaya pembinaan yang digunakan untuk mendidik anak-anak tersebut berasal dari kantong sendiri (dia dan beberapa teman). Belakangan, di blognya sendiri, dia “ngemis” dengan meminta agar orang-orang (para pembaca blognya) membantu dia dengan cara “menyisihkan 50 ribu rupiah per bulan” untuk dia gunakan membiayai anak-anak didiknya.
Uraian ini, jika saya teruskan, masih panjang, dan akan mengungkap sekian banyak ketidakberesan orang ini. Karena itu pula, pantas kalau dia hobi berceramah tentang pernikahan dengan dalil-dalil agama, meski ia tafsirkan seenaknya, berdasarkan kedangkalan dan ketololannya sendiri. Karena faktanya yang ia miliki hanyalah perkawinan, jadi dia mengeksploitasinya sedemikian rupa, agar orang-orang terperdaya.
Orang inilah yang membuat saya sangat marah, hingga akhirnya memutuskan untuk secara frontal melawan bualan-bualan sesatnya, khususnya terkait perkawinan.
Sejak itu pula—sejak saya menulis rangkaian catatan terkait perkawinan yang secara frontal menyerang bualan-bualannya—dia menghilang, dan tidak lagi menunjukkan diri. Di blog maupun di media sosial, dia sudah menghilang.
Di dunia maya, ada banyak orang baik yang polos dan jujur. Sayangnya, di dunia maya juga ada bangsat-bangsat yang tega memanipulasi orang-orang lain yang baik dan polos, demi keuntungan dan kepuasannya sendiri.
Sebenarnya, secara pribadi, saya tidak peduli orang lain mau menikah atau tidak. Persetan, itu urusan dan pilihan mereka sendiri, dan mereka pula yang akan menjalani.
Tetapi, kalau kau mengejek, menghina, atau merendahkan orang lain hanya karena mereka tidak/belum menikah, kau sedang mencari masalah. Sebagaimana kau tidak ingin dihina atau direndahkan dengan alasan apa pun, orang lain juga sama. Sebagaimana kau tidak ingin orang lain memaksakan pilihannya kepadamu, orang lain juga tidak ingin kau memaksakan pilihanmu kepada mereka.
Sudah punya hidup (dan selangkangan) sendiri-sendiri, tapi malah ngerusuhi hidup (dan selangkangan) orang lain!