Stay Hungry. Stay Foolish.
—Steve Jobs
Steve Lohr dan Steve Jobs berteman akrab. Steve Lohr adalah wartawan New York Times. Sementara Steve Jobs, kita tahu, tokoh di bidang teknologi yang mendirikan perusahaan Apple. Pertemanan mereka dimulai karena seringnya bertemu. Steve Lohr kerap ditugaskan koran tempatnya bekerja untuk mewawancarai Steve Jobs, dan pertemuan demi pertemuan itu akhirnya mendekatkan mereka.
“Kapan-kapan kau harus naik mobilku,” ujar Steve Jobs suatu kali.
Steve Jobs punya mobil kesayangan, sebuah Porsche berwarna abu-abu. Pada akhir November 1996, Steve Lohr akhirnya benar-benar menaiki mobil itu, ketika Jobs mengajaknya jalan-jalan di San Francisco. Mereka bercakap-cakap sepanjang perjalanan, dan Steve Jobs banyak bercerita. Steve Lohr tahu, si genius itu sedang berbunga-bunga.
Waktu itu, Steve Jobs baru kembali ke Apple, setelah beberapa waktu sebelumnya dipecat dari perusahaan tersebut. Kisah pemecatan itu sebenarnya ironis. Jobs adalah pendiri Apple, tapi belakangan dia dipecat dari Apple. Kehidupan para genius tampaknya memang ironis, begitu pula Steve Jobs. Belakangan, setelah beberapa tahun dipecat dari Apple, Steve Jobs kembali ditarik ke Apple, dan kembali bekerja di perusahaan yang ia dirikan.
Jadi, ketika menikmati perjalanan bersama Steve Lohr waktu itu, Jobs sedang berbunga-bunga, karena akhirnya bisa kembali bekerja di Apple, tempat yang sangat dicintainya. Pada waktu itu pula, Jobs banyak membicarakan visinya untuk Apple, dan keinginannya untuk membesarkan Apple. Selama acara jalan-jalan itu, bisa dibilang Jobs terus berbicara, sementara Lohr terus mendengarkan. Jobs bahkan tidak hanya membicarakan Apple, tapi juga diri dan keluarganya.
“Segala hal ia ceritakan,” ujar Lohr, mengisahkan peristiwa itu.
Meski begitu, Steve Jobs tidak sedikit pun mau menceritakan keluarga aslinya. Padahal, semua orang tahu, Steve Jobs sebenarnya “cuma” anak angkat pasangan suami istri Paul dan Clara Jobs. Mereka bukan orang tua kandungnya, karena Steve Jobs adalah anak adopsi. Jadi, mengapa Steve Jobs menutup mulut rapat-rapat terkait hal itu?
Jawabannya adalah ironi—sesuatu yang kerap mengiringi kehidupan para genius—yang dimulai sebelum kelahiran Steve Jobs.
....
....
Beberapa tahun sebelum kelahiran Steve Jobs, sebuah cinta bersemi di University of Wisconsin, Amerika Serikat. Kisah cinta itu melibatkan Abdulfattah Jandali, seorang pria muslim asal Suriah, dan Joanne Schieble, warga asli Amerika. Dua orang itu bertemu di University of Wisconsin, karena menjadi mahasiswa di sana. Waktu itu, Abdulfattah Jandali dan Joanne Schieble sama-sama berusia 23, dan sedang kuliah untuk mendapatkan gelar master.
Mereka saling jatuh cinta. Dari hubungan romantis itu, Joanne Schieble hamil, dan kisah yang rumit dimulai.
Dalam keterangan yang ditulis Saudi Gazette, Abdulfattah Jandali mengaku berencana menikahi Joanne Schieble. Tetapi, ayah Schieble sangat konservatif, dan enggan memiliki menantu seorang imigran. Karena tentangan sang ayah pula, Joanne Schieble tidak bisa menikah dengan Abdulfattah Jandali.
Lalu bagaimana dengan anak yang dikandungnya?
Setelah sang anak lahir, Jandali dan Schieble bersepakat untuk menyerahkan anak yang belum diberi nama itu kepada keluarga yang ingin mengadopsi. Pada waktu itu, ada dua keluarga yang hendak mengadopsi anak mereka. Pertama adalah pasangan pengacara. Namun, pasangan itu akhirnya mengurungkan niat mengadopsi, setelah tahu itu anak laki laki. Mereka berencana mengadopsi anak perempuan.
Pasangan kedua—yang juga berencana mengadopsi anak—adalah suami istri sederhana. Jandali maupun Schieble kurang cocok dengan pasangan ini, karena mereka tidak mengenyam pendidikan. Namun, Schieble akhirnya mau menyerahkan anak tersebut kepada mereka, dengan syarat mereka mampu menyekolahkan anak yang mereka adopsi hingga kuliah.
Pasangan itu setuju, dan anak Jandali-Schieble akhirnya diadopsi oleh mereka. Nama pasangan itu adalah Paul dan Clara Jobs.
Bersama merekalah, kehidupan anak tanpa nama itu dimulai. Paul dan Clara memutuskan memberi nama Steven Paul untuk anak tersebut. Karena berada di keluarga Jobs, nama lengkapnya menjadi Steven Paul Jobs.
Bocah laki-laki yang kemudian akrab dipanggil Steve Jobs itu lalu tumbuh bersama orang tua angkatnya, Paul dan Clara. Sementara Abdulfattah Jandali dan Joanne Schieble memutuskan untuk berpisah, karena tidak ada restu dari orang tua Schieble.
Beberapa waktu setelah mereka berpisah, ayah Schieble meninggal. Jandali dan Schieble kembali menjalin hubungan, karena kini tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Maka mereka pun menikah, dan melahirkan anak perempuan bernama Mona. Ketika Mona berusia 4 tahun, hubungan Jandali dan Schieble kembali retak. Waktu itu, Jandali memutuskan kembali ke Suriah untuk mengejar karier di pemerintahan.
Schieble, yang tidak ingin ditinggal dan juga tidak ingin pindah ke Suriah, akhirnya memutuskan bercerai. Setelah itu, ia menikah lagi dengan George Simpson, dan mengubah namanya menjadi Joanne Simpson. Begitu pula Mona, anaknya, menjadi Mona Simpson. Sejak itu, Abdulfattah Jandali lenyap dari kehidupan mereka, dan tinggal di Suriah.
Waktu-waktu berlalu.
Steve Jobs terus tumbuh bersama orang tua angkatnya. Sedari kecil, Steve Jobs tahu dia hanya anak angkat pasangan Paul dan Clara, dan kenyataan itu menyakiti perasaannya. Dia merasa menjadi anak yang tak diinginkan orang tua kandungnya. Lebih dari itu, teman-temannya kerap mengejek dan menghinanya sebagai anak yang dibuang. Di masa-masa menyedihkan itu, Paul—ayah angkatnya—kerap membesarkan hatinya, sementara Clara melimpahkan kasih sedemikian besar.
Sebagaimana yang dulu dijanjikan, pasangan Paul dan Clara juga berupaya menyekolahkan Steve Jobs sampai perguruan tinggi.
Sebenarnya, itu bukan hal mudah. Paul dan Clara menjalani kehidupan sederhana, dengan kondisi pas-pasan. Namun mereka benar-benar bekerja keras demi memenuhi janji pada orang tua kandung Steve Jobs, dan memastikan bocah laki-laki itu bisa kuliah. (Belakangan, kenyataan itu pula yang tampaknya menjadikan Steve Jobs sangat mencintai orang tua angkatnya, dan enggan menyebut orang tua kandungnya.)
Yang jelas, upaya dan kerja keras pasangan Paul-Clara untuk menyekolahkan Steve Jobs sampai tinggi, tidak sia-sia. Karena akhirnya dunia menyaksikan, bocah lelaki itu menjadi salah satu genius yang melakukan revolusi di bidang teknologi, dan mendirikan salah satu perusahaan paling berpengaruh di dunia.
Di puncak kejayaannya, Steve Jobs berusaha melacak keberadaan orang tua kandungnya. Diam-diam, dia menyewa detektif swasta untuk mencari keberadaan ayah dan ibunya. Upaya itu berhasil. Steve Jobs diberitahu bahwa ayah kandungnya, Abdulfattah Jandali, kini bekerja di sebuah restoran di California.
Steve Jobs datang ke sana, dan bertemu langsung dengan ayah kandungnya, bersalaman dengannya, bahkan sempat bercakap-cakap, tapi tidak pernah mengatakan bahwa dia anaknya.
Abdulfattah Jandali tahu siapa Steve Jobs, tokoh terkenal di bidang teknologi yang mendirikan perusahaan Apple. Tapi dia tidak tahu bahwa bocah itu anak kandungnya. (Kelak, bahkan sampai meninggal dunia, Steve Jobs tetap tidak mau bertemu ayah kandungnya.)
Lalu bagaimana dengan Mona, adik kandung Steve Jobs?
Mona tumbuh besar bersama ibu kandung dan ayah tirinya. Sebagaimana kakaknya, Mona tumbuh menjadi wanita cerdas, dan menjadi salah satu penulis terkenal Amerika. Buku pertamanya, Anywhere but Here, menjadi bestseller di AS. Berkat buku itu pula, hubungan Steve Jobs dan keluarga aslinya terkuak. Dari situ, Steve Jobs menyadari, Mona Simpson sebenarnya adik kandungnya.
Sampai di sini, semuanya mungkin tampak manis dan baik-baik saja. Sayangnya tidak. Steve Jobs bukan tipe genius-kutubuku-pendiam yang tidak banyak tingkah. Sebaliknya, dia pribadi “berandalan” yang mudah meledak.
Ketika tumbuh dewasa, kebiasaannya meledak-ledak bahkan tidak hilang—dia sering mengamuk di kantor, memaki siapa pun di saat rapat, atau di mana pun, dan kenyataan itu sudah jadi rahasia umum di Apple. (Salah satu alasan kenapa dia sampai dipecat dari Apple, kemungkinan karena kepribadiannya yang dianggap “mengerikan”).
Pada waktu SMA, Steve Jobs juga membuat masalah—khas bocah berandal. Selain doyan mengonsumsi LSD, dia juga menghamili pacarnya, Chrisann Brennan, tapi tidak mau tanggung jawab. Dia bahkan menyatakan bahwa anak yang dikandung Chrisann bukan anaknya. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan 1977, dan Chrisann kemudian melahirkan anaknya pada 1978—seorang anak perempuan yang ia beri nama Lisa Brennan-Jobs, meski Steve Jobs tetap tidak mengakui itu anaknya.
Karena Jobs tidak mau mengakui itu anaknya, Chrisann pun membesarkan Lisa sendirian. Belakangan, pengadilan akhirnya memerintahkan tes darah, yang hasilnya membuktikan bahwa Lisa adalah (memang) anak Steve Jobs. Apakah Jobs kemudian legawa, dan menerima kenyataan itu? Tidak.
Steve Jobs baru mau menerima kehadiran Lisa, dan mengakui sebagai anaknya, setelah Lisa tumbuh remaja. Kepada majalah Vogue, Lisa menceritakan, dia tinggal bersama ayahnya selama beberapa tahun. Setelah itu, Lisa Brennan-Jobs menjalani hidupnya sendiri, setelah lulus dari Harvard University, dengan menjadi wartawan dan penulis.
Dalam wawancara di Vogue pada 2008, Lisa menyatakan, “Di California, ibu membesarkan saya hampir sendirian. Kami tidak memiliki banyak hal, tetapi dia hangat, dan kami bahagia. Kami sering berpindah. Mengontrak. Ayah saya (Steve Jobs) kaya dan terkenal... dan ketika saya kenal dia, (kami) pergi berlibur bersama, dan tinggal bersamanya selama beberapa tahun. Saat itu, saya melihat dunia lain, yang lebih glamor.”
Steve Jobs mengakui Lisa sebagai putrinya, namun tidak menerima kehadiran Chrisann, wanita yang melahirkan putrinya.
Pada 1989, Steve Jobs diundang berbicara di Stanford University. Pada waktu itulah dia bertemu Laurene Powell, yang kemudian menjadi istrinya. Bersama Laurene, Steve Jobs memiliki tiga anak; Eve, Erin, dan Reed. Kisah selanjutnya adalah hal-hal yang telah diketahui dunia.
....
....
Satu bulan setelah jalan-jalan naik Porsche abu-abu bersama Steve Jobs, Steve Lohr menulis di New York Times, “... dia selalu tertutup membicarakan keluarga kandungnya. Namun, tidak bisa diragukan lagi upaya Steve Jobs menemukan mereka kembali. Dia tidak pernah menyerah, mencari siapa orang tua sesungguhnya, atau pun saudaranya.”