Di YouTube, orang Indonesia dan orang Malaysia disatukan
oleh cinta yang sama. Lagu yang sama-sama disuka.
Ada suatu masa ketika Indonesia dan Malaysia saling cinta dan saling mendengarkan, yaitu pada era 1990-an. Di masa itu, terjadi pertukaran budaya antara Indonesia dan Malaysia sebagai bangsa serumpun. Malaysia mengenalkan lagu-lagu mereka ke Indonesia, dan negeri kita juga mengenalkan lagu-lagu Indonesia ke Malaysia. Hasilnya adalah proses akulturasi yang mengagumkan.
Anak-anak ‘90-an pasti mengenal “lagu sejuta umat” berjudul “Mencari Alasan” yang dinyanyikan Exist, grup musik Malaysia. Lagu itu sangat... sangat terkenal, hingga mungkin semua orang yang hidup pada masa itu hafal atau setidaknya mengenal lagu tersebut. Bahkan sampai sekarang pun, reffrain lagu itu masih terkenal.
Manis di bibir, memutar kata
Malah kau tuduh akulah segala penyebabnya
Siapa terlena pastinya terpana
Bujuknya, rayunya, suaranya
Yang meminta simpati dan harapan
Saya menyebut “akulturasi” pada paragraf di atas, karena memang itulah yang sebenarnya terjadi. Ketika lagu-lagu Malaysia dibawa masuk ke Indonesia, lagu-lagu itu tidak disuguhkan mentah-mentah pada rakyat Indonesia, melainkan “dipoles” terlebih dulu, agar lebih sesuai dengan “bahasa” Indonesia.
Meski satu rumpun (Melayu), Malaysia “lebih Melayu” dibanding Indonesia. Mereka lebih akrab dan lebih banyak menggunakan kata atau istilah Melayu, dibandingkan kita. Karenanya, agar lagu-lagu Malaysia bisa diterima masyarakat Indonesia, ada banyak kata atau kalimat dalam lagu-lagu itu yang diubah terlebih dulu, agar lebih “Indonesiawi”. Hasilnya, seperti yang kemudian kita terima, lagu-lagu itu benar-benar sesuai telinga (atau bahasa) kita.
Sebagai contoh, lagu Exist di atas. Judul asli lagu itu sebenarnya “Alasanmu”, dan di dalam lagu itu terdapat serangkaian kata yang sangat Melayu. Saat dibawa masuk ke Indonesia, judul lagu itu diubah, dan rangkaian kata yang sangat Melayu juga diubah dengan rangkaian kata yang lebih akrab dengan telinga Indonesia. (Jika ingin membuktikan uraian ini, cobalah cari lagu “Alasanmu” dan “Mencari Alasan” di YouTube, lalu dengarkan satu per satu dengan cermat. Meski sama-sama dinyanyikan Exist, dengan video klip sama, ada bagian lirik lagu yang memiliki perbedaan sangat mencolok.)
Dan hal semacam itu tidak hanya terjadi pada lagu “Mencari Alasan”. Hampir semua lagu Malaysia yang masuk ke Indonesia akan dipoles terlebih dulu oleh komposer dan pengarang lagu Indonesia, agar hasilnya benar-benar sesuai telinga orang Indonesia. Bukan hanya kata atau kalimat, bahkan nada lagu pun kadang diubah, agar hasilnya pas dengan penikmat musik Indonesia. Misal, nada lagu aslinya rendah. Bisa jadi, saat dibawa masuk ke Indonesia, akan diubah menjadi nada tinggi.
Praktik yang terjadi, biasanya, komposer dan pengarang lagu Indonesia akan mempelajari lagu Malaysia yang akan diedarkan di Indonesia. Mereka akan mencermati keseluruhan lagu tersebut, khususnya pada lirik dan nada lagu. Jika ada bagian yang perlu “direvisi”, mereka akan melakukan revisi—entah pada bagian lirik atau bagian nada. Setelah revisi dianggap fixed, mereka akan membicarakannya dengan musisi Malaysia bersangkutan, lalu si penyanyi akan membuat rekaman baru di Indonesia dengan konsep yang disodorkan komposer Indonesia.
Lagunya masih sama, musiknya masih sama, tapi ada revisi pada bagian tertentu lagu tersebut, yang dimaksudkan agar lebih bisa dinikmati telinga orang Indonesia.
Contoh lagu yang mengalami perubahan nada adalah “Pahit Kutelan Jua” milik grup Uk’s. Dalam versi Malaysia, reffrain lagu itu menggunakan nada rendah. Tetapi, dalam versi Indonesia, nada pada bagian reffrain diubah menjadi tinggi. (Sekali lagi, jika ingin membuktikan uraian ini, cari dua lagu tersebut—versi Indonesia dan Malaysia—lalu cermati satu per satu, khususnya pada bagian reffrain.)
Hampir semua lagu Malaysia yang masuk Indonesia menjalani proses semacam itu. Artinya, lagu-lagu itu tidak dibawa masuk ke Indonesia dan disuguhkan pada penikmat musik secara mentah-mentah. Tanpa ada revisi, kemungkinan telinga kita (mayoritas penikmat musik Indonesia) akan sulit untuk bisa menerima lagu-lagu Malaysia. Persoalannya itu tadi; Malaysia “lebih Melayu” dibanding kita.
Itulah yang saya sebut akulturasi. Malaysia mengenalkan budaya mereka, dan kita memolesnya dengan “soul” Indonesia, agar lebih mudah diterima.
Jika kita mempelajari lebih jauh, proses akulturasi itu—yang sangat tampak dalam bentuk populernya lagu-lagu Malaysia di Indonesia—bahkan tidak semudah yang saya uraikan di sini. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Indonesia dan Malaysia untuk saling bertukar budaya—dalam hal ini bertukar lagu—dan prosesnya dimulai sejak era 1980-an.
Pada era 1980-an, stasiun televisi pemerintah Indonesia dan Malaysia bersama-sama membuat acara yang dimaksudkan untuk saling mengenalkan diri. Acara itu disebut “Titian Muhibah”. Itu zaman ketika Indonesia cuma punya TVRI, belum ada televisi swasta seperti sekarang.
Titian Muhibah adalah acara semacam teleconference antara stasiun televisi di Indonesia dengan stasiun televisi di Malaysia. Ada dua penyiar (laki-laki dan perempuan) di stasiun televisi masing-masing negara, dan mereka saling bercakap ramah menggunakan bahasa dan logat masing-masing. Karena menggunakan bahasa serumpun, mereka (dan para penonton) bisa saling memahami.
Di antara percakapan-percakapan tersebut, masing-masing negara menyuguhkan budaya mereka—tarian, lagu, dan semacamnya. Karenanya, dengan menonton Titian Muhibah, orang Indonesia mulai mengenal budaya Malaysia, sebagaimana orang Malaysia mulai mengenal budaya Indonesia. Dan acara itu berlangsung secara rutin, hingga akhirnya menjadi kegemaran masyarakat Indonesia. (Untuk ukuran zaman itu, Titian Muhibah adalah acara yang spektakuler.)
Setelah proses saling kenal berlangsung baik, dan masyarakat di masing-masing negara mulai bisa menerima budaya—khususnya musik—negara tetangga, lalu dimulailah “ekspor-impor” budaya dalam bentuk album musik. Album musisi Malaysia pertama yang diperkenalkan ke penikmat musik Indonesia adalah Search, yang lagunya kemudian sangat populer. Ya, anak ’90-an pasti kenal lagu itu. Judulnya Isabella.
Search dipilih sebagai “pembuka jalan” bagi Malaysia untuk memasuki Indonesia, karena pada masa itu Search merupakan grup papan atas—mirip God Bless di Indonesia. Dan hasilnya benar-benar memuaskan. Lagu Isabella segera populer di Indonesia. Anak SD, sampai penjual sayur, sampai sopir metromini, sampai guru sekolah, sampai pegawai bank, sampai tukang cukur, hafal lagu itu. Isabella bahkan menjelma lagu abadi yang dinyanyikan dari masa ke masa.
Dan, sejak itu, akulturasi dalam skala besar-besaran dimulai.
Sejak itu pula, kita di Indonesia mengenal Exist, Slam, Uk’s, Iklim, Wings, sampai Lestari, Sting, Umbrella, Kriket, dan lain-lain. Ada juga penyanyi-penyanyi solo Malaysia yang sama populer di Indonesia masa itu, misalnya Iwan, Aishah, Shima, Rudiath, dan Rahmat. Sementara Indonesia “mengekspor” Nike Ardilla, Inka Christie, Nicky Astrea, Base Jam, Stinky, Five Minutes, sampai Sheila On7 dan DEWA.
Era ’90-an adalah masa-masa penuh cinta antara Indonesia dan Malaysia, dan hubungan yang manis itu berlangsung hingga satu dekade. Titian Muhibah, acara yang mengawali semua itu, sudah tidak ada, bahkan telah dilupakan. Tapi acara itu telah menciptakan gelombang pasang yang lama surut. Selama masa-masa itu pula, para musisi Indonesia dan Malaysia tanpa henti mencetak grup dan penyanyi baru, menciptakan lagu-lagu baru, hingga dekade itu para penikmat musik di dua negara benar-benar dimanjakan.
Pada masa itu pula, di Malaysia muncul musisi dan pencipta lagu fenomenal (sekaligus misterius) bernama Saari Amri—bocah mantan pelayan toko yang berubah menjadi sosok berpengaruh di balik layar industri musik Malaysia. Dia hanya lulusan SD, tapi telah menciptakan 600-an lagu, mengaransemen ratusan musik, bahkan belakangan ditunjuk menjadi guru menyanyi Andy Lau! Di Malaysia, nama Saari Amri lebih populer dibanding penyanyi populer mana pun di sana, meski sosoknya tak pernah terlihat.
Ketika musik Malaysia mengalami booming di Asia, khususnya di Indonesia, Saari Amri menjadi sosok penting. Karena melalui dirinyalah, lahir grup-grup yang kemudian sangat terkenal, album-album musik yang laris terjual, dan tak terhitung banyaknya lagu yang dihafal jutaan umat manusia. Saari Amri menciptakan lagu-lagu hit, dan penyanyi mana pun yang menyanyikan lagunya bisa dipastikan akan terkenal. Jika kita teliti satu per satu, sekitar 60 persen lagu Malaysia yang kita kenal adalah ciptaan Saari Amri!
Memasuki era 2000-an, gelombang besar itu mulai surut. Penetrasi lagu-lagu Malaysia ke Indonesia mulai melemah. Ada beberapa hal yang mempengaruhi hal itu, namun salah satu penyebab paling penting adalah bubarnya grup-grup musik Malaysia yang populer pada masa itu.
Sebagai contoh, mari kita mulai dari Exist. Orang-orang Indonesia sangat kenal Exist, bahkan lagunya—sebagaimana disebut di atas—dihafal jutaan orang. Tapi siapakah nama vokalis Exist? Kemungkinan besar kita lupa, atau bahkan tidak tahu sama sekali.
Vokalis Exist bernama Ezad. Nama lengkapnya Mohd Rohaizad Mohd Lazim. Ezad inilah yang menyanyikan lagu “Mencari Alasan”. Usai merilis beberapa album, Ezad mengundurkan diri dari Exist, karena menikah. Setelah ditinggal Ezad, Exist mendapat vokalis baru, bernama Mamat. Nama aslinya Mohd Ali Kamarudin.
Mamat memiliki karakter vokal mirip Ezad, dan faktor itu pula yang memungkinkan Exist tetap mampu menjadi grup musik terkenal. Bersama Mamat, Exist menghasilkan beberapa album, satu yang paling terkenal bertitel “Mengintip dari Tirai Kamar” (di Indonesia, titel itu diubah menjadi “Buih Jadi Permadani”). Mendengarkan suara Mamat bisa dibilang tak berbeda dengan mendengarkan suara Ezad—sama-sama mudah dikenali sebagai vokalis Exist, karena karakter vokal mereka sangat mirip.
Sampai kemudian, Mamat tersandung kasus, dan harus mendekam di penjara beberapa tahun (kasusnya mirip Ariel). Di titik itu, Exist goyah. Dalam kegoyahan tersebut, mereka berupaya mendapatkan vokalis baru, dan ketemulah Joey. Nama aslinya Zulkifli Bin Daud. Sayang, karakter vokal Joey berbeda dengan karakter vokal dua pendahulunya... dan Exist kolaps.
Hal serupa terjadi pada Uk’s, yang belakangan menjadi Ukays. Selama bertahun-tahun, Uk’s identik dengan suara Amir yang sangat indah, yang selalu mampu menyanyikan nada-nada tinggi dengan sempurna. Ketika Amir keluar dari Uk’s, tanda-tanda kiamat terjadi. Grup musik itu memang mendapatkan vokalis baru, tetapi—bagaimana pun—mengganti vokalis semacam Amir adalah pekerjaan yang nyaris mustahil.
Kemudian Iklim. Kita tahu, Iklim identik dengan vokal Saleem yang serak-serak basah. Sebegitu identik Saleem dengan grup musiknya, sampai dia dikenal dengan nama Saleem Iklim. Bisakah kita membayangkan lagu-lagu Iklim dinyanyikan selain Saleem? Bahkan bidadari di surga pun akan ragu! Faktanya, ketika Saleem keluar, Iklim bubar.
Terakhir, Slam. Sebenarnya, grup musik itu tidak punya masalah, selain bahwa vokalisnya, Zamani, mengalami patah hati akut, hingga memilih mengasingkan diri, dan tak mau lagi muncul ke publik. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini. Yang jelas, karena Zamani sudah tak punya gairah bermusik, grup musik itu pun menghilang.
Yang agak konyol mungkin Search. Di Malaysia, Search dikenal sebagai grup musik rock. Para personil grup itu rata-rata berambut gondrong, termasuk Amy sang vokalis. Belakangan, pemerintah Malaysia mengeluarkan peraturan yang mungkin konyol, yaitu melarang pria berambut gondrong tampil ke hadapan publik!
Gara-gara aturan itu, Search kesulitan tampil seperti sebelumnya, karena mereka akan berhadapan dengan “yang berwajib”. Sampai lama, mereka tidak muncul, meski belakangan akhirnya rela memangkas rambut hingga pendek, demi bisa tampil kembali. Yang jelas, absen lama itu menjadikan publik—khususnya di Indonesia—mulai melupakan.
Ketika satu per satu grup musik Malaysia berguguran, industri musik Malaysia kelabakan. Yang menjadi masalah, waktu itu, grup-grup musik yang gugur justru grup-grup penting, yang memiliki akar kuat di industri musik. Karenanya, mencari atau bahkan menciptakan pengganti mereka akan membutuhkan waktu lama. Padahal, mereka butuh mengisi pasar yang masih subur, khususnya di Indonesia.
Langkah yang kemudian ditempuh industri musik Malaysia adalah khas industri. Mereka “mengarbit” grup-grup baru, dengan tujuan agar bisa terus mengisi pasar musik Asia. Maka lahirlah grup-grup musik karbitan dengan kualitas yang tidak mampu menyamai para pendahulu mereka. Beberapa grup karbitan itu memang ada yang berhasil terkenal, meski tidak lama, sementara banyak yang lain sama sekali tidak dikenal.
Sejak itu, meski perlahan, lagu-lagu Malaysia mulai menghilang dari Indonesia. Sampai sekarang.
Well, saya termasuk generasi ’90-an yang pernah akrab dengan lagu-lagu Malaysia. Bahkan, sampai sekarang, saya masih suka mendengarkan lagu-lagu Malaysia di era itu, meski tentu tidak semuanya. Yang masih saya dengarkan hingga saat ini (lagu-lagu lama mereka) hanyalah Search, Uk’s, Slam, dan Iklim. Ada pula beberapa grup lain yang kadang saya dengarkan, tapi jarang.
Mendengarkan lagu-lagu Malaysia era ’90-an, bagi saya, adalah hiburan menuju ke masa lalu, ketika saya remaja, ketika saya masih menatap kehidupan dengan begitu sederhana. Mungkin sesederhana lirik lagu-lagu Malaysia.
Manis di bibir, memutar kata
Malah kau tuduh akulah segala penyebabnya
Siapa terlena pastinya terpana
Bujuknya, rayunya, suaranya
Yang meminta simpati dan harapan