Rabu, 24 Agustus 2016

Luka Dalam Sunyi

Cocotmu memang celeng!
Seseorang


Cerita ini sangat sensitif, hingga saya tidak akan menyebut nama satu pun. Tapi cerita ini juga mengandung pelajaran nyata, sehingga saya merasa sulit untuk tidak menulisnya. Lebih dari itu, orang yang akan saya ceritakan ini juga mengizinkan—bahkan meminta—saya menulisnya. Karena semua orang yang terlibat dalam cerita ini menggunakan inisial pengganti (bukan nama), sebaiknya bacalah pelan-pelan agar tidak bingung.

Selama bertahun-tahun, saya berteman dengan seseorang, sebut saja X. Saya sering dolan ke rumahnya, dia juga sering dolan ke tempat saya. Karena hal itu, saya pun dekat dengan keluarga X, dengan orangtuanya, juga dengan kakak dan adiknya. X memiliki kakak lelaki, sebut saja Z. Jika X masih lajang, Z sudah menikah, dan telah punya satu anak berusia 5 tahun. Keluarga X adalah keluarga sederhana, sebagaimana umumnya keluarga biasa.

Karena sering ketemu saat saya menemui X di rumah mereka, saya pun akrab dengan Z, kakak si X. Beberapa tahun lalu, saat ayah mereka meninggal, saya di rumah mereka sampai semalaman, menemani mereka yang sedang berduka. Hal-hal semacam itu pun menjadikan kami semakin dekat. Kenyataannya, bagi saya, keluarga X sudah seperti saudara, meski hubungan kami semula hanya diawali pertemanan saya dengan X.

Kemarin malam, X datang ke tempat saya, dan kami mengobrol asyik seperti biasa. Di sela-sela percakapan, dia menyatakan, “Aku baru ingat. Aku merekam sesuatu yang mungkin ingin kamu dengar.”

Lalu X membuka ponselnya. Setelah mencari-cari sejenak, dia memutar sebuah rekaman percakapan. Mula-mula, suara rekaman itu tidak terlalu jelas. Tetapi, semakin lama berkonsentrasi, saya mulai mengenali itu suara Z, kakak X. Suaranya dalam rekaman terdengar sedang marah-marah pada seseorang. Sebegitu marah, sampai terdengar aneka makian di antara teriakannya.

Belum pernah saya melihat atau mendengar Z semarah itu. Selama bertahun-tahun, saya mengenal Z sebagai lelaki ramah dan tampak jarang marah. Tetapi, dalam rekaman yang sedang saya dengar, tampaknya Z sedang terbakar amarah yang paling mengerikan, hingga dia tidak bisa mengendalikan diri. Salah satu makian yang jelas terdengar dalam rekaman itu berbunyi, “Cocotmu pancen celeng! (Mulutmu memang celeng!)”

Rekaman suara di ponsel X berjalan cukup lama. Tetapi, karena saya tidak tahu akar masalahnya, saya pun mendengarkan rekaman itu dengan sedikit bingung. Sesekali terdengar suara seorang wanita menanggapi kemarahan Z yang terus marah-marah, tapi saya tidak mengenali suara wanita itu.

Ketika akhirnya rekaman itu selesai, saya bertanya pada X, “Apa yang terjadi?”

“Itu kejadian pas lebaran kemarin,” jawab X.

Setelah itu, X menuturkan. Pada waktu lebaran kemarin, keluarga sepupu mereka datang ke rumah, sebagaimana umumnya orang-orang mengunjungi famili di hari lebaran. X memiliki sepupu perempuan, sebut saja Y. Keluarga Y tinggal sekota dengan keluarga X, tetapi Y tinggal di luar kota bersama suaminya. Karenanya, keluarga X hanya bertemu Y setahun sekali, yaitu setiap lebaran datang. Usia Y sebaya dengan Z, kakak X.

Nah, setiap tahun ketika mereka bertemu, yang selalu diucapkan Y adalah soal kawin atau perkawinan. Bertahun-tahun lalu, Z—kakak X—belum menikah. Sementara Y sudah menikah dan punya anak. Selama itu pula, setiap kali Y bertemu keluarga X, dia selalu menyindir, menyuruh, dan membahas soal perkawinan dengan X serta Z.

Waktu itu, X bisa enteng menjawab, “Kakakku saja belum menikah. Aku akan menikah setelah kakakku menikah.” Sementara Z biasanya cuma diam atau cengar-cengir bingung.

Sampai di sini, perlu saya tegaskan. Ucapan atau sindiran soal perkawinan yang selalu dibahas Y setiap tahun tidak tampak sebagai candaan atau gurauan. Dia benar-benar serius—baik dalam ucapan maupun mimik muka—saat mendorong X maupun Z agar cepat menikah. Sebegitu serius, sampai Z sering bingung setiap kali bertemu dengan Y, khususnya saat Z dulu belum menikah.

Sampai kemudian, Z menemukan pasangan, dan menikah. Itu sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Setelah Z menikah dan punya istri, apakah Y menutup mulutnya, dan tak lagi usil dengan kehidupan Z? Tidak!

Setelah itu, yang diocehkan Y setiap kali mereka bertemu saat lebaran adalah soal anak. Jika sebelumnya Y terus menerus mendorong dan menyindir Z soal perkawinan, sekarang dia mendorong Z agar cepat punya anak. Sementara pada X—yang masih lajang—Y masih terus mendorongnya agar cepat-cepat menikah.

Dalam hal ini, X sebenarnya tidak terlalu merisaukan semua ocehan dan perilaku Y yang suka membahas perkawinan. Meski X juga sering risih setiap kali bertemu Y, karena yang dibahas selalu itu dan itu. Dalam hal ini, X berusaha bijak, dan menganggap Y hanya “kurang gaul”. Y menganggap bahwa semua orang harus menikah, hingga mendorong orang lain—khususnya sepupunya, X dan Z—agar cepat menikah dan punya anak.

Tetapi, berbeda dengan Z, kakak X. Karena faktor usia, dia lebih risih dengan semua ocehan Y. Karena kenyataannya Y mengoceh soal perkawinan dengan serius, bukan sekadar obrolan ringan sambil lalu. Karenanya, gara-gara terus disindir dan didorong Y setiap tahun, Z akhirnya berusaha mencari pasangan, lalu menikah. Dia berharap sepupunya diam setelah melihatnya menikah. Tapi rupanya dugaan Z keliru. Setelah Z menikah, kali ini yang dibahas Y adalah soal anak. “Kapan kamu punya anak? Jangan lama-lama!” begitu biasa yang dikatakan Y.

Akhirnya, sekitar dua tahun setelah menikah, Z dan istrinya punya anak. Saat ini, anak Z telah berusia 5 tahun, dan Z maupun istrinya belum memutuskan untuk punya anak lagi. Hal itu dilatarbelakangi kondisi mereka yang tidak/belum memungkinkan untuk menafkahi lebih dari satu anak. Daripada memiliki banyak anak tapi malah menelantarkan, Z maupun istrinya memutuskan cukup satu anak dulu, agar bisa merawat dan membesarkan dengan baik.

Tapi rupanya Y tidak mau tahu soal itu. Seperti biasa, setiap tahun saat mereka bertemu ketika lebaran, topik yang selalu, selalu, selalu, dan selalu diocehkan Y kepada Z adalah soal menambah anak. Sementara X yang masih lajang masih menghadapi “semprotan” sepupunya mengenai kapan kawin. Hal itu terus terjadi setiap tahun, setiap lebaran, setiap kali mereka bertemu. Akhirnya, klimaks terjadi. Z, kakak X, tampaknya tidak bisa lagi mengendalikan diri, dan dia memuntahkan semua amarahnya kepada Y, saat mereka bertemu pada lebaran kemarin.

Berdasarkan rekaman di ponsel X yang saya dengarkan, inilah ucapan kemarahan Z yang ditujukan kepada Y. Saya ambil bagian yang paling penting dari rentetan kemarahannya, yang diucapkan dalam bahasa Jawa.

“Mbiyen, waktu aku durung kawin, kowe terus-terusan ngongkon aku kawin! Aku kepeksan luru bojo, ben kowe meneng. Tapi waktu aku wis kawin, kowe sik bae ngusili uripku, ribut soal anak terus-terusan. Padahal aku karo bojoku sengojo durung duwe anak, kerno keadaan sing durung jelas! Aku kerja serabutan, bojoku yo kerja serabutan. Kanggo ngurusi awake dewe bae sik kangelan, opo maneh duwe anak?

“Tapi kowe ora mikir tekan semono! Saben temu, sing mak omongke cumo kawin, anak, kawin, anak! Akhire aku kepeksan duwe anak, ben ora risih nek temu kowe. Tapi aku wis nduwe anak bae, kowe sik ribuuuut terus!

“Aku karo bojoku memang sengojo durung nambah anak, kerno nguripi anak siji bae wis kangelan nemen. Tapi kowe ora ono ngertine. Saben ketemu sing mak cocotke cumo nambah anak, nambah anak, koyo kowe sing bakal nguripi. Ndewe ki ketemu mung cumo setahun pisan. Tapi saben ketemu, kowe dudu nggawe seneng, tapi malah nggawe susah. Cocotmu pancen celeng!”


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

“Dulu, waktu aku belum menikah, kamu terus menerus menyuruku menikah! Aku terpaksa mencari istri, agar kamu diam. Tapi waktu aku sudah menikah, kamu masih saja mengusili hidupku, ribut soal anak terus menerus. Padahal aku dan istriku sengaja belum punya anak, karena keadaan kami yang belum jelas. Aku kerja serabutan, istriku juga kerja serabutan. Untuk mengurusi diri kami sendiri saja masih sulit, apalagi punya anak?

“Tapi kamu tidak berpikir sampai ke situ! Setiap kali bertemu, yang kamu ucapkan cuma kawin, anak, kawin, anak! Akhirnya aku terpaksa punya anak, biar tidak risih kalau bertemu kamu. Tapi meski aku sudah punya anak, kamu masih ribuuuut terus!

“Aku dan istriku memang sengaja belum menambah anak, karena menghidupi satu anak saja masih sangat kesulitan. Tapi kamu sama sekali tidak punya pengertian! Setiap ketemu, yang kamu bahas cuma nambah anak, nambah anak, seolah kamu yang akan menghidupi. Kita ini bertemu cuma setahun sekali. Tapi setiap kali bertemu, kamu bukan membuat senang, tapi malah membuat susah. Cocotmu memang celeng!”


Setelah saya selesai mendengarkan amarah Z dalam rekaman itu, X menjelaskan kepada saya, bahwa kondisi kakaknya memang relatif sulit. Dia bekerja serabutan, tidak jelas, sehingga tidak/belum memiliki penghasilan pasti. Karena kondisi itu pula yang membuatnya dulu menahan diri untuk tidak buru-buru menikah. Dia ingin memiliki pekerjaan jelas terlebih dulu, agar lebih mantap saat menikah. Tetapi, gara-gara risih dengan ucapan atau sindiran orang-orang—khususnya yang dilakukan Y, sepupu mereka—Z pun terpaksa, atau buru-buru berusaha, menikah.

Setelah menikah, Z masih meneruskan pekerjaan serabutan, karena kenyataannya belum mendapat pekerjaan tetap atau pasti. Dia seorang yang rajin bekerja, mau mengerjakan apa pun yang memang bisa dikerjakannya, tapi tetap saja serabutan, bukan pekerjaan tetap. Untungnya, istri Z bisa memahami kondisi suaminya. Mereka bekerja bersama, membangun keluarga sesuai kemampuan mereka, dan—selama itu—mereka menahan diri untuk tidak segera punya anak, karena kondisi yang belum memungkinkan.

Tetapi, lagi-lagi, Z tidak tahan dengan ocehan, dorongan, serta sindiran orang-orang yang suka nyinyir, “Kapan punya anak?” Bagi masyarakat, pasangan yang menikah tapi tidak segera punya anak adalah hal tak wajar, dan bisa jadi masyarakat menganggap keduanya atau salah satunya mandul, dan lain-lain.

Z juga tidak tahan dengan sikap Y, sepupunya, yang setiap kali bertemu selalu mengajukan ocehan sama, tentang punya anak. Dan setiap kali Z mencoba menjawab atau menjelaskan kondisinya, Y dengan jumawa menyatakan, “Kamu tidak perlu khawatir bagaimana menghidupi anakmu, karena setiap anak memiliki rezekinya sendiri.”

Lalu Z pun punya anak. Semula dia berharap keparat-keparat di sekelilingnya mau menutup cocot mereka, dan tidak lagi membuatnya risih dengan ocehan atau nyinyiran atau sindiran lain. Tapi rupanya Z keliru. Di dunia ini ada banyak keparat yang idiot. Sebegitu idiot, hingga mereka bahkan tidak bisa menutup atau menjaga cocotnya sendiri.  

Sampai lima tahun sejak punya anak pertama, Z dan istrinya bertahan untuk tidak/belum menambah anak lagi, karena menyadari kondisi mereka yang masih tidak karuan. Sebelum punya anak, hidup mereka tidak jelas. Setelah punya anak, kondisi mereka makin tidak jelas. Z dan istrinya telah berusaha semampu mereka untuk bekerja sebaik-baiknya, demi menghidupi anak satu-satunya, dan itu saja telah membuat mereka sedemikian kesulitan menjalani hidup.

Tapi Y—sepupu Z—tidak mau menyadari kenyataan itu. Bukannya mencoba berempati dengan kondisi Z, dia malah berceramah dan menyindir dan mendorong agar Z menambah anak, dengan berbagai dalih dan alasan seolah dia pasti benar. Akhirnya, setelah bertahun-tahun memendam amarah dan hati yang terluka, Z pun tidak tahan lagi. Pada pertemuan lebaran kemarin, dia memuntahkan semua amarah dan luka yang dirasakannya.

Malam itu, di rumah saya, X berkata, “Kita tentu menyadari, orang-orang yang menjalani hidup seperti kakakku bukan cuma satu dua. Tapi banyak. Mereka menghadapi kondisi hidup yang sulit, hingga belum sempat memikirkan perkawinan. Yang sudah menikah, juga belum sempat memikirkan anak. Yang sudah punya anak, juga belum sempat memikirkan nambah anak. Karena menyadari kondisi yang belum memungkinkan. Tapi orang-orang di sekitar kita sering kali tidak menyadari kenyataan itu, dan sulit berempati.”

Saya mengangguk, dan menyahut, “Dan kita bisa membayangkan betapa banyak orang yang diam-diam menyimpan luka hati mereka dalam sunyi. Orang-orang yang berusaha sama dengan orang lain, meski sangat kesulitan, demi tidak dianggap berbeda. Orang-orang yang berusaha menuruti apa kata masyarakatnya, meski sangat kesusahan, demi dianggap wajar dan normal. Orang-orang yang berusaha tampak seperti orang lain, demi membungkam cocot-cocot celeng di sekitar mereka. Itu realitas di sekitar kita... tapi mungkin kita hidup di tengah masyarakat yang buta.”

 
;