Beberapa orang dilahirkan ke dunia ketika halilintar menggemuruh,
sebagian lain terlahir ketika mentari terbit di ambang subuh.
—@noffret
sebagian lain terlahir ketika mentari terbit di ambang subuh.
—@noffret
Berbulan-bulan lalu, saat kami sedang mengobrol berdua, seorang teman menunjukkan tweet di Twitter, berisi judul artikel. Bunyinya, “Merokok Bisa Menyebabkan Bodoh”. Judul itu diikuti sebuah link atau tautan menuju artikel yang dimaksud.
Teman saya bertanya, “Kamu percaya artikel itu?”
Saya menjawab, “Percaya.”
Dia menegaskan, “Kamu percaya kalau merokok bisa membuat bodoh?”
“Iya, percaya.”
“Kenapa kamu percaya?”
Saya menjawab, “Karena aku telah membuktikannya.”
Setelah terdiam sejenak seperti ragu-ragu, dia kembali berkata, “Bagaimana kamu membuktikan kalau merokok bisa membuat bodoh?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya menyulut rokok. Setelah mengisapnya sesaat, saya menjelaskan, “Aku merokok sejak SD. Artinya, aku telah merokok selama bertahun-tahun. Dan aku telah merasakan akibatnya. Yaitu menjadi bodoh, persis seperti yang tertulis di artikel itu. Mungkin karena terlalu banyak merokok, aku jadi sangat... sangat bodoh. Karena menyadari sangat bodoh itulah, aku pun rajin belajar, sampai sekarang. Sampai saat ini, aku masih suka belajar, bahkan belajar sangat keras, karena menyadari aku sangat bodoh.”
Mendengar penjelasan itu, entah kenapa, dia malah ngakak sejadi-jadinya.
....
....
Saya menulis catatan ini sebagai bentuk tanggung jawab moral, sekaligus klarifikasi. Di berbagai catatan di blog ini, saya kerap menunjukkan terang-terangan kalau saya perokok. Saya bahkan kadang menulis catatan yang secara frontal menyerang orang-orang yang suka berkampanye antirokok.
Sekarang, meski dengan segan, saya terpaksa menulis catatan ini untuk menjelaskan hal tersebut, agar tidak ada yang salah paham, juga agar orang-orang yang bukan perokok bisa lebih berempati kepada perokok. Lebih penting lagi, saya menulis catatan ini agar tidak ada bocah-bocah yang merokok dengan berdalih karena meniru saya. Merokok mungkin tidak akan membuatmu bodoh—itu klaim yang lebay. Tetapi, meski begitu, sebaiknya tidak usah merokok.
Ini serius. Kalau kau bukan perokok, atau belum pernah merokok, sebaiknya jangan merokok. Tetaplah jalani gaya hidup tanpa rokok. Bukan karena tidak merokok itu keren. Tapi karena merokok atau tidak adalah soal pilihan. Kalian, sebagaimana saya, bisa memilih. Memilih untuk merokok, atau memilih untuk tidak merokok. Dan, sebagai perokok, saya berharap kalian memilih untuk tidak merokok. Sekali lagi, ini serius.
Sekarang, saya ingin menceritakan bagaimana saya mengenal rokok, dan mengapa sampai sekarang tetap merokok. Catatan ini hanya ingin bercerita, dan semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Well, menjelaskan kebiasaan saya merokok tidak bisa dilepaskan dari penyebab kenapa saya merokok. Jadi, sebelum menghakimi saya—atau siapa pun yang merokok—cari tahu terlebih dulu kenapa orang merokok. Saya tidak tahu kenapa orang lain merokok. Tetapi, yang jelas, saya mengenal rokok hingga menjadi perokok sampai sekarang, karena pengaruh pergaulan dan latar belakang personal.
Di banyak catatan di blog ini, saya sudah sering menjelaskan kisah hidup saya sejak kecil sampai dewasa sekarang. Kalau rutin membaca, kalian tentu tahu bahwa sejak kelas lima SD saya sudah hidup di jalanan, untuk mencari uang, akibat kemiskinan. Di jalanan, saya tentu bergaul dengan anak-anak jalanan lain, yang sama-sama dilahirkan dalam kemiskinan, kurang pendidikan, dan rentan terpengaruh kekerasan serta hal-hal lain yang negatif. Rokok salah satunya.
Pergaulan di jalanan itulah yang lalu mempengaruhi saya, hingga mengenal rokok dan menjadi perokok. Kalian tentu tahu bagaimana kuatnya pengaruh pergaulan. Jangankan pergaulan di jalanan, bahkan pergaulan di sekolah atau di kampus pun memiliki tekanan amat besar, yang sulit dihindari.
Di jalanan, setiap hari saya berinteraksi dengan anak-anak lain yang merokok, mabuk, nyimeng, dan lain-lain. Dengan segala tekanan yang ada, bagaimana pun saya terpengaruh. Meski begitu, saya berupaya membatasi diri, agar hanya terpengaruh secara minimal. Dalam hal ini, sebatas merokok. Jadi, saya telah merokok sejak SD. Tetapi, sekali lagi, hanya sebatas rokok. Tuhan menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini.
Sejujurnya, saya sangat berat menghadapi masa-masa itu. Teman-teman saya di jalanan tidak hanya merokok, tapi juga biasa mabuk juga ngoplo (waktu itu pil koplo sedang hit). Tetapi, seperti yang dibilang tadi, saya membatasi diri hanya pada rokok. Itu, terus terang, luar biasa berat. Kau berkumpul dengan sekelompok bocah, dan mereka semua merokok dan mabuk dan nyimeng dan ngoplo, dan kau tetap berupaya untuk tidak terpengaruh. Dan, sekali lagi, Tuhan menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini.
Ketika akhirnya saya meninggalkan jalanan, saya tetap merokok. Karena terbiasa. Lebih dari itu, saya merasa rokok menjadi teman setia. Sebagai introver, saya kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Kondisi itu, ditambah kemiskinan dan latar belakang yang suram, membuat saya sangat tertutup, dan menjadikan saya kurang bisa bergaul. Dalam kenyataan semacam itu, rokok menjadi teman bagi kesepian yang saya jalani. Karena itu pula, saya sulit melepaskan diri dari rokok.
Bertahun-tahun kemudian, saya masih merokok. Pertama, karena kebiasaan. Kedua, karena merasa rokok bisa menjadi teman di kesendirian. Ketiga, terkait tuntutan pekerjaan yang menggunakan pikiran, rokok terasa membantu konsentrasi.
Saya tidak tahu apakah merokok benar-benar bisa membantu konsentrasi, atau hanya sebatas sugesti. Dan bukan itu yang ingin saya bahas.
Ada setumpuk penelitian yang bisa digunakan untuk meletakkan rokok di tempat yang terhormat, sebagaimana ada setumpuk penelitian yang bisa dimanfaatkan untuk menjatuhkan rokok ke tempat yang paling nista. Itu mudah. Oh, well, membuat hal-hal semacam itu sangat mudah. Di luar sana ada bocah-bocah pintar yang bisa dibayar untuk melakukan “penelitian”, “kajian”, atau “survei” apa pun, dan di dunia ini ada jutaan idiot yang bisa dikibuli mentah-mentah. Tetapi, sekali lagi, bukan itu yang ingin saya bahas.
Yang ingin saya bahas di sini adalah mengenai penyebab kenapa seseorang sampai merokok. Dalam kasus saya, kebiasaan merokok terjadi karena pergaulan, dan kepribadian saya yang introver. Karena kemiskinan, saya hidup di jalanan. Karena hidup di jalanan, saya bergaul dengan anak-anak yang merokok. Seiring perjalanan waktu, saya merasa rokok bisa menjadi “teman baik” bagi bocah kesepian yang introver seperti saya. Jadi, saya pun memilih merokok.
Ada sebab di balik setiap akibat, ada latar belakang di balik setiap kebiasaan. Akibat tidak turun tiba-tiba dari langit, sebagaimana kebiasaan tidak terbentuk seketika. Karenanya, sebelum menghakimi para perokok dengan setumpuk tuduhan dan ocehan macam-macam, cobalah berempati terlebih dulu, dengan bertanya, “Kenapa?” Tanyakan pada mereka, kenapa mereka merokok. Mengetahui akar penyebab seseorang merokok jauh lebih baik, daripada sekadar menghakimi orang merokok.
Umpama saat ini ada orang ngoceh macam-macam tentang bahaya rokok kepada saya, terus terang saya hanya akan tersenyum. Atau bilang persetan dengannya. Oh, jangankan cuma ngoceh macam-macam, bahkan umpama kau menodongkan pistol ke kepala saya agar berhenti merokok, saya akan tetap menyulut rokok, dan persetan denganmu!
You see this? Karenanya, segala macam ocehan dan koar-koar yang biasa ditujukan kepada perokok itu sebenarnya sia-sia. Satu-satunya orang yang bisa menghentikan seseorang merokok adalah diri sendiri. Karenanya, gunakan empati, dan hentikanlah menghakimi. Lebih penting lagi, jauh lebih baik memperhatikan orang-orang yang belum merokok, daripada sibuk mengacungkan jari kepada para perokok.
Dalam perspektif saya, perokok adalah orang yang memilih untuk merokok. Sebagaimana pada hal lain, setiap orang berhak memilih, dan memilik merokok juga termasuk hak setiap orang. Toh rokok bukan barang ilegal. Selama mereka bertanggung jawab pada pilihan yang diambil, apa salahnya? Kalau pun sebagian orang “fanatik” menganggap rokok atau merokok adalah kesalahan, jauh lebih baik fokuskan konsentrasi pada yang belum merokok. Itu jauh lebih konstruktif.
Maksud saya begini. Orang yang telanjur merokok umumnya sulit diminta berhenti, kecuali jika si perokok bersangkutan yang memang ingin berhenti. Percayalah kepada saya, karena saya seorang perokok.
Jadi, meminta para perokok agar berhenti merokok adalah perbuatan sia-sia. Karena itu, daripada membuang waktu berdebat sampai goblok, jauh lebih baik fokuskan pikiran pada anak-anakmu, atau adik-adikmu, atau keponakan-keponakanmu, atau murid-muridmu. Didiklah mereka dengan baik, perhatikan pergaulan mereka, rawat dan besarkan mereka secara layak, agar mereka dapat hidup lebih baik, lebih layak, dan lebih sehat.
Berkaca pada kasus saya, perkenalan saya dengan rokok akibat pergaulan. Dan saya bergaul dengan anak-anak perokok di jalanan, karena kemiskinan. Kronologinya—setidaknya dalam kasus saya—sesimpel itu.
Karenanya, perhatikan anak-anakmu, agar mereka bergaul dengan anak-anak baik, yang tidak merokok. Jika orang tidak pernah bergaul dengan perokok—setidaknya di masa kecil sampai remaja—kemungkinan besar dia tidak akan merokok. Saat dewasa dan telah memiliki kesadaran, dia bisa memutuskan pilihannya secara lebih baik. Biasanya, dalam hal ini, dia pun memilih untuk tidak merokok, karena berbagai pertimbangan yang bijak.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar anak-anakmu tidak bergaul dengan anak-anak nakal, yang telah merokok sejak kecil? Mungkin Kak Seto akan lebih baik dalam menjawab pertanyaan ini. Namun, karena yang ngoceh di sini adalah saya, maka izinkan saya yang menjawab pertanyaan tadi.
Sekali lagi, berkaca pada kasus saya, perkenalan saya dengan rokok karena pergaulan dengan anak-anak jalanan. Dan saya hidup di jalanan, karena kemiskinan. Sudah melihat polanya?
Kalau saja saya lahir di keluarga berkecukupan, dan bergaul dengan anak-anak manis, dan saya dapat tumbuh besar dengan baik, mungkin saya tidak merokok. In fact, ayah saya tidak merokok. Kakek saya (dari pihak ayah maupun ibu) tidak merokok. Adik lelaki saya tidak merokok. Sanak famili saya kebanyakan tidak merokok. Aktivitas merokok saya murni karena pengaruh pergaulan di jalanan, akibat kemiskinan.
Jadi, sekadar saran, upayakanlah anak-anakmu tidak mengulangi kehidupan masa kecil seperti yang saya alami. Dengan kata lain, lahirkan dan besarkan anak-anakmu dalam kondisi yang layak, agar mereka dapat menikmati kehidupan masa kecil yang layak, agar mereka dapat tumbuh sebagaimana manusia yang layak.
Artinya, menikahlah setelah kondisimu telah layak. Jangan terprovokasi ocehan orang yang suka menyuruh-nyuruhmu cepat kawin. Kalau kau—dan pasanganmu—belum layak kawin, tapi keburu kawin gara-gara ocehan orang lain, yang akan menjadi korban adalah anak-anakmu. Buru-buru kawin tanpa kondisi layak, hanya terasa nikmat bagi si orangtua, tapi bisa menjadi petaka bagi si anak.
Karenanya pula, setiap kali mendengar orang ngoceh, “Tak perlu khawatir. Nanti setelah menikah, rezeki akan lancar,” rasanya saya ingin menggampar cocotnya. Itu benar-benar kebohongan yang nyata! Mereka yang suka mbacot seperti itu sebenarnya buta, idiot, atau bagaimana?
Di jalanan, ada jutaan anak yang mengadu nyawa demi bisa mendapat uang. Di mana-mana, ada jutaan anak yang menggeliat kelaparan karena orangtuanya tak mampu memberi makan. Di bawah langit mana pun, ada jutaan anak telantar yang tak sanggup lagi menangis, karena air mata telah kering. Dan sementara itu, masih ada idiot-idiot bangsat yang menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin, cepat punya anak, seolah mereka tinggal di surga.
Enough. Cukup untuk soal itu.
Sekarang, sebagai perokok, saya ingin berpesan pada teman-teman yang tidak/belum merokok. Sebisa mungkin, sebaiknya jangan merokok.
Saya berpesan agar kalian tidak merokok, bukan karena soal asap, polusi, atau tetek bengek semacamnya. Itu hal-hal tolol yang tidak perlu dibahas panjang lebar. Saya juga berpesan agar kalian tidak merokok bukan karena alasan kesehatan, karena soal itu pun masih bisa diperdebatkan.
Saya berpesan agar kalian tidak merokok, karena alasan yang sederhana, jelas, dan dapat dibuktikan. Yaitu masalah finansial. Harga rokok mahal. Meski beberapa orang kadang ngoceh bahwa harga rokok di Indonesia tergolong murah, itu ocehan ngawur! Mereka yang suka ngoceh itu tidak pernah membeli rokok!
Sekadar ilustrasi, setiap bulan saya menghabiskan sekitar satu juta rupiah untuk membeli rokok. Sudah lama sekali saya tidak pernah membeli rokok secara ketengan (per batang). Jangankan membeli per batang, bahkan membeli per bungkus pun jarang saya lakukan. Setiap kali membeli rokok, saya membeli dalam paket besar, untuk kebutuhan sebulan. Dan, untuk itu, saya harus mengeluarkan uang 1 juta per bulan.
Karenanya, kalau kalian sudah menjadi perokok seperti saya, dan kebetulan penghasilan relatif pas-pasan, mengeluarkan anggaran per bulan untuk beli rokok bisa sangat memberatkan. Itu faktor yang jelas dan dapat dibuktikan, hingga saya menyarankan agar kalian tidak merokok.
Sampai di sini, mungkin ada orang yang gatal ingin memberi saran kepada saya, “Daripada menghabiskan uang 1 juta per bulan untuk beli rokok, mending uangnya ditabung. Dalam setahun sudah terkumpul 12 juta. Dalam 30 tahun bisa terkumpul 360 juta. Itu bisa dibelikan rumah. Setelah itu nabung lagi untuk membeli kendaraan, dan lalu nabung lagi untuk...”
Oh, tidak perlu khawatir dan tidak usah bingung. Saya sudah punya semua itu, meski tidak perlu repot menabung sampai puluhan tahun!
Akhirnya, apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dari ocehan ini?
Pertama, ada sebab untuk akibat. Setiap perokok memiliki latar belakang dan penyebab, yang salah satunya adalah kemiskinan, hingga terjebak pada pergaulan yang keliru. Karenanya, perhatikan anak-anakmu. Rawat mereka dengan baik dan penuh kasih, serta perhatikan pertumbuhan mereka. Itu sejuta kali lebih baik daripada sibuk menudingkan jari kepada orang-orang yang merokok.
Kedua, menikah tidak akan membuatmu kaya! Kalau memang orang menikah akan menjadi kaya (atau “melancarkan rezeki” sebagaimana yang biasa diocehkan orang), mestinya tidak ada pasangan yang miskin dan berkekurangan, juga tidak ada anak telantar yang hidup di jalanan, hingga mengenal rokok akibat terpengaruh teman-temannya yang merokok.
Karena itu, kalau ada orang yang merayu atau memprovokasimu agar cepat menikah dengan iming-iming lancar rezeki dan semacamnya, tertawakan saja. Atau gampar cocotnya. Jika seseorang mengatakan bahwa menikah akan membuatmu kaya, lihat apakah yang mengatakan benar-benar kaya.
Ketiga, setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, termasuk memilih merokok, memilih melajang, atau memilih untuk tidak buru-buru menikah. Selama orang bertanggung jawab pada pilihannya, dan pilihan itu tidak merugikan orang lain, biarkan dan hormati pilihan mereka.
Daripada meributkan orang merokok, pastikan saja anak-anak dan keluargamu tidak merokok. Daripada menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat kawin, pastikan saja perkawinanmu baik-baik saja. Itu jauh lebih baik. Oh, well, jauh lebih baik.