Senin, 01 Agustus 2016

Sejarah Luka

Hanya ada satu ras, dan ras itu manusia. Titik.
Edward James Olmos


Sewaktu kecil, teman-teman biasa memanggil saya “Cina”. Alasannya sederhana, yakni karena kulit saya yang putih—setidaknya lebih putih dibanding teman-teman di lingkungan saya yang rata-rata hitam atau sawo matang. Di sekolah (SD), saya juga dipanggil “Cina” oleh teman-teman, dengan alasan yang sama. Kenyataannya, saya menyadari kalau kulit saya waktu itu sangat terang, mirip orang-orang keturunan Cina yang biasa saya temui di lingkungan sekitar.

Tapi saya tidak pernah marah. Saya tidak marah atau terhina setiap kali dipanggil “Cina”. Alasannya, panggilan “Cina” yang ditujukan kepada saya tidak dimaksudkan untuk mengejek atau menghina. Sebaliknya, itu pujian, karena mereka menilai saya memiliki kulit yang lebih bersih atau lebih terang dibanding mereka. Bagi orang-orang yang memiliki kulit gelap—setidaknya di lingkungan saya—kulit putih adalah sesuatu yang istimewa.

Saya masih ingat, di sekolah dulu, kami kadang duduk-duduk di depan kelas, lalu saling menyandingkan tangan, dan hasilnya seperti kue lapis. Tangan saya terlihat sangat terang, sementara tangan teman saya terlihat sangat gelap. Lalu mereka biasanya berujar, “Tanganmu kok bisa putih banget gitu, ya?”

Itu percakapan khas anak-anak, karena waktu itu kami masih SD. Kadang, ada teman lain yang menimpali, “Mungkin kamu memang anak Cina.”

Dia mengatakannya dengan serius dan jujur, bukan dengan maksud rasis atau semacamnya, namanya juga anak-anak. Kami waktu itu bahkan belum tahu apa itu rasis. Yang kami tahu, rata-rata orang keturunan Cina memiliki kulit putih. Ketika mereka melihat saya berkulit putih, mereka pun—dengan naluri anak-anak—menghubungkan saya dengan Cina.

Kenyataannya, yang punya kesimpulan semacam itu bukan cuma sesama teman-teman yang masih kecil. Tetangga-tetangga dan famili saya waktu itu pun kerap menyebut saya “anak Cina” karena alasan yang sama. Lagi-lagi, saya tidak pernah marah atau jengkel karena sebutan itu. Sebaliknya, saya senang disebut “Cina”, karena tahu bahwa mereka menggunakan sebutan itu sebagai pujian.

Sayangnya, riwayat kulit putih saya tidak berlangsung lama. Ketika kelas lima SD, seperti yang saya ceritakan di sini, saya mulai hidup di jalanan, dan sejak itu kulit putih saya perlahan-lahan memudar. Seiring saya makin besar, kulit yang semula putih dan terang mulai kecokelatan. Sengatan panas matahari, debu-debu jalanan, polusi dan asap, ditambah bekas-bekas luka, semuanya seperti menutupi warna asli kulit saya yang semula putih bersih.

Selama waktu-waktu itu, saya tidak menyadari perubahan yang terjadi pada kulit saya. Dengan semua yang saya jalani, waktu itu saya tidak sempat memikirkan kecantikan—atau kegantengan—kulit, melainkan bagaimana bertahan hidup. Jadi, ketika kulit tubuh perlahan-lahan menggelap, saya benar-benar tidak pernah menyadari. Yang saya tahu, sejak itu tidak ada lagi orang yang memanggil saya “Cina”.

Lulus SMP, saya bersekolah di SMA yang kebetulan menampung murid-murid multi-etnis. Di sekolah itu ada orang Jawa, orang Arab, Eropa, juga berbagai etnis yang ada di Indonesia, termasuk anak-anak indo/blasteran (memiliki orangtua yang berbeda etnis). Jadi, di sana ada anak yang ayahnya Jawa dan ibunya Cina, ada pula yang ibunya Arab dan ayahnya India, dan lain-lain. Karenanya, beberapa dari kami ada yang memiliki mata berwarna hijau, biru, cokelat, meski kebanyakan tetap hitam-putih.

Salah satu teman sekelas saya bernama Rini, dan kami akrab serta biasa mengobrol kalau pas pelajaran kosong. Rini memiliki kulit putih bersih, dengan wajah cantik, hidung mancung, dan mata sipit. Saya tidak pernah berani menanyakan kepadanya mengenai orangtuanya, tetapi—menurut teman-teman—Rini adalah keturunan Arab-Cina. Karenanya, dia memiliki keanggunan seorang Arab, sekaligus kecantikan khas Cina.

Suatu waktu, saat kami mengobrol berdua ketika pelajaran kosong, saya pernah berkata kepadanya, “Kamu cantik, seperti orang Cina.”

Rini tersenyum manis, dan menyukai pujian itu.

Masih di SMA, ada adik kelas saya bernama Eva. Kami juga akrab, dan dia sering ngerjain saya. Eva adalah anak Belanda-Prancis, berkulit terang, rambut kemerahan, dengan mata berwarna biru. Kadang-kadang, saat saya sedang khusyuk membaca majalah atau buku di perpustakaan, dia mendekati tempat saya duduk, lalu tiba-tiba menutup buku atau majalah yang sedang saya baca. Setelah itu biasanya dia akan tertawa-tawa sambil berlari menjauh. Biasanya pula, saya akan berteriak, “Dasar londo!”

“Londo” adalah sebutan orang Jawa terhadap orang luar negeri, khususnya Belanda, karena “londo” memang berasal dari kata “Belanda”. Eva juga tahu arti “londo”, dan biasanya dia makin tertawa-tawa saat saya menyebut kata itu. Dan, seperti Rini, Eva juga tidak marah dengan sebutan itu. Karena kenyataannya dia memang keturunan Belanda, dan saya menggunakan istilah itu tidak dengan maksud menghina atau semacamnya.

Salah satu etnis yang juga ada di SMA saya waktu itu adalah Arab. Yang unik, teman-teman saya yang Arab itu tidak pernah menyebut diri mereka “Arab”, tapi biasa menggunakan istilah “Jamaah”, yang merujuk pada identitas mereka sebagai orang keturunan Arab. Terus terang saya tidak tahu bagaimana latar belakang hal itu. Namun, karena mereka biasa menyebut begitu, saya pun ikut menyebut mereka begitu. Setiap kali akan menyebut “Arab”, saya akan menggantinya dengan “Jamaah”. Dan mereka tampaknya senang dengan sikap tersebut.

Tiga tahun di SMA bagi saya adalah tiga tahun menghadapi aneka jenis manusia dari berbagai macam ras dan etnis. Selama waktu-waktu itu, saya melihat bahwa meski kami memiliki latar belakang berbeda, namun kami semua sebenarnya sama. Di SMA, usia kami rata-rata sama, biasa memakai seragam serupa, dan menjalani kehidupan di sekolah yang sama. Namun, lebih dari itu, kami juga berinteraksi secara wajar dan normal sebagaimana umumnya manusia, karena—entah bagaimana—kami seperti menyadari bahwa kami semua sebenarnya sama.

Mungkin karena waktu itu kami masih hijau, dan belum tahu apa-apa. Mungkin waktu itu kami masih lugu, dan percaya bahwa semua manusia memang sama. Mungkin waktu itu kami masih naif, dan meyakini bahwa perbedaan ras bukanlah masalah bagi manusia. Tetapi, kalau pun begitu, bukankah sebenarnya—dan seharusnya—begitu?

Jawa, Cina, Arab, India, Eropa, bahkan yang blasteran, hanya latar belakang ras atau etnis. Tetapi, kita sama-sama manusia, dengan pikiran yang sama, dengan hati yang sama. Lebih dari itu, tidak ada satu pun dari kami yang bisa memilih untuk lahir di keluarga mana. Kira-kira pemikiran semacam itulah yang ada di benak kami saat SMA, ketika kami awal remaja, masih hijau, dan bisa dibilang belum tahu apa-apa.

Ketika dewasa, saya mulai tahu bahwa urusan ras atau etnis tidak sesederhana yang saya pikirkan. Di Amerika atau Eropa, misalnya, menyebut orang kulit hitam dengan istilah “negro” bisa membuat mereka marah. Padahal, “negro” memiliki arti “hitam”. Istilah itu berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis, yang mengambil kata dari bahasa Latin, “niger”, yang berarti “hitam”. Jadi, orang kulit hitam tidak mau disebut negro, meski istilah itu memiliki arti “hitam”, yang sesuai kulit mereka.

Bahkan, sejak akhir 1960, lahir Gerakan Hak Sipil—yang dimotori Martin Luther King, Jr.—yang salah satunya mencetuskan “aturan” untuk mengganti istilah “negro” menjadi “berwarna”. Hingga kini, orang berkulit hitam atau gelap akan marah jika disebut negro, bahkan umpama kita tidak bermaksud menggunakan istilah itu untuk menghina. Kenyataan itu memiliki sejarah panjang, yang menyisakan luka bagi orang-orang kulit hitam, bahkan sampai sekarang.

Di masa lalu, orang-orang kulit hitam di Amerika dan Eropa menjadi budak bagi orang-orang kulit putih. Di masa lalu, orang-orang kulit putih memanggil budak-budak tersebut dengan sebutan “negro”. Berabad-abad kemudian, perbudakan sudah tidak ada, dan orang-orang kulit hitam bisa hidup merdeka. Tetapi, latar belakang itulah yang membuat orang kulit hitam marah jika dipanggil “negro”, khususnya oleh orang kulit putih, karena panggilan itu memiliki arti buruk bagi mereka.

Pada 2012, misalnya, Royston Drenthe—pemain sayap Everton—mengecam sikap Lionel Messi, karena Messi menyebutnya “negro” ketika mereka berhadapan di ajang Liga Spanyol. Kepada majalah Belanda, Helden, Drenthe menyatakan, “Anda tahu apa yang sebenarnya mengganggu saya? Nada bicara dia (Messi) yang selalu memanggil saya ‘negro, negro’.”

Mahamadou Diarra, pemain lain, juga marah pada Gonzalo Higuain dan Gabriel Heinze (dua pemain sepak bola Argentina di Madrid), karena memanggilnya “negro”. Diarra mengatakan terang-terangan kemarahannya kepada dua orang itu, dan Higuain serta Heinze berhenti memanggilnya “negro”. Bahkan, Luis Suarez, pemain Liverpool, sampai mendapat hukuman berat dari Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) akibat melontarkan kata-kata “negro” kepada bek Manchester United, Patrice Evra.

Sebenarnya, panggilan “negro” biasa dilakukan orang kulit hitam pada sesama orang kulit hitam, khususnya di Amerika. Dan mereka tidak marah. Bahkan, panggilan “negro” kepada sesama kulit hitam menjadi semacam tanda keakraban. Tetapi, mereka akan marah jika panggilan “negro” diucapkan orang kulit putih kepada orang kulit hitam, meski mungkin tidak dimaksudkan untuk menghina.

Panggilan atau sebutan sebenarnya netral—tidak berarti apa-apa. Tetapi ia bisa memiliki arti tertentu, entah baik atau buruk. Panggilan “Cina” yang ditujukan kepada saya adalah pujian, dan saya tidak marah. Panggilan “Cina” yang saya berikan untuk Rini adalah pujian, dan dia tersenyum. Sesama kulit hitam saling menyapa dengan sebutan “negro”, dan mereka tidak marah. Tetapi, panggilan yang sama bisa berarti buruk bagi orang lain, jika terkait orang yang berbeda.

Apa yang terjadi di sini? Sejarah. Luka sejarah.

Luka sejarah itulah yang kemudian membedakan satu manusia dengan manusia lain, meski sebenarnya kita sama-sama manusia, dengan harkat dan martabat yang sama, dengan hati dan pikiran yang sama. Dan tidak setiap orang bisa mudah menyembuhkan luka—sebagian dari mereka terus merasakan perih hingga sangat lama—bahkan kadang luka yang dialami menjadi koreng menganga dan bernanah.

Seperti orang-orang kulit hitam di Amerika. Mereka tidak marah saat dipanggil sesamanya dengan sebutan “negro”. Tapi mereka menganggap sebutan “negro” yang diucapkan orang kulit putih sebagai hinaan, dan mereka akan marah, karena sejarah telanjur melukai mereka.

Setiap manusia—setiap kita—sensitif terhadap sakit dan luka. Tugas setiap kita tidak sekadar mengurangi sakit dan berupaya menyembuhkan luka, namun juga tidak mencipta, mengulang, atau meneruskan sejarah yang sama.

 
;