Setiap orang adalah putra perempuan yang mencintainya.
—Kahlil Gibran
—Kahlil Gibran
Saya sering ditanya, kenapa menyebut wanita dengan istilah “mbakyu”. Lebih parah, beberapa orang pernah mengaitkan saya dengan Illuminati, gara-gara sering menyebut mbakyu, mengingat kaum Illuminati juga memuja wanita yang disebut Isis atau Ibu Bumi. Mereka yang mengira saya anggota Illuminati menuduh saya “sengaja menyamarkan pemujaan terhadap Ibu Bumi, dengan menggantikannya melalui Mbakyu”.
Terus terang saya kagum campur heran dengan orang-orang “kreatif” yang tampaknya bisa menghubungkan apa saja dengan sesuatu—dalam hal ini Illuminati—meski dasar pemikirannya kadang sangat rapuh. Hanya karena saya memuja mbakyu, dan Illuminati kebetulan juga memuja Ibu Bumi, maka ditariklah kesimpulan bahwa saya anggota Illuminati. Itu logika yang sangat cupu!
Karena itulah, saya sekarang menulis catatan ini untuk menjelaskan serta mengklarifikasi, mengapa menyebut wanita dengan istilah “mbakyu”.
Dalam bahasa Jawa, “mbakyu” adalah istilah yang digunakan untuk menyebut wanita yang secara usia lebih dewasa, atau kepada wanita yang kita hormati. Sebenarnya, itu istilah biasa—sama biasa dengan istilah “teteh” dalam bahasa Sunda, atau lainnya. Karena kebetulan hidup dalam kebudayaan Jawa, maka saya pun menggunakan istilah yang lekat dengan kehidupan saya.
Lalu kenapa saya punya kecenderungan terhadap mbakyu? Itu tak bisa dilepaskan dari kondisi psikis saya. Jauh di lubuk hati, saya adalah anak-anak. Sebagaimana anak-anak, saya kurang bisa bersosialisasi, kurang mampu berinteraksi dengan orang lain, kurang memiliki kemampuan dalam hal-hal sosial, dan semacamnya—khas anak-anak.
Karena itu pula, saya sering menyebut diri sebagai “bocah”. Istilah itu—bocah—benar-benar tepat menggambarkan diri saya yang tak terlihat. Bahwa di balik sosok dewasa saya, ada seorang bocah yang kerap kebingungan, khususnya saat berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Dan sebagai bocah, saya memang memuja mbakyu. Karena merekalah—wanita dewasa yang saya sebut mbakyu—benar-benar tepat menggambarkan sosok wanita yang saya rindukan, yang saya pikir dapat menghadapi bocah kebingungan seperti saya.
Sebagai lelaki, sejujurnya saya tidak tertarik pada perempuan-perempuan belasan tahun. Meski mereka mungkin cantik, menarik, menggemaskan, dan lain-lain, tapi di mata saya mereka masih anak-anak. Saya mungkin menyayangi mereka sebagaimana menyayangi adik. Tetapi, terus terang, saya tidak tertarik menjadikan mereka pacar. Jika saya harus memiliki pacar, saya akan memilih wanita dewasa—setidaknya berusia 25 tahun ke atas—yang secara fisik maupun psikis telah benar-benar matang.
Suatu waktu, saya pernah mendatangi resepsi perkawinan. Di meja penerima tamu terdapat tumpukan piring kecil dan aneka jajan—roti, kacang, dan lain-lain—yang disediakan untuk para tamu. Orang-orang yang datang pun dengan santai mengambil piring kecil, lalu mengisinya dengan jajan yang diinginkan. Saya juga melakukan hal sama. Setelah itu, saya duduk di salah satu bagian kursi yang masih kosong.
Saat saya sedang mengunyah kacang, datang seorang cowok sendirian. Usianya mungkin sekitar 20-an. Cowok itu, seperti para tamu lain, sampai di depan meja penerima tamu. Tetapi, setelah mengisi buku tamu, dia tampak kebingungan menghadapi hamparan jajan di sana. Bukannya mengambil piring dan jajan sebagaimana para tamu lain, dia hanya berdiri, lalu—dengan sikap bingung—melangkah menuju kursi tanpa membawa apa pun.
Saya menyaksikan hal itu. Saya juga melihat beberapa cewek remaja—mereka berdiri di dekat meja tamu—memandang cowok tadi dengan muka tidak senang. Mungkin, dalam pikiran para cewek remaja itu, cowok tadi tidak doyan jajan yang disediakan di meja tamu, sehingga tidak mau mengambil apa pun.
Kemudian—ini bagian yang sangat memorable—seorang wanita dewasa melangkah ke meja tamu. Wanita dewasa itu tampaknya bagian dari keluarga pengantin, dan dia juga melihat cowok tadi. Tetapi, alih-alih menunjukkan muka tidak senang, wanita dewasa itu melakukan sesuatu yang sangat hebat. Dia mengambil piring di meja tamu, mengisinya dengan aneka jajan, kemudian memberikannya pada cowok tadi dengan sikap yang manis. Si cowok pun menerima jajan itu, dan memakannya.
Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin hal biasa. Tetapi, bagi saya, itu sesuatu yang sangat luar biasa. Dan, Tuhan serta para malaikat menjadi saksi, itulah kehebatan mbakyu! Yaitu wanita dewasa yang bisa berpikir secara dewasa dan bijaksana, ketika melihat dan menghadapi seorang bocah lelaki yang tampak bingung dan kaku. Bukannya menghakimi, dia memahami. Bukannya menampakkan wajah tidak senang, dia melakukan sesuatu yang tepat sekaligus benar.
Wanita dewasa yang saya saksikan itu pastilah seorang mbakyu, yaitu wanita yang tahu cara menghadapi bocah!
Saya sering membayangkan diri saya sebagai cowok yang saya lihat tadi. Dia mungkin tak jauh beda dengan saya—sosok yang sering kebingungan saat berada di tengah orang banyak, yang tidak tahu harus berbuat apa saat ada di acara-acara sosial, bocah introver yang kerap kebingungan saat bersama orang-orang asing. Dan beruntunglah dia, karena kebetulan seorang mbakyu melihat, dan memahami dirinya.
Karena itu, dalam perspektif saya, ada dua jenis wanita di dunia ini. Yang pertama adalah mbakyu, dan yang kedua bukan mbakyu. Sebagaimana di dunia ini juga ada dua jenis lelaki—yang pertama adalah bocah, dan yang kedua bukan bocah. Dalam hal ini, saya menganggap diri sebagai bocah. Karena menganggap diri sebagai bocah, maka saya pun merindukan mbakyu.
Alur pikiran saya sesederhana itu. Saya seorang bocah, dan—sebagai bocah—saya berpikir hanya wanita dewasa bijaksana yang bisa memahami saya. Dan itu, saya sebut, mbakyu.
Jadi, jika mau didefisinikan, mbakyu—dalam perspektif saya—adalah “wanita dewasa yang bijaksana, yang tahu cara memahami dan menghadapi bocah”. Lebih lengkap, wanita semacam itu juga biasanya anggun dan luwes saat berada di acara-acara sosial, tahu beramah-tamah dengan orang lain, memiliki sikap yang menyenangkan namun elegan, serta membuat lelaki damai di sisinya.
Itulah mbakyu. Oh, well, itulah mbakyu!
Dan, sebagai bocah, saya merindukan wanita semacam itu.
Jadi, penyebutan saya terhadap “mbakyu” adalah refleksi kerinduan saya terhadap sosok wanita dewasa yang saya pikir bisa memahami bocah seperti saya seutuhnya. Mungkin memang ada perempuan-perempuan belasan tahun yang memiliki sikap dewasa. Tetapi, sejauh ini, hanya wanita-wanita yang memang berusia dewasalah yang benar-benar memiliki sikap “dewasa” sebagaimana yang saya pikirkan. Karenanya, saya pun lebih cenderung terhadap wanita yang secara usia memang telah dewasa, daripada kepada wanita yang secara usia masih belia.
Saya pikir tidak ada masalah dengan hal itu.
Kalau kau lelaki dewasa—apalagi relatif tua—tapi memiliki kecenderungan terhadap gadis remaja atau bahkan anak-anak, psikologi bisa menyebutmu pedofilia. Itu sebutan untuk suatu penyimpangan. Tetapi, kalau kau lelaki muda namun memiliki kecenderungan terhadap wanita dewasa, atau setidaknya seumuranmu, maka psikologi tidak akan meributkanmu. Kau akan tetap dianggap wajar, normal, dan waras.
Freud mengasosiasikan kecenderungan pria muda terhadap wanita yang secara usia lebih dewasa sebagai “kecenderungan kanak-kanak terhadap sosok ibu”. Tetapi, dalam konteks kasus saya, yang terjadi lebih sederhana dari itu. Saya tidak merindukan sosok ibu. Yang benar, saya merindukan sosok mbakyu! Ketika menyaksikan wanita dewasa yang anggun dan bijaksana, saya tidak mengasosiasikannya dengan sosok ibu, tapi benar-benar mengasosiasikannya dengan sosok mbakyu.
Karena itu pula, saya pikir perlu ada suatu cabang ilmu yang secara khusus membahas mbakyu. Mungkin bisa disebut “mbakyulogi”. Bagi kaum perempuan, mbakyulogi bisa digunakan sebagai sarana untuk belajar menjadi wanita sesungguhnya—sosok yang tidak hanya memuja kecantikan fisik, tapi juga keindahan psikis. Yang memiliki sikap anggun dan bijaksana, sehingga membuat lawan jenis tidak hanya jatuh cinta, tapi juga menaruh hormat.
Sebaliknya, bagi kaum lelaki, mbakyulogi bisa digunakan sebagai sarana mempelajari keindahan wanita—tidak hanya yang bersifat fisik, tetapi juga psikis. Agar lelaki tidak hanya jatuh cinta kepada lawan jenisnya, tetapi juga menyadari keindahan hakiki seorang wanita; kebijaksanaan pikiran, keanggunan sikap, keluwesan sosial—hal-hal yang sering kali tidak dikuasai kaum lelaki. Dengan kesadaran semacam itu, kaum lelaki pun tidak hanya bisa sekadar jatuh cinta, tetapi juga tahu cara menghormati wanita.
Oh, well, sepertinya mbakyulogi telah urgent untuk diterapkan dalam sistem pendidikan nasional. Setidaknya, menurut saya begitu. Karena, hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak tahu soal mbakyu.