Saya ngobrol di rumah seorang bocah. Karena keasyikan, kami pun mengobrol sampai dini hari. Waktu itu saya belum sempat makan malam. Jadi, saat jam di tangan menunjuk angka 01:00, perut saya kelaparan. Di meja di depan saya memang ada lapis legit, bersama teh dalam poci. Tapi saya membutuhkan sesuatu yang lebih mampu membuat perut kenyang. Makan lapis legit tidak membuatmu kenyang, selain rasa eneg.
Dengan lugu, saya berkata pada bocah yang ngobrol dengan saya, “Aku lapar. Kamu punya simpanan mie instan di dapur?”
Di luar dugaan, dia murka mendengar pertanyaan itu. Dengan wajah terluka, dia berkata, “Mie instan! Ya Tuhan! Mungkin aku miskin. Tapi belum sampai tahap menyimpan mie instan! Demi Tuhan, mie instan!”
Saya bengong. Setelah jeda beberapa detik, saya berujar, “Jadi... uhm, kamu tidak suka mie instan?”
“Seperti yang kubilang barusan. Mungkin aku miskin. Tapi aku belum sampai pada tahap menyimpan mie instan di rumah. Demi Tuhan, mie instan!”
Dengan bingung, akhirnya saya berkata, “Aku lapar sekarang. Aku perlu makan.”
“Kalau begitu,” dia berkata, “mari kita keluar, dan mari kita cari makanan yang bermartabat untuk dimakan.”
Kami pun keluar.
Dini hari, warung-warung atau rumah-rumah makan sudah tutup. Tapi bocah yang bersama saya tampaknya tahu di mana menemukan tempat makan yang masih buka. Meski jaraknya cukup jauh, kami akhirnya masuk ke sebuah tempat makan, dan menikmati nasi beserta ayam goreng panas dengan sambal merah yang lezat.
Seusai makan, sambil menatap saya mengisap rokok dengan nikmat, bocah yang bersama saya berkata, “Apakah nasi dan ayam goreng barusan lebih enak daripada mie instan?”
“Tentu saja,” jawab saya sambil merasakan perut yang penuh.
Dia mengangguk-angguk puas, kemudian berfatwa, “Jangan pernah lagi merendahkanku. Lebih penting lagi, jangan pernah merendahkan dirimu sendiri.” Setelah itu, dia mengisap rokoknya, dan berkata seperti menerawang, “Mie instan... demi Tuhan, mie instan...!”
....
....
Sejak itu, saya tidak pernah lagi makan mie instan. Meski begitu, karena keadaan kepepet dan kelaparan, serta sudah kesulitan menemukan tempat makan yang buka, saya kadang terpaksa memasak mie instan di rumah. Tetapi, setiap kali makan mie instan, saya merasa telah melakukan dosa yang teramat besar.