Jumat, 19 Agustus 2016

Dosa Makan Mi Instan

Saya ngobrol di rumah seseorang, membahas sesuatu sampai dini hari. Waktu itu saya belum sempat makan malam. Jadi, saat jam di tangan menunjuk angka 01:00, perut saya kelaparan. Di meja memang ada lapis legit, bersama teh dalam poci. Tapi saya membutuhkan sesuatu yang lebih mampu membuat perut kenyang. Makan lapis legit tidak membuatmu kenyang, selain rasa eneg.

Dengan lugu, saya berkata pada orang yang ngobrol dengan saya, “Aku lapar. Kamu punya simpanan mi instan di dapur?”

Di luar dugaan, dia murka mendengar pertanyaan itu. Dengan wajah terluka, dia berkata, “Mi instan! Ya Tuhan! Jangan pernah menanyakan mi instan kepadaku! Demi Tuhan, mi instan!”

Dengan bingung, akhirnya saya berkata, “Aku lapar sekarang. Aku perlu makan.”

“Kalau begitu,” dia berkata, “mari kita keluar, dan mari kita cari makanan yang bermartabat untuk dimakan.”

Kami pun keluar.

Dini hari, warung-warung atau rumah-rumah makan sudah tutup. Tapi orang yang bersama saya tampaknya tahu di mana menemukan tempat makan yang masih buka. Meski jaraknya cukup jauh, kami akhirnya masuk ke sebuah tempat makan, dan menikmati nasi beserta ayam goreng panas dengan sambal merah yang lezat.

Seusai makan, sambil menatap saya mengisap rokok dengan nikmat, orang yang bersama saya berkata, “Apakah nasi dan ayam goreng barusan lebih enak daripada mi instan?”

“Tentu saja,” jawab saya sambil merasakan perut yang kenyang.

Dia mengangguk-angguk puas, kemudian berfatwa, “Jangan pernah lagi menanyakan mi instan kepadaku.” Setelah itu dia mengisap rokoknya, dan berkata seperti menerawang, “Mi instan... ya Tuhan, mi instan!”

....
....

Sejak itu, saya tidak pernah lagi makan mi instan. Meski begitu, karena keadaan kepepet dan kelaparan, serta sudah kesulitan menemukan tempat makan yang buka, saya kadang terpaksa memasak mi instan di rumah. Tetapi, setiap kali makan mi instan, saya merasa telah melakukan dosa besar.
 
 
;