Selasa, 20 November 2018

Meniti Bianglala

Aku tidak pernah peduli berapa IQ yang mungkin kupunya. 
Aku hanya peduli seberapa keras aku belajar dan bekerja.


Kalau kau bisa menikmati masa kecil—setidaknya masa SD—dengan tawa ceria, kau sungguh orang beruntung. Kalau kau bisa menjalani masa SMP dan SMA dengan kebahagiaan, kau benar-benar patut bersyukur. Dan kalau kau bisa langsung kuliah selepas SMA, lalu mendapat kerja yang layak sebagaimana orang lain umumnya, kau sungguh orang terberkati.

Saya berani mengatakan semua itu, karena tidak mengalaminya.

Saya tidak memiliki yang kaumiliki. Saya tidak memiliki masa kecil yang penuh tawa ceria, saya tidak memiliki kebahagiaan seperti umumnya remaja, dan—sementara kau kuliah selepas SMA—saya justru terdampar dalam kebingungan, keputusasaan, dan menatap hidup begitu gelap, suram, tanpa cahaya.

Sejujurnya, kadang-kadang saya takjub pada diri sendiri, karena mampu bertahan hingga sekarang. Kini, saya menulis catatan ini sebagai retrospeksi, yang bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun, yang mungkin saat ini mengalami hidup seperti yang saya alami.

Bagi yang sudah bertahun-tahun membaca blog ini, tentu tahu kalau saya lahir dari keluarga miskin. Kemiskinan yang saya alami bisa diilustrasikan dengan mudah. Sejak kelas 3 SD, saya harus belajar mencari uang sendiri demi bisa jajan seperti umumnya anak-anak lain. Sepulang sekolah, saya bekerja sampai larut malam, dan hasilnya bisa dipakai untuk jajan di sekolah. Ya, hasilnya memang sekecil itu. Mengenai apa yang saya kerjakan saat itu, silakan baca di sini.

(Jadi, kalau kau merasa miskin tapi masih bisa jajan tanpa harus kerja keras mencari duit sendiri, kemiskinanmu belum seberapa).

Dua tahun kemudian, saat kelas 5 SD, ada teman sepermainan yang mengajak saya kerja di alun-alun. Kerjanya apa? Malakin orang.

Di alun-alun kota saya, ada banyak penjual makanan, dan tentu banyak pula yang datang membeli. Pada masa itu, di sekitar alun-alun belum ada tukang parkir resmi. Jadi, teman saya mengajak untuk menjadi tukang parkir liar di sana. Omong-omong, teman saya tahu “peluang” itu juga karena diajak temannya, yang lebih dulu bekerja di sana.

Sejak itu, saya pun bekerja di alun-alun, “memalak” tiap motor yang parkir di sana. Tiap sore saya berangkat ke alun-alun, dan biasanya baru pulang menjelang tengah malam. Hasilnya tidak banyak, tapi setidaknya saya bisa jajan seperti umumnya anak-anak lain di sekolah. Kelak, pekerjaan di jalanan itu terus saya jalani, sampai akhirnya saya SMA.

Sekitar tujuh tahun di jalanan, saya mengenal banyak hal—jauh lebih banyak yang bisa dikenal teman-teman sekolah saya. Bagaimana tidak? Sementara mereka bisa santai sepulang sekolah, saya harus pergi ke jalanan, dan bertarung dengan takdir. Sementara mereka duduk asoy di depan televisi, saya harus mengumpulkan receh. Sementara mereka mulai kenal acara kencan, saya harus menghadapi kekerasan demi kekerasan. Dan sementara mereka meringkuk damai dalam dekapan tidur, saya masih bercucuran keringat, berselimut debu.

Kalau kau berpikir saya begitu tegar, kau keliru. Di masa-masa itu, saya sering merasa getir, merasakan tikaman nasib yang begitu menyakitkan, tepat di jantung kehidupan saya. Di masa-masa itu pula, bersama keputusasaan dan malam yang gelap, kadang saya duduk di bawah pohon di alun-alun, lalu menangis sendirian. Meratapi nasib, mengutuk takdir, memaki hidup, mengasihani diri sendiri.

Menjelang tengah malam, saat saya melangkah gontai menuju pulang, kadang saya merasa getir karena hanya mendapat sedikit uang. Dalam kondisi semacam itulah, kadang saya berhenti sejenak di trotoar alun-alun, duduk di bawah pohon beringin, lalu berpikir, “Kenapa aku harus dilahirkan, jika hanya untuk menghadapi kegetiran nasib seperti ini?”

Lalu saya membayangkan teman-teman sebaya. Mereka bisa menikmati masa kanak-kanak dengan baik, dengan kemanjaan seperti umumnya anak-anak. Mereka juga tumbuh menjadi remaja yang ceria, seperti umumnya remaja. Mereka tidak mengalami nasib buruk yang saya alami. Jadi, dengan segala kepolosan waktu itu, saya bertanya-tanya, kenapa saya harus dilahirkan, jika tidak bisa seperti mereka?

(Kelak, “perenungan” di masa-masa itu memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemikiran saya di masa dewasa, seperti yang kemudian kalian baca pada banyak catatan saya).

Lulus SMA, saya adalah bocah tanpa senyum, tanpa masa depan. Bahkan sebelum lulus, saya sudah tahu bahwa saya tidak akan bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jadi, ketika akhirnya lulus SMA, saya pun harus menghadapi kenyataan mengerikan—kehidupan sesungguhnya—tanpa arah, tanpa tujuan, bahkan tanpa peta.

Seorang teman mengajak saya kerja di PPNP (tempat pelelangan ikan), sebagai tukang jaga titipan kendaraan. Saya menganggap itu peluang kerja yang bagus, dan saya pun langsung setuju.

Kapal-kapal ikan berlabuh di pantai tengah malam, lalu bongkar muatan di pelabuhan. Usai subuh, pelelangan dimulai, dan orang-orang telah berdatangan di sana. Kendaraan milik orang-orang itu dititipkan di tempat khusus penitipan, dan saya bersama teman bekerja di tempat penitipan itu. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.

Karena kerja di tempat pelelangan ikan, jam kerja kami pun agak “aneh”. Kami harus berangkat habis subuh, lalu biasanya pulang sekitar pukul dua atau tiga siang.

Jadi, bertahun-tahun lalu, setiap hari saya mengayuh sepeda dari rumah menuju pantai, saat pagi masih gelap. Jarak dari rumah ke pantai sangat jauh, setidaknya 1,5 jam perjalanan dengan sepeda. Kalau pas hujan, saya harus mengayuh sepeda sambil menahan gigil. Bahkan tanpa hujan pun sebenarnya sudah sangat dingin. Pagi berangkat kedinginan, siang pulang kepanasan. Hasil kerja di sana juga tidak seberapa, tapi itu satu-satunya pekerjaan yang bisa saya dapatkan.

Suasana kerja di pelabuhan tidak jauh beda dengan suasana kerja di jalanan, sama-sama keras dan penuh tantangan—orang-orang mabuk, keparat-keparat yang sok jagoan, dan semacamnya—dan saya mulai terbiasa menghadapi hal-hal semacam itu. Semula, saya pikir akan kerja di sana selamanya, tapi ternyata tidak. Perlahan-lahan, kapal pengangkut ikan makin sedikit, dan pelelangan semakin sepi. Imbasnya, kendaraan yang dititipkan juga makin sedikit, dan hasil yang saya peroleh makin secuil.

Akhirnya, pelelangan ikan benar-benar sepi, dan saya tidak lagi bekerja di sana.

Beberapa waktu, saya luntang-lantung tanpa pekerjaan, tanpa uang, tanpa arah. Mencoba melamar kerja di berbagai tempat, dan tak pernah mendapat panggilan.

Lalu ada seorang teman yang menawari kerja di pabrik batik. Pekerjaannya menggambar batik di kain sutra. Saya langsung meraih tawaran itu, dan sejak itu pula saya bekerja sebagai tukang gambar batik. Upahnya harian, dan upah sehari kerja hanya bisa dipakai untuk makan satu kali. Tidak usah tanya berapa nominalnya, kalian bisa mengira-ngira sendiri. Lagi pula, saya malu menyebutkannya.

Karena upah harian sangat sedikit, saya—dan teman pekerja lain—harus lembur untuk bisa mendapat tambahan pemasukan. Lembur kerja dimulai pukul 5 sore, dan baru selesai pukul 2 atau 3 dini hari. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya praktis hanya tidur 3 jam setiap hari, dan hal itu terus berlangsung beberapa tahun. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.

Sampai di sini, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting.

Pekerjaan pertama saya, yang dimulai pada waktu kelas 3 SD, lalu menjadi tukang parkir liar di alun-alun, pindah jadi tukang jaga titipan sepeda di tempat pelabuhan, hingga menjadi tukang gambar batik di pabrik, adalah pekerjaan-pekerjaan yang TIDAK SAYA INGINKAN. Saya membenci semua pekerjaan itu, karena—bahkan waktu itu pun saya menyadari—semua pekerjaan itu bukan jenis pekerjaan yang saya inginkan.

Waktu itu, saya sudah tahu passion saya, dan pekerjaan apa yang saya inginkan, yaitu menulis. Saya tidak ingin jadi tukang parkir, saya tidak ingin jadi tukang jaga titipan sepeda, saya tidak ingin jadi tukang gambar batik, saya tidak ingin jadi pegawai negeri, saya tidak ingin jadi penyanyi, saya tidak ingin jadi bintang film, saya tidak ingin jadi dokter atau pilot atau insinyur... saya hanya ingin jadi penulis.

Keinginan yang sederhana. Tetapi bahkan keinginan yang sederhana itu pun tidak bisa saya raih. Saya tidak punya mesin tik—modal utama untuk menjadi penulis—karena tidak mampu membelinya. (Di masa itu, komputer belum digunakan masyarakat umum).

Menyadari kenyataan itu, saya pun membangun tekad. Saya akan bekerja sekeras yang saya bisa, untuk mengumpulkan uang, demi bisa membeli mesin tik. Tekad itulah yang lalu memaksa saya bekerja habis-habisan, tak peduli waktu, demi terwujudnya impian. Dampak positifnya, saya belajar mencintai pekerjaan yang sebenarnya saya benci. Karena menyadari bahwa pekerjaan itu—meski saya membencinya—akan membantu saya meraih cita-cita.

Ketika bekerja menggambar batik, dari pagi sampai pagi lagi, sejujurnya saya benci melakukannya. Tetapi, jika saya tidak bekerja dengan baik, saya bisa dipecat. Karenanya, saya belajar mencintai yang saya lakukan waktu itu, dan bekerja sebaik yang saya bisa. Agar saya bisa terus bekerja di sana, dan perlahan-lahan membangun impian yang saya inginkan.

Pada akhirnya, saya benar-benar mencintai pekerjaan saya waktu itu. Karena menyadari bahwa melalui pekerjaan itulah saya bisa meniti bianglala, dan melukis pelangi di jiwa saya.

Itulah esensi mencintai pekerjaan.

Dalam hidup, ada masa-masa ketika kita harus menjalani pekerjaan yang tidak kita inginkan, yang tidak kita sukai, atau yang bahkan kita benci. Tetapi, bagaimana pun, pekerjaan itu menopang kehidupan kita, bahkan membantu kita mewujudkan impian. Kalau memang ada pekerjaan lain yang benar-benar kita cintai, silakan ambil. Tetapi jika tidak, belajarlah untuk mencintai pekerjaan yang kita lakukan.

Setiap kita memiliki passion, panggilan hati, impian, cita-cita, atau sebut lainnya. Setiap kita juga ingin menjalani pekerjaan yang sesuai passion. Tetapi tidak setiap kita bisa langsung meraihnya. Ada kalanya kita harus berjuang terlebih dulu sampai berdarah-darah, ada kalanya kita harus menjalani sesuatu yang dibenci sampai bertahun-tahun, ada kalanya pula kita harus ditikam frustrasi demi frustrasi.

Dan kita hanya memiliki dua pilihan; untuk terus berjuang... atau menyerah. Karena bianglala terukir setelah badai reda, dan pelangi terlukis seusai hujan turun.

 
;