Rabu, 01 Februari 2017

Dosa Paling Mengerikan (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Jika Tajudin menculik anak-anak dari keluarga mereka untuk kemudian dipaksa bekerja, sementara orangtua anak-anak itu tidak mengetahui, dan anak-anak itu juga merasa dipaksa atau menghadapi kekerasan, kita bisa dengan yakin mengatakan Tajudin bersalah. Dia telah melakukan kejahatan, kekerasan, eksploitasi anak, penculikan, sebut apa pun.

Tapi yang terjadi tidak seperti itu, kan? Tajudin menerima anak-anak itu karena diminta orangtua anak-anak tersebut. Dan anak-anak tersebut juga bekerja atas dasar kerelaan, tanpa paksaan, dan tanpa kekerasan. Lebih dari itu, orangtua DD dan CN meminta Tajudin mengajak anak-anaknya bekerja, karena dua bocah itu putus sekolah. Karenanya, jika kita harus mengacungkan jari pada pihak yang salah, maka semua pihak bersalah. Termasuk pemerintah!

Para pakar bisa saja mengatakan, “Seharusnya anak-anak itu bersekolah, bukan bekerja!”

Oh, well, seharusnya! Betapa indah kata itu.

Orang yang tidak pernah menjalani kemiskinan dan kehidupan yang berat mungkin enteng mengatakan “seharusnya”—dari seharusnya bersekolah, seharusnya menjalani masa kanak-kanak, seharusnya gembira, seharusnya tertawa riang, dan sejuta tetek bengek seharusnya yang lain. Yang menjadi masalah, betapa sulit mewujudkan “seharusnya” yang kalian katakan, khususnya bagi orang-orang miskin yang menjalani hidup amat susah!

Terkait kasus Tajudin yang malang, sekarang saya ingin bercerita, dan saya harap kalian—para pakar hukum eksploitasi anak—benar-benar memperhatikan yang saya ceritakan.

Saya mulai bekerja mencari uang, sejak kelas 3 SD. Saya ulangi, sejak kelas tiga Sekolah Dasar! Ibu saya masih hidup saat ini. Dan jika kalian tidak percaya yang saya katakan, silakan temui ibu saya untuk mengonfirmasi kebenaran yang saya katakan di sini. Bukan hanya ibu saya. Bahkan tetangga-tetangga saya akan menjadi saksi atas kebenaran cerita ini.

Tetangga saya—yang juga famili keluarga saya—bekerja sebagai penjahit kodian. Dia punya majikan yang berbisnis pakaian, dan famili saya bekerja menjahit pakaian-pakaian milik majikannya. Dia menjahit di rumah. Pakaian-pakaian yang ia jahit dilengkapi bordir di bagian tepi, dan sisa kain di bawah bordir itu harus dirapikan dengan cara digunting secara manual.

Karena banyaknya pakaian yang harus dikerjakan, famili saya sering kewalahan dan kehabisan waktu. Maka, dia menawari siapa pun untuk membantu pekerjaannya. Ibu-ibu dan para wanita di sekitar rumah kami menerima tawaran pekerjaan itu. Ada yang membantu menjahit, ada pula yang membantu menggunting kain di bawah bordir, dan lain-lain. Kami semua senang. Famili saya terbantu pekerjaannya, sementara para tetangga—wanita dan ibu-ibu—mendapat uang dari pekerjaan tersebut.

Karena pekerjaan menggunting kain di bawah bordiran termasuk pekerjaan gampang, pekerjaan itu pun dikerjakan anak-anak tetangga, termasuk saya. Sejak itu, saya bekerja sebagai tukang gunting kain di bawah bordiran pakaian. Itulah karir pertama saya di dunia. Dan pekerjaan itu mulai saya terima, ketika saya awal kelas tiga Sekolah Dasar. Sejak itu pula, setiap hari saya bekerja sepulang sekolah, kadang sampai larut malam. Dari pekerjaan itu, saya bisa punya uang saku, meski tidak seberapa.

Apakah saya merasa terpaksa melakukannya? Jelas!

Sebagai anak-anak, seharusnya—oh, well, seharusnya—saya asyik bermain-main gembira, tertawa-tawa bersama teman sebaya, atau duduk manis di depan televisi sambil mengunyah popcorn, dan bukannya memeras keringat untuk mencari uang! Karena mencari nafkah bukan tugas saya, yang masih anak-anak! Dalam hal ini, saya sepakat dengan kalian, hei para pakar eksploitasi anak.

Tapi saya bisa apa...?

Orangtua saya miskin, dan kami menjalani kehidupan yang amat berat! Sebegitu miskin, hingga saya sering prihatin karena tidak punya uang saku, tidak bisa jajan seperti anak-anak lain, dan persetan, saya menjalani kehidupan yang sangat berat, padahal waktu itu saya masih anak-anak. Jadi, ketika ada tawaran kerja yang menghasilkan uang—dalam hal ini menggunting ujung kain di bawah bordiran—saya pun dengan senang hati menerima. Karena dengan cara itu saya bisa dapat uang, bisa jajan seperti anak-anak lain.

Apakah dengan memberi pekerjaan semacam itu berarti famili saya telah mengeksploitasi saya, yang waktu itu masih anak-anak? Terus terang, saya justru bersyukur dan berterima kasih pada famili saya tersebut, karena melalui dirinya saya bisa menghasilkan uang, melalui bantuannya saya bisa jajan, melalui pekerjaan yang diberikannya saya bisa seceria anak-anak lain.

Famili saya—yang memberi pekerjaan tersebut—tidak jauh beda dengan Tajudin di Bandung yang membantu dua keponakannya untuk bekerja mencari uang.

Karenanya, seperti yang disebut di atas, jika kita harus mengacungkan jari untuk menunjuk pihak yang salah, maka semua pihak bersalah!

Tajudin mungkin bersalah, karena—meminjam istilah kalian—dia telah mengeksploitasi anak-anak. Tapi jangan lupa, orangtua anak-anak itu juga bersalah, karena anak-anaknya tidak mampu sekolah, hingga terpaksa bekerja mencari uang, padahal masih anak-anak. Memberi nafkah untuk anak adalah tugas dan tanggung jawab orangtua. Jika orangtua tidak mampu memberikan itu, artinya mereka tidak bertanggung jawab!

Kemudian, pemerintah juga bersalah, karena konon katanya orang miskin dan anak-anak telantar dipelihara pemerintah. Jadi, di mana tanggung jawab pemerintah terhadap mereka? Demi Tuhan, saya ingin sekali mendengar jawaban atas pertanyaan itu.

Di manakah pemerintah, ketika dulu saya harus bekerja keras mencari uang, padahal saya masih anak-anak? Saya masih kelas tiga SD ketika dipaksa nasib harus bekerja mencari uang sendiri. Dua tahun setelah itu, ketika kelas lima SD, saya bahkan menjalani pekerjaan yang lebih berat, bahkan lebih berbahaya, di jalanan. Saya masih kecil, waktu itu—kelas lima Sekolah Dasar—dan harus berjuang menyabung nyawa di tengah kekerasan jalanan, demi bisa mendapat uang.

Di manakah pemerintah waktu itu? Dan di manakah kalian, yang sekarang asyik berceloteh tentang hak-hak anak, tentang eksploitasi anak, dan tetek bengek lain? Di mana? Akhirnya, ketika saya harus mati-matian bekerja mencari uang di jalanan, padahal waktu itu saya masih anak-anak, siapakah sebenarnya yang telah mengeksploitasi saya?

Jika kita mau berpikir secara luas dan mendalam, pihak yang paling bersalah dalam hal ini adalah masyarakat. Khususnya masyarakat yang hobi nyinyir bertanya “kapan kawin?” dan “kapan punya anak?” Jika kita harus mengacungkan jari untuk menunjuk pihak yang bersalah, merekalah tertuduh yang paling bersalah!

Ada banyak orang yang terpaksa menunda menikah, karena menyadari kondisinya yang belum mampu. Tapi masyarakat tidak peduli, dan terus nyinyir bertanya, “Kapan kawin?” Karena tidak enak hati terus menerus menghadapi tekanan masyarakat, orang-orang itu pun terpaksa menikah, dengan harapan tidak lagi dinyinyiri.

Tapi masyarakat hobi nyinyir. Setelah orang-orang itu menikah, mereka bertanya lagi, “Kapan punya anak?” Lagi-lagi, dengan terpaksa akibat tekanan masyarakat, orang-orang itu pun melahirkan anak. Setelah punya satu anak, masyarakat nyinyir lagi, “Kapan nambah anak?” Dan itulah awal mula lahirnya anak-anak telantar, akibat keluarga dililit kemiskinan dan kemelaratan.

Tajudin di Bandung hanyalah contoh kasus. Di luar Tajudin, ada banyak hal serupa yang melilit dan membelit orang-orang lain, anak-anak lain, keluarga-keluarga lain. Mereka yang menikah tanpa persiapan, mereka yang memiliki anak-anak tanpa kematangan berpikir.

Karena itu pula, di dunia nyata maupun di dunia maya, saya tidak pernah berhenti marah kepada siapa pun yang suka mengompori dan memprovokasi orang-orang lain untuk cepat menikah, cepat punya anak, sambil ngibul mengatakan bahwa menikah pasti bahagia, punya anak pasti lancar rezeki, dan tetek bengek lain. Bagi saya, semua itu kebohongan, dusta, dan penipuan! Orang-orang itulah yang paling bersalah, dalam kasus Tajudin, maupun dalam kasus mana pun yang mirip Tajudin!

Terkait kasus Tajudin, saya berharap dia dibebaskan dari tuduhan kejahatan yang tidak dilakukannya. Dia orang lugu yang hanya berpikir membantu saudaranya, mengajak kerja keponakannya, dengan pekerjaan sederhana. Anak-anak yang bekerja jualan cobek itu pun bekerja tanpa paksaan, tanpa kekerasan, bahkan keikutsertaan mereka dengan Tajudin atas permintaan orangtuanya.

Jika memang Tajudin dinilai telah mengeksploitasi anak, saya pikir menghukum Tajudin bukan langkah bijak. Karena jika hal itu yang dilakukan, maka yang menjadi korban bukan hanya Tajudin, melainkan juga istri dan anak-anaknya.

Jadi, lebih baik bebaskan Tajudin, dan biarkan dia kembali bekerja mencari nafkah seperti biasa. Sementara anak-anak yang dinilai telah dieksploitasi, kembalikan pada orangtuanya. Jika anak-anak itu seharusnya masih sekolah, katakan itu pada orangtua mereka! Jika mereka tidak mampu menyekolahkan, sampaikan hal itu pada pemerintah. Karena konon katanya orang miskin dan anak telantar dipelihara pemerintah.

Akhirnya, hei masyarakat, berhentilah menyuruh-nyuruh dan memprovokasi orang lain cepat menikah, cepat punya anak, dan tetek-bengek lain yang biasa kalian ocehkan. Kalian tidak tahu bahwa ocehan yang mungkin terkesan ringan itu bisa melahirkan dampak yang besar sekaligus mengerikan. Yaitu lahirnya anak-anak telantar akibat orangtuanya menikah tanpa persiapan matang.

Untuk setiap perkawinan yang rusak, untuk setiap keluarga yang berantakan, untuk setiap anak yang telantar, kalian ikut menanggung dosa dan kesalahan. Dan itulah dosa paling mengerikan, yaitu merusak kehidupan orang lain, merusak kehidupan anak-anak, merusak kehidupan manusia.

Karena itu, tutuplah cocot kalian. Demi Tuhan, tutuplah cocot kalian!

 
;