Dunia tidak punya masalah, karenanya tidak perlu diubah. Yang
punya masalah adalah manusia. Merekalah yang seharusnya berubah.
Dua anak lelaki, masing-masing berusia 13 dan 14 tahun, berjualan cobek di pinggir jalan, di komplek Villa Melati Mas dan BSD City, Serpong, Tangerang Selatan. Keberadaan dua anak yang menjual cobek itu menjadi awal petaka bagi Tajudin, lelaki berusia 41 tahun, yang tak menyangka niat baiknya berujung tuduhan kejahatan.
Tajudin adalah warga Kecamatan Padalarang, Bandung Barat, Jabar. Pada 2005, dia datang ke Tangerang, dan berjualan cobek yang diproduksi warga di desanya, Kampung Pojok, Desa Jaya Mekar, Kecamatan Padalarang. Sejak tiga tahun yang lalu, Tajudin mengontrak rumah petak yang ia huni bersama kerabat satu kampung, yang juga jualan cobek. Setiap pagi, Tajudin mengantar cobek ke pasar, atau menjual secara eceran dengan berkeliling dari rumah ke rumah.
Selama waktu-waktu itu, Tajudin tidak mengalami masalah apa pun. Dia lelaki yang bekerja mencari nafkah dengan cara halal, berusaha menghidupi anak dan istrinya yang ada di Bandung. Setiap 15 hari sekali, Tajudin pulang ke Bandung bersama kerabatnya yang mengontrak di Tangerang. Biasanya, Tajudin membawa uang untuk istri dan anaknya sekitar Rp500.000 hingga Rp700.000 jika dagangannya laris. Setelah itu, ia kembali ke Tangerang sambil membawa cobek untuk dijual.
Sampai kemudian, pada 2015, ada dua anak lelaki dari desanya (tetangga Tajudin), yang ingin ikut ke Tangerang. Dua anak lelaki itu DD (13 tahun) dan CN (14 tahun), dan merupakan keponakan Tajudin. Dua bocah itu putus sekolah. Orangtua mereka menitipkan keduanya kepada Tajudin, untuk belajar mencari uang dan agar tidak menganggur. Dengan itikad baik, Tajudin menerima permintaan itu, dan DD bersama CN ikut bersamanya ke Tangerang.
Di Tangerang, DD dan CN ikut tinggal di rumah kontrakan yang ditinggali Tajudin dan kerabatnya. Mereka hidup bersama di rumah petak itu, saling berbagi satu sama lain. Kepada harian KOMPAS, Tajudin menceritakan, “Kami patungan untuk membayar sewa kontrakan, tergantung siapa yang punya uang. Uang mereka (DD dan CN) biasanya untuk diberikan kepada orangtuanya, paling mereka hanya mengambil untuk jajan.”
Selama tinggal di Tangerang bersama Tajudin, DD dan CN ikut berjualan cobek, sebagaimana yang dilakukan Tajudin dan kerabatnya selama ini. Sebagai anak-anak putus sekolah, dua bocah lelaki itu telah mematuhi keinginan orangtua mereka, yaitu “belajar mencari uang dan agar tidak menganggur”.
Semula, segalanya berjalan tanpa masalah. Tajudin yang lugu berpikir dia telah membantu saudaranya, dengan memberi kerja anak-anak mereka yang kebetulan putus sekolah. DD dan CN—anak-anak yang bekerja menjual cobek—juga menjalani aktivitas itu tanpa paksaan Tajudin. Keberadaan mereka bersama Tajudin pun atas permintaan orangtua. Tetapi, ternyata, pemerintah Indonesia punya pikiran lain.
Pada 20 April 2016, Tajudin tiba-tiba ditangkap polisi di Jalan Raya Perumahan Graha Raya, Bintaro, pukul 22.00. Ia dituduh telah melakukan perdagangan manusia dan mengeksploitasi anak-anak. Tajudin pun ditahan hingga 9 bulan selama proses hukum, dan kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, dua anak lelaki yang jualan cobek mengatakan kepada Hakim bahwa mereka tidak dipaksa untuk berjualan. Majelis hakim yang dipimpin Syamsudin pun kemudian menjatuhkan vonis bebas kepada Tajudin, pada Kamis, 12 Januari 2017.
Vonis bebas itu dilandasi sisi sosiologis bahwa anak-anak itu harus bekerja untuk membantu orangtua, dan Hakim memandang bahwa hal itu seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Fakta bahwa Tajudin mengajak dua anak itu bekerja tidak bisa disebut sebagai eksploitasi, mengingat hal itu tanpa paksaan, tanpa kekerasan, bahkan dilatari permintaan orangtua anak-anak tersebut.
Meski begitu, kasus yang melilit Tajudin belum bisa dibilang selesai. Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang mengajukan kasasi ke MA, untuk membatalkan keputusan Hakim yang telah membebaskan Tajudin.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang, Pradana Probo Setyarjo, menyayangkan putusan Hakim PN Tangerang yang membebaskan Tajudin. Dia menilai, pengadilan seharusnya bersama-sama menyelamatkan anak-anak demi masa depan mereka. Menurutnya, hal seperti ini tidak bisa dibiarkan. Dia tetap berkeyakinan Tajudin bersalah.
“Seharusnya anak-anak yang masih usia sekolah menjadi tanggung jawab kita-kita semua agar anak-anak bisa sekolah, bukan menyuruh anak-anak bekerja,” ujar Pradana Probo Setyarjo. “Sangat biadab tindakan tersebut, memanfaatkan anak-anak untuk kepentingan ekonomi. Bisa Anda bayangkan kalau anak tersebut adalah anak Anda.”
Sementara itu, Ninik Rahayu, pakar hukum di Bidang Perdagangan Orang, yang juga hadir dalam pengadilan Tajudin di PN Tangerang, mengatakan bahwa Tajudin telah mengeksploitasi anak-anak (DD dan CN). “Ini kan kejam sekali,” ujar Ninik. “Keduanya (DD dan CN) masih di kategori usia sekolah.”
Hal senada juga dikatakan oleh Herlina Mustika Sari, Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Tangerang Selatan. Ia mengatakan, “Anak-anak di bawah 18 tahun belum cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Karena itu, meski mereka memilih untuk tidak melanjutkan sekolah, orang dewasa sudah seharusnya mengarahkan mereka untuk tetap bersekolah. Kedua anak masih usia wajib belajar, dan seharusnya duduk di bangku SMP.”
Jadi, setelah menjadi tahanan 9 bulan selama menjalani proses hukum, dan kemudian diputus bebas oleh pengadilan, Tajudin masih harus menghadapi kemungkinan akan kembali dihadapkan ke pengadilan untuk kasus yang sama.
Terus terang, saya bingung campur miris membaca berita tersebut. Jika mengikuti kronologi dan memahami fakta-fakta yang terjadi, yang kita hadapi terkait kasus ini sebenarnya bukan sekadar Tajudin dan tuduhan eksploitasi anak, tapi juga lingkaran setan yang mengerikan, kenaifan dalam memahami realitas, serta rusaknya kehidupan manusia.
Mari kita mulai dari awal lagi, dan lihat apa yang sebenarnya terjadi di sini.
Tajudin adalah seorang lelaki, seorang suami, yang bekerja dengan cara berjualan cobek. Ia membawa cobek yang diproduksi tetangganya di Bandung, dan menjualnya di daerah Tangerang. Hasilnya tidak banyak. Namun setidaknya, dari usaha itu, ia bisa menafkahi istri dan anaknya di Bandung. Setengah bulan sekali, Tajudin pulang menemui istri dan anaknya, menyerahkan uang yang mungkin tak seberapa, lalu kembali ke Tangerang dengan membawa cobek-cobek untuk dijual kembali.
Lalu saudaranya menitipkan dua anaknya (DD dan CN) agar ikut bekerja bersama Tajudin. DD dan CN adalah dua keponakan Tajudin yang putus sekolah. Orangtuanya sendiri yang menitipkan dua bocah itu kepada Tajudin, dengan alasan “agar bisa belajar mencari uang, dan biar tidak menganggur”.
Menghadapi permintaan seperti itu dari saudaranya sendiri, kira-kira apa yang harus dilakukan Tajudin? Sebagai lelaki lugu yang mencari nafkah dengan cara sederhana, Tajudin tentu tidak sempat memikirkan “eksploitasi anak” dan semacamnya. Yang ada dalam pikirannya, tentu, apa salahnya menolong saudara sendiri dengan mengajak kerja dua anaknya?
Maka, Tajudin pun mengajak dua keponakannya ke Tangerang. Karena nyatanya Tajudin di Tangerang berjualan cobek, maka dua keponakannya pun ikut bekerja jualan cobek. Tajudin berpikir telah menolong dua keponakannya. DD dan CN berpikir telah bisa membantu orangtua dengan mulai bekerja. Sementara orangtua DD dan CN mungkin senang, karena anaknya yang putus sekolah kini mulai bisa menghasilkan uang.
Jadi, jika pemerintah—dan orang-orang yang disebut “pakar”—menganggap Tajudin bersalah, saya ingin sekali tahu... di mana letak salahnya?
Lanjut ke sini: Dosa Paling Mengerikan (2)