Mendikbud yang baru ini... sebenarnya bagaimana sih cara dia berpikir?
Ide sekolah seharian... dan sekarang hukuman fisik dianggap bagus.
—@noffret
Ide sekolah seharian... dan sekarang hukuman fisik dianggap bagus.
—@noffret
Ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) sepertinya terus memakan korban dari tahun ke tahun. Meski setiap tahun kasus kekerasan—hingga menyebabkan kematian—terkait ospek dikutuk banyak orang, tapi tampaknya ospek terus memakan korban. Tahun kemarin, ada yang mati. Tahun kemarinnya lagi, juga ada yang mati. Sekarang, tahun ini, lagi-lagi ada yang mati.
Karena dulu pernah menjalani ospek saat menjadi mahasiswa baru, saya juga tahu seperti apa “romansa” yang terjadi selama ospek berlangsung. Tetapi, di masa lalu—setidaknya saat saya menjadi mahasiswa baru—tingkat kekerasan yang terjadi selama ospek tidak sampai memakan korban. Itu artinya, tingkat kekerasan dalam ospek sepertinya mengalami eskalasi. Buktinya sampai ada yang mati, atau mengalami luka-luka.
Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi pada ospek yang sampai mengakibatkan kematian, sebagaimana yang akhir-akhir ini diberitakan di berbagai media. Karenanya, saya lebih suka menceritakan pengalaman ospek yang saya alami sendiri, saat dulu menjadi mahasiswa baru. Pengalaman ini, siapa tahu, bisa menjadi semacam “studi banding”, khususnya dalam urusan ospek mengospek.
Ketika pertama kali masuk kampus, saya menjalani hari-hari-sialan yang disebut ospek, sebagaimana yang juga dialami mahasiswa baru yang lain. Dan selama waktu-waktu itu pula, kami—para mahasiswa baru—benar-benar menjadi “barang mainan” para senior di kampus. Namanya juga mahasiswa baru, kami tidak bisa apa-apa, selain menuruti apa kata mereka, selain juga waktu itu kami belum tahu apa-apa.
Kalau tidak salah ingat, ospek yang saya jalani sekitar seminggu. Selama hari-hari itu, para mahasiswa baru harus berangkat sejak subuh. Pukul 05.30 pagi sudah harus sampai di kampus. Kalau terlambat, dihukum. Hukumannya bisa lari-lari, push up, squat jump, sebut apa pun. Dan itu berlangsung seminggu berturut-turut.
Itu saja belum cukup. Para senior keparat itu sepertinya tahu cara menyiksa bocah-bocah yang baru lulus SMA. Selain diwajibkan berangkat pagi-pagi buta, kami—para mahasiswa baru—juga diwajibkan membawa barang-barang yang anehnya luar biasa. Misalnya, hari pertama harus membawa telur asin yang ada stempelnya. Kalau tidak ada stempelnya, dihukum.
Hari kedua, kami diminta membawa buku tulis kosong yang berisi 34 halaman. Katanya buku-buku tulis itu akan disumbangkan. Yang jadi masalah, rata-rata buku tulis berisi 32 atau 40 halaman! Itu kan asu! Wong mau menyumbang buku tulis saja kok harus ditentukan halamannya. Tapi kalau permintaan aneh itu tidak dituruti, kami dihukum.
Dalam hal ini, saya tahu cara menyiasatinya. Saya beli buku tulis berisi 40 halaman, lalu melepaskan 6 halaman dari dalamnya, hingga jumlah halaman tinggal 34. Saya selamat dari hukuman, tapi ratusan mahasiswa baru lain (yang mungkin terlalu culun) harus menghadapi hukuman.
Hari ketiga, kami diminta membawa pot. Saya ulangi, pot!
Mungkin terkesan remeh, wong paling diminta membawa pot. Yang jadi masalah adalah... waktu. Bayangkan, kami harus berangkat ke kampus pada pagi buta, dan seharian terus di kampus, lalu pulang sekitar maghrib. Artinya, kami baru bisa bebas dari kegiatan terkutuk itu setelah malam hari. Nah, setelah malam hari, di mana ada toko pot yang masih buka?
Toko-toko atau penjual pot—setidaknya di daerah saya—hanya buka siang hari. Begitu sore, toko-toko itu tutup. Karena, well, memangnya siapa yang akan beli pot malam-malam?
Tapi senior-senior keparat di kampus kami tidak peduli. “Pokoknya besok kalian harus bawa pot!” teriak mereka. Kalau tidak bisa? Ya dihukum. Atau dipermalukan di depan para mahasiswa baru yang lain.
Lalu hari keempat, kami diminta membawa air kemasan dalam botol yang berukuran 1,23 liter. Satu koma dua tiga liter!
Mungkin mudah mencari air kemasan, meski sudah larut malam, karena banyak yang jual. Tapi yang kemasan 1,23 liter? Yang benar saja! Bahkan sampai ke Antartika pun belum tentu ada.
Dan makin hari, permintaan senior-senior kurang kerjaan itu makin berat dan makin tak masuk akal. Sebegitu tak masuk akal, hingga saya pikir seharusnya mereka meminta kepada jin Aladdin, bukan kepada para mahasiswa baru.
Tapi begitulah budaya ospek. Di kampus saya maupun di kampus-kampus lain, mahasiswa baru selalu menjadi bulan-bulanan para senior yang menjadi panitia ospek, dan tampaknya mereka berhak berbuat apa saja. Dari meminta hal-hal yang tak masuk akal, memberi hukuman, sampai menyuruh kami berpenampilan absurd. Misal harus mencukur rambut sampai sangat pendek, memasang karton yang digantungkan di leher, dan lain-lain. Lalu, selama seharian, kami harus mendengar bentakan, teriakan, bentakan, teriakan, dan begitu terus sampai maghrib.
Meski begitu, ada hal “positif” yang perlu saya kemukakan di sini. Dalam peraturan di kampus kami, panitia ospek memang diberi hak untuk “mengisi acara ospek”—termasuk meminta hal-hal yang tak masuk akal sampai memberi hukuman—tetapi mereka dilarang melakukan kekerasan fisik, semisal memukul dan semacamnya. Intinya, panitia ospek dilarang “menyentuh” (secara fisik) peserta ospek.
Jadi, mereka hanya bisa berteriak, membentak, memberi hukuman lari-lari dan semacamnya, tapi mereka tidak memukul, menendang, atau semacamnya. Pendeknya, mereka benar-benar menjaga agar tidak sampai menyentuh kami (para mahasiswa baru). Dan, dalam hal ini, saya memuji para senior saya, karena mereka benar-benar mematuhi peraturan itu. Sedikit pun mereka tidak sampai menyentuh para yunior untuk melakukan kekerasan fisik.
Saya tahu peraturan tersebut, tapi kebanyakan mahasiswa baru tidak tahu. Rata-rata mereka berpikir para senior bisa saja memukul atau menendang mereka, atau benar-benar melakukan kekerasan fisik lainnya. Karenanya, mereka benar-benar ketakutan selama menjalani ospek.
Sementara bagi yang tahu—bahwa para senior tidak bisa menyentuh kami—relatif lebih santai dalam menjalani masa-masa ospek. Karena, segalak apa pun, kenyataannya mereka tidak bisa menyentuh kami. Bahkan umpama kami tidak mau menuruti perintah mereka pun, mereka tidak bisa apa-apa. Wong hak mereka sebatas membentak dan berteriak. Kalau misal mereka menyuruh saya lari-lari, dan saya tidak mau, mereka tidak bisa apa-apa. Paling-paling mereka akan berteriak lebih kencang, membentak lebih keras, tapi hanya sebatas itu.
Aturan semacam itu bahkan terus dijaga hingga tahun-tahun berikutnya. Dua tahun setelah menjadi mahasiswa, saya aktif di BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan menjadi salah satu panitia ospek. Sebagai senior, kami juga tidak pernah menyentuh mahasiswa baru, apalagi sampai melakukan tindak kekerasan secara langsung. Kami hanya bisa berteriak, membentak, memberi hukuman, dan meminta mereka membawa barang-barang aneh yang hanya tersedia di planet Mars. Selebihnya, kami tidak punya hak untuk melakukan kekerasan.
Nah, bagian inilah yang mungkin telah mengalami perubahan, khususnya di kampus-kampus lain. Jika dulu para panitia ospek benar-benar mematuhi aturan dan kode etik yang diberlakukan (tidak boleh melakukan kekerasan fisik secara langsung), sekarang aturan itu telah dihapus, atau kode etik itu telah dilanggar. Sekarang, para senior (panitia ospek) bisa melakukan kekerasan fisik secara langsung pada para mahasiswa baru, hingga ada yang terluka bahkan tewas.
Kenyataan itu tentu saja sangat memprihatinkan. Karena, kalau dipikir-pikir, apa manfaatnya—khususnya dalam pendidikan?
Wong meminta para yunior membawa barang-barang aneh saja sebenarnya sudah tidak masuk akal, dan minim manfaat, terlepas apa pun dalih dan apologi para senior (panitia ospek). Apalagi ditambah kekerasan. Apa manfaatnya?
Oh, mungkin—bagi para senior—hal itu bermanfaat. Karena kekerasan yang mereka lakukan bisa menjadi cara untuk menunjukkan kekuasaan. Atau bisa pula kekerasan yang terjadi selama ospek menjadi semacam saluran pembalasan dendam, karena mereka dulu juga diperlakukan seperti itu oleh para senior sebelumnya. Tapi jika itu yang menjadi motivasi, saya pikir dunia pendidikan kita sedang menghadapi masalah.
Dan tampaknya memang itulah yang terjadi. Para senior di kampus ingin menunjukkan kekuasaan mereka kepada para mahasiswa baru, dan mereka memanfaatkan masa ospek untuk unjuk superioritas. Seiring dengan itu, mereka juga menjadikan masa ospek sebagai saluran pembalasan dendam kepada para senior mereka yang dulu mungkin telah berlaku keras dan kejam. Karena mereka tidak bisa membalas pada para senior, mereka pun melampiaskan pada para yunior.
Jadi, kalau memang begitu kenyataannya, pendidikan di negeri ini tidak hanya mentransformasikan pengetahuan, tapi juga mewariskan dendam dan kekerasan. Itu pula yang mungkin menjadi penjawab kenapa dari tahun ke tahun ospek makin terdengar menyeramkan, dan selalu jatuh korban akibat tindak kekerasan. Karena ospek tidak sekadar menjadi masa orientasi pengenalan kampus, tapi juga menjadi masa unjuk superioritas, dan penyaluran dendam. Lingkaran dendam yang diwariskan turun temurun, dari tahun ke tahun.
Pertanyaannya, tentu saja, sampai kapan...?