Ada “sia” dalam “manusia”. Saat mereka ramai berteriak, bersahutan,
menciptakan kebisingan, mereka pun sungguh sia-sia. Oh, well, sia-sia.
—@noffret
menciptakan kebisingan, mereka pun sungguh sia-sia. Oh, well, sia-sia.
—@noffret
Jika kita menyetel musik rock—atau pop, atau keroncong, atau dangdut, atau musik apa pun—di rumah kita dengan volume sangat keras dan ingar bingar, tetangga kita bisa ngamuk. Orang-orang bisa mendatangi rumah kita dengan marah, karena terganggu oleh bising suara dari musik yang disetel di rumah kita. Anak-anak mereka yang masih bayi mungkin menangis karena ketakutan, sementara anak-anak yang lain tidak bisa belajar dengan tenang. Tetangga-tetangga kita pun jengkel karena suara bising dari rumah kita mengganggu ketenangan mereka.
Tetapi, kalau kita menyetel rekaman tilawah, atau rekaman orang mengaji, juga dengan suara sangat keras yang sama, tetangga kita mungkin tidak berani apa-apa. Meski mereka terganggu dengan suara rekaman tilawah atau suara mengaji yang sangat keras, tapi mereka bingung—atau setidaknya tidak enak hati—jika melarang kita melakukannya. Kenapa? Karena suara rekaman tilawah atau suara orang mengaji berhubungan dengan agama. Melarang kita menyetel rekaman tilawah akan membuat mereka khawatir kalau-kalau dianggap “melawan agama”.
Diakui atau tidak, kebanyakan masyarakat—khususnya masyarakat muslim—memiliki pola pikir semacam itu.
Ada banyak orang yang merasa terganggu dengan suara bising TOA yang disemburkan dari masjid atau mushala, tapi mereka memilih diam. Karena tidak enak. Karena suara TOA dianggap berhubungan dengan agama.
Padahal, jika kita menyetel musik dengan dikeraskan TOA, dan menciptakan volume suara yang sama, tetangga-tetangga kita akan ngamuk atau marah. Kenapa mereka berani marah? Karena tidak berhubungan dengan agama.
Jadi, di manakah esensi persoalan ini? Bukan pada volume, bukan pada terganggu atau tidak terganggu, melainkan karena keterkaitannya dengan agama. Dan itu, jika dipikir-pikir, sangat ironis. Karena agama seolah berhak melakukan apa saja, termasuk menimbulkan kebisingan dan mengganggu kehidupan orang-orang.
Saya tidak tahu mengapa fenomena kebisingan dari waktu ke waktu sepertinya makin mengkhawatirkan, seolah agama kini identik dengan kebisingan.
Dulu, waktu saya masih kecil, suasana sehabis maghrib sangat syahdu... atau hening. Orang-orang berada di rumah masing-masing, sebagian dari mereka ada yang membaca kitab suci dengan suara sayup-sayup, sementara anak-anak mulai belajar atau menyiapkan buku-buku pelajaran yang besok akan dibawa ke sekolah. Suasana hening itu terus berlanjut sampai isya, sampai larut malam, sampai subuh. Tidak ada suara apa-apa. Tidak ada kebisingan yang terdengar.
Sehabis subuh, suasana juga begitu hening, hingga orang-orang bisa memulai kehidupan dengan tenang, dengan perasaan tenteram. Pada waktu itu—ketika saya kecil dulu—orang-orang juga menjalankan ajaran agama dengan baik. Orang-orang pergi ke masjid, anak-anak rajin mengaji, dan semacamnya. Tapi tidak ada kebisingan.
Tetapi, kini, suasana yang saya hadapi telah jauh berubah. Sehabis maghrib, TOA dari masjid dan mushala menyala, memperdengarkan suara ceramah agama. Dan itu terus berlangsung sampai isya. Seusai isya, kadang TOA masih menyala, dan kembali terdengar suara ceramah agama. Anak-anak yang mau belajar bisa terganggu, sementara orang-orang tua yang ingin membaca kitab suci di rumah kadang tidak bisa khusyuk. Tidak ada lagi keheningan yang dulu saya nikmati ketika masih kecil.
Begitu pula seusai subuh. Semula, saya sangat menyukai suasana usai subuh. Karena begitu hening, dan udaranya juga masih bersih. Dulu, saya biasa menikmati usai subuh dengan membaca buku sambil menghirup kopi atau teh panas. Rasanya menyenangkan, belajar atau berpikir ketika hari masih sangat pagi, suasana begitu hening, sementara udara masih bersih.
Tetapi, kini, suasana hening itu telah hilang, dan—lagi-lagi—digantikan suara TOA dari masjid dan mushala. Kali ini, TOA-TOA itu memperdengarkan suara orang mengaji. Keindahan hening yang dulu saya nikmati kini terenggut oleh kebisingan suara orang mengaji.
Apakah hanya saya yang terganggu dengan suara TOA yang kini sangat rajin menyala? Mungkin orang-orang lain juga sama terganggu. Tapi mereka, sebagaimana saya, merasa tidak enak jika sampai mengatakan itu terang-terangan. Karena, bagaimana pun, TOA-TOA yang bising itu menyuarakan sesuatu yang terkait agama—dari ceramah, rekaman tilawah, sampai orang mengaji.
Orang-orang yang menggunakan TOA untuk ceramah atau mengaji itu mungkin berdalih sedang menjalankan ajaran agama. Tapi mereka mungkin lupa—atau tidak sempat memikirkan—bahwa agama atau ajaran agama tidak identik dengan kebisingan. Jadi, mereka pun terus menciptakan kebisingan, sambil berpikir bahwa begitulah cara agama dijalankan dan disiarkan.
Mungkin, mereka pikir, selama ini orang-orang tampak bisa menerima kebisingan dari TOA. Padahal, orang-orang yang “tampak bisa menerima” itu bukan sungguh-sungguh menerima kebisingan yang terjadi, tetapi semata karena tidak enak hati. Mereka merasa terganggu, tapi memilih diam daripada menimbulkan masalah.
Ketika agama dijalankan dengan kedangkalan, agama pun menciptakan dilema. Orang-orang terganggu suara TOA, tapi terpaksa menerima, karena suara yang mengganggu itu berkaitan dengan agama.
Tetapi... benarkah agama harus dijalankan dengan cara semacam itu?
Agama telah mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, yang salah satunya menghormati hak orang lain. Hak untuk merasa tenang, hak untuk merasa tenteram, hak untuk tidak terganggu. Karenanya, dalam hubungan antarmanusia, agama memiliki fungsi sebagai “batas” sekaligus adab dan etika.
Jika kita mempelajari fiqih, misal, kita tidak boleh melihat isi rumah orang lain yang pintunya kebetulan terbuka. Jika kita lewat di depan suatu rumah, dan pintunya terbuka, kita tidak boleh melihat ke dalamnya. Kenapa? Karena melihat isi rumah orang lain—meski pintu rumahnya terbuka—sama artinya melanggar privasi. Itu melanggar hak manusia lain. Kita baru boleh melihat isi rumah orang lain, jika si pemilik rumah meminta atau mengizinkan.
Itu contoh kecil bagaimana agama mengatur hubungan antarmanusia. Dan kalau melihat isi rumah orang lain saja sudah dianggap melanggar etika, apalagi mengganggu ketenangan mereka?
Selain hubungan antarmanusia, agama juga mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Dan bagaimana bentuk ideal hubungan manusia dengan Tuhan? Dalam hening. Para Nabi beribadah dalam hening. Para wali beribadah dalam hening. Para malaikat beribadah dalam hening. Bahkan Nabi Khidhir, yang hidup ribuan tahun, beribadah dalam hening. Hanya manusia—masyarakat kita—yang beribadah dalam bising.
Padahal, ibadah yang menimbulkan kebisingan hanya menciptakan polusi suara. Kebaikan yang menimbulkan kebisingan hanya memekakkan telinga. Dan kebenaran yang bising hanya membuat orang-orang pusing. Sia-sia. Oh, well, sia-sia.
Ibadah yang bersifat ketuhanan adalah urusan manusia dengan Tuhan. Karenanya, saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang mengaku beribadah kepada Tuhan, tapi sibuk memamerkan dan membanggakan ibadahnya kepada sesama manusia. Sebegitu sibuk mereka berusaha menunjukkan ibadahnya, sampai-sampai TOA begitu dekat dengan urat nadi leher mereka.
Sia-sia. Oh, well, sia-sia.
Terkait kebisingan dan kesia-siaan, saya teringat pada sebuah kota yang berada di luar Hong Kong.
Tepat di luar Hong Kong, ada kota bernama Kowloon Walled City. Lokasinya bertetangga, sehingga kita bisa menyeberang dari Hong Kong ke Kowloon Walled City, atau sebaliknya, mirip batas antara Jakarta dengan Bekasi.
Di masa lalu, semasa pemerintahan Inggris di Cina, Hong Kong masuk wilayah Cina, begitu pula Kowloon Walled City. Ketika Perang Dunia II pecah, dan Jepang menduduki Cina, Kowloon dikuasai oleh Jepang. Pada akhir Perang Dunia II, ketika Jepang kalah perang dan kembali ke negaranya, Kowloon diambil alih oleh penduduk setempat.
Seiring dengan itu, terjadi sengketa antara Inggris dengan Cina. Masing-masing mereka merasa berhak memiliki kota tersebut. Bagi Cina, Kowloon adalah bagian negara mereka. Tapi Inggris memiliki pendapat lain. Bagi mereka, Kowloon adalah bagian dari Hong Kong. Karena Hong Kong waktu itu masuk pemerintahan Inggris, maka artinya Kowloon juga masuk wilayah Inggris. Dan sengketa itu tidak juga selesai, sampai lama.
Seiring dengan itu, Kowloon Walled City terus tumbuh, dan kota itu tumbuh dengan liar, menjadi kota tanpa hukum, karena bisa dibilang tidak ada negara atau pemerintah yang mengatur. Inggris maupun Cina masih sibuk meributkan siapa yang paling berhak atas kota tersebut. Sementara itu, perlahan tapi pasti, Kowloon terus tumbuh dari tahun ke tahun. Tanpa pemerintah, tanpa hukum, tanpa ada yang mengatur.
Seiring pertumbuhan Kowloon Walled City, populasi penduduk di sana pun terus berkembang, bahkan hingga beberapa dekade, dan terus tumbuh pesat. Sebegitu pesat pertumbuhan yang terjadi, sampai gedung-gedung di kota itu dibangun sangat tinggi, dan saling berhimpitan rapat, hingga sinar matahari tidak bisa mencapai tanah. Gedung-gedung pencakar langit di Jakarta tidak ada apa-apanya, dibandingkan gedung-gedung perumahan di Kowloon Walled City.
Karena itu pula, siang maupun malam, lampu-lampu neon terus menyala di sana, memberi penerangan. Jika lampu-lampu neon itu mati, keadaan siang di Kowloon tak jauh beda dengan malam hari. Gelap, karena sinar matahari terhalang gedung-gedung tinggi.
Dari waktu ke waktu, Kowloon semakin berkembang. Namun, karena tidak ada hukum negara yang mengatur, kota itu pun berkembang dengan liar. Kota itu menjadi tempat perjudian, peredaran kokain dan opium, senjata ilegal, serta aneka kejahatan lain.
Di sana juga tumbuh rumah makan-rumah makan yang menyediakan daging anjing, daging kucing, juga pabrik-pabrik rahasia, yang semuanya tidak terganggu apalagi terkontrol oleh pihak berwenang. Bahkan, Kowloon menjadi tempat persembunyian yang aman bagi para penjahat yang sedang menjadi buronan.
Bagaimana semua itu bisa terjadi? Jawabannya jelas, karena tidak ada kontrol pemerintah, tidak ada hukum yang mengatur, tidak ada undang-undang apa pun.
Karena tidak ada kontrol dari pihak otoritas, masyarakat di Kowloon pun mengembangkan sistem nilai sendiri. Dan sistem nilai yang mereka bangun sungguh mengerikan, karena nyaris semuanya terkait kejahatan. Setelah hal itu berlangsung bertahun-tahun, bahkan dekade demi dekade, lama-lama mereka tidak lagi menganggap itu kejahatan. Karena terbiasa. Karena terlalu terbiasa.
Karena itulah, kalau kau membunuh orang, dan pergi ke Kowloon, bisa dibilang kau akan aman, karena orang-orang di sana menganggap pembunuhan sebagai hal biasa. Polisi tidak berani masuk ke sana, karena—bagi polisi—mendatangi tempat itu sama artinya mencari mati.
Jadi, kita bisa membayangkan bagaimana mengerikannya kehidupan di Kowloon. Dari tempat itu, berbagai jenis narkoba diproduksi dan mengalir ke mana-mana, senjata ilegal diperdagangkan secara bebas, barang-barang berbahaya diproduksi dan diperjualbelikan, sementara para pembunuh dan penjahat lainnya setiap hari mengadakan reuni di sana. Tidak ada yang ditakuti, karena di sana tidak ada hukum, tidak ada pemerintah, tidak ada apa pun. Semuanya telah disepakati oleh penduduk setempat, bahwa semua itu—kejahatan, narkoba, dan semacamnya—adalah hal biasa.
Puncaknya terjadi pada 1993. Akibat kejahatan dan kriminalitas yang kian mengerikan, pemerintah Cina dan pemerintah Inggris akhirnya mengambil kesepakatan. Karena populasi dan perkembangan di kota liar itu makin tak terkendali, makin anarkis, dan makin liar, pemerintah Cina dan Inggris mengambil kompromi bersama. Mereka akan menghancurkan kota itu. Mereka sama-sama menyadari, jika Kowloon tidak dihancurkan secepatnya, kota itu akan menjadi negara dalam negara.
Jadi, itulah yang terjadi. Cina dan Inggris bersama-sama meruntuhkan Kowloon seisi-isinya. Beberapa hari sebelum hari H, seluruh penduduk di sana diminta keluar dari kota, dan setelah itu semua bangunan yang ada di sana dirobohkan. Gedung-gedung tinggi yang semula menjulang ke langit dihancurkan hingga rata dengan tanah, rumah-rumah penduduk hancur menjadi tumpukan pasir dan kerikil, dan yang tertinggal kini hanya bekas-bekas peradaban, bukti bahwa manusia pernah ada di sana.
Kota yang semula terang siang malam, dan penuh ingar bingar, kini sunyi. Tidak ada satu pun manusia di sana. Jika kita datang ke Kowloon sekarang, yang akan kita temukan hanya reruntuhan, batu-batu bercampur pasir dan kerikil, serta tebaran seng yang melapuk digerogoti panas dan hujan. Tidak ada satu orang pun yang tinggal, karena tempat itu bahkan telah berubah menjadi padang sunyi mengerikan.
Siang hari, cahaya matahari dapat mencapai tanah di sana—karena tidak lagi terhalang gedung-gedung tinggi yang saling berhimpit—tapi kini tidak ada lagi suara apa pun. Malam hari, kegelapan pekat menyelimuti, dan tidak ada suara apa pun.
....
....
Setiap kali teringat Kowloon Walled City, entah kenapa, saya selalu teringat pada Khidhir dalam Sunyi.
Setiap kali teringat Kowloon Walled City, saya sering membayangkan Khidhir sesekali datang ke sana, menatap reruntuhan tinggalan manusia, menghirup udara sunyi yang tertinggal, dan—mungkin—menggelengkan kepala dengan getir, menyaksikan betapa sia-sianya manusia.