Yang baik bagimu belum tentu baik bagi orang lain. Karenanya, tidak usah
repot-repot memaksakan pilihan hidupmu pada hidup orang-orang lain.
—@noffret
repot-repot memaksakan pilihan hidupmu pada hidup orang-orang lain.
—@noffret
Nama Ira Koesno kembali disebut-sebut banyak orang, setelah menjadi moderator debat pilkada DKI. Sebelumnya, wanita cantik ini bisa dibilang “menghilang” cukup lama, setelah tidak lagi menjadi presenter Liputan 6 di SCTV. Dulu, waktu Ira Koesno masih sering terlihat di televisi, saya masih remaja, dan senang menyaksikannya. Di mata saya, waktu itu, dia seorang mbakyu.
Lalu Ira Koesno “menghilang”, dan tidak lagi terlihat di televisi. Kabar yang saya dengar waktu itu, Ira Koesno sedang melanjutkan pendidikan di luar negeri. Sampai cukup lama saya tidak lagi melihat sosoknya, hingga tempo hari dia muncul sebagai moderator di acara debat pilkada. Dia masih seperti dulu—cantik, anggun, cerdas, dan menawan.
Munculnya Ira Koesno di acara debat itu, seketika kembali memopulerkan nama serta sosoknya. Tiba-tiba, banyak orang menyebut-nyebut nama Ira Koesno, termasuk di media sosial. Semua orang sepakat bahwa Ira Koesno wanita cantik, juga cerdas, dan menawan. Tetapi, rupanya, sebagian orang “tidak sepakat” dengan status Ira Koesno yang sampai sekarang masih lajang (belum menikah).
Sebagian orang—di media sosial—bahkan sampai mem-bully Ira Koesno dengan kalimat-kalimat menghina serta menjijikkan, yang menunjukkan betapa pelakunya bukan hanya sok tahu dan sok pintar, tapi juga kampungan dan ketinggalan zaman. Orang-orang sok tahu itu mencerca Ira Koesno dengan aneka tuduhan, seolah mereka lebih tahu kenapa sampai sekarang Ira Koesno masih melajang. Antara geli dan muak membaca komentar-komentar mereka.
Di antara komentar yang sempat saya baca, ada yang menuduh Ira Koesno “terlalu pemilih”, sehingga sulit menemukan pasangan. Ada pula yang menyindir bahwa yang dibutuhkan seorang wanita seharusnya “keluarga kecil bahagia”, bukan popularitas atau diidolakan banyak orang. Bahkan ada juga yang menganggap Ira Koesno “tidak laku”, karena belum juga menemukan jodoh dan belum menikah.
Sekali lagi, antara geli dan muak ketika membaca komentar-komentar sok tahu yang mem-bully itu. Orang-orang itu bersikap seolah mereka lebih tahu apa yang terbaik bagi Ira Koesno, bahkan mereka bertingkah seolah mereka lebih tahu seperti apa seharusnya kehidupan yang dijalani Ira Koesno. Lucu, sekaligus memuakkan. Orang lain yang menjalani, tapi mereka yang pusing.
Sekarang, jika kita dihadapkan pada pertanyaan, “Mengapa Ira Koesno belum menikah?” kira-kira apa yang ada dalam benakmu? Sebagai wanita, Ira Koesno bisa dibilang sempurna—cantik, cerdas, terkenal, bahkan kaya. Kalau wanita sempurna seperti dirinya masih melajang hingga sekarang, apa yang ada dalam benak kebanyakan orang?
Diakui atau tidak, disadari atau tidak, orang-orang akan terpecah menjadi dua golongan, ketika menghadapi pertanyaan itu.
Golongan pertama akan berpikir, “Mungkin Ira Koesno terlalu pemilih, sehingga sulit menemukan jodoh. Mungkin dia merasa dirinya sempurna, hingga ingin mendapatkan pasangan sempurna. Wanita macam apa yang tidak juga menikah, padahal usianya sudah sangat dewasa? Seharusnya dia sudah punya suami dan anak-anak!” Dan lain-lain semacam itu.
Sementara golongan kedua berpikir, “Mungkin Ira Koesno punya pilihan hidup sendiri, yang berbeda dengan pilihan kebanyakan orang. Kita tidak tahu isi pikirannya, sebagaimana kita tidak tahu kehidupan yang dihadapi dan dijalaninya. Bagaimana pun, orang menginginkan kehidupan yang terbaik, begitu pula Ira Koesno.” Dan lain-lain semacam itu.
Kita lihat?
Golongan pertama adalah golongan sok tahu—orang-orang yang menganggap, bahkan meyakini, semua orang harus sama seperti diri mereka. Karena mereka menikah, maka artinya semua orang juga harus menikah. Karena mereka punya anak, maka artinya semua orang juga harus punya anak. Kalau ada orang yang tidak menikah atau tidak punya anak, maka mereka akan menganggap itu kesalahan.
Golongan pertama adalah golongan sok tahu—orang-orang yang merasa lebih tahu kehidupan seperti apa yang seharusnya dijalani setiap orang, yaitu kehidupan yang sama seperti mereka. Menikah, punya pasangan, melahirkan anak-anak, dan membangun—sesuai istilah mereka—“keluarga kecil bahagia”. Karena mungkin hanya dengan cara itu mereka akan “bahagia selama-lamanya”, seperti kisah Cinderella.
Sementara golongan kedua adalah golongan bijaksana—orang-orang yang menyadari bahwa setiap kita bisa berbeda. Baik dalam pilihan hidup, maupun dalam pikiran terkait cara memandang kehidupan. Setiap orang adalah individu yang unik, dengan latar belakang berbeda, keluarga berbeda, lingkungan berbeda, jalan hidup yang berbeda, dan tentunya perbedaan-perbedaan itu bisa melahirkan perbedaan pikiran dan pilihan.
Golongan kedua adalah golongan bijaksana—orang-orang yang mampu menerima perbedaan dengan orang lain, yang terbuka menerima kenyataan bahwa tidak semua orang harus sama. Golongan kedua bisa jadi pria atau wanita yang telah menikah dan punya anak. Tapi mereka menyadari, tidak setiap orang harus sama seperti mereka, karena masing-masing orang memang memiliki hak untuk berbeda.
Pertanyaannya, sekarang, berapa banyakkah orang-orang di sekeliling kita yang masuk golongan pertama? Mungkin banyak! Oh, well, banyak sekali!
Sebaliknya, berapa banyakkah orang-orang di sekeliling kita yang masuk golongan kedua? Mungkin sedikit! Oh, well, sedikit sekali!
Sudah melihat masalah di sini?
Ada yang timpang—bahkan sangat timpang—dalam sistem masyarakat kita, khususnya terkait jodoh, pasangan, pernikahan, kepemilikan anak, dan semacamnya.
Masyarakat kita menganggap—bahkan meyakini—bahwa “orang normal” adalah yang menikah (khususnya di usia muda), lalu punya anak-anak, dan membangun keluarga. Masyarakat kita memiliki persepsi—bahkan semacam iman suci—bahwa seperti itulah seharusnya manusia menjalani hidup. Dengan kata lain, masyarakat akan menganggapmu salah, kalau kau tidak menikah padahal usiamu sudah dewasa, atau kau tidak juga punya anak padahal sudah lama menikah.
Keyakinan semacam itu bahkan telah diwariskan turun temurun berpuluh atau bahkan beratus tahun, sehingga mau tidak mau masyarakat kita hari ini terdoktrin untuk berpikir seperti itu. Yang tidak mereka sadari, kehidupan hari ini berbeda dengan kehidupan masa lalu, dunia hari ini telah jauh berbeda dengan dunia ratusan tahun lalu.
Keyakinan semacam itu—bahwa orang harus menikah, punya anak, membangun keluarga, dan semacamnya—sudah tidak relevan untuk dipaksakan di zaman sekarang. Karena kehidupan sudah berubah, zaman sudah berubah, dunia sudah berubah, dan (sebagian) manusia sudah berubah. Masyarakat maju di luar sana sudah memikirkan kehidupan di masa depan, masyarakat di sini masiiiiiiiiih saja mengurusi selangkangan orang!
Seperti yang dihadapi Ira Koesno, atau orang-orang lain yang mirip Ira Koesno. Tentu saja Ira Koesno atau siapa pun berhak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, dalam hal ini untuk menikah atau tidak, atau menunda menikah.
Sama saja setiap orang yang menikah juga punya hak untuk punya anak atau tidak. Masing-masing orang memiliki dan menghadapi kehidupan yang berbeda, dan selalu ada kemungkinan lahirnya perbedaan dalam menjalaninya. Kenapa sesuatu yang sangat jelas dan gamblang seperti ini masih sulit dipahami?
Jika saya bertanya pada orang yang menikah, kenapa dia memilih menikah, maka tentu dia akan memberi setumpuk jawaban yang merupakan latar belakang serta motivasinya menikah. Begitu pun, kalau orang bertanya kepada saya, kenapa sampai sekarang tidak/belum menikah, maka saya pun akan bisa memberi setumpuk jawaban yang merupakan latar belakang serta motivasi saya melajang.
Apakah ada yang salah di sini? Tentu saja tidak, karena setiap orang memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri yang dianggap terbaik.
Tujuan hidup setiap manusia sebenarnya sederhana. Hanya ingin menjalani kehidupan yang damai, tenteram, bahagia, dan aman—secara fisik maupun emosional. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, tujuan setiap orang hidup sesederhana itu. Tetapi, itu tujuan. Meski tujuannya sama, cara mencapai tujuan bisa berbeda. Sekali lagi, sesederhana itu masalahnya.
Ada orang yang berkeyakinan bahagia dengan menikah, silakan. Tapi jangan pernah berpikir semua orang harus sama sepertimu, lalu memaksakan keyakinan seperti itu pada semua orang. Sama saja, ada yang berkeyakinan bahwa keluarga baru dibilang lengkap jika telah punya anak atau beberapa anak. Juga silakan. Tapi jangan pernah berpikir semua orang harus berpikir sama sepertimu, lalu memaksakan keyakinan seperti itu pada semua orang.
Hidupmu bukan milik orang lain, begitu pula hidup orang lain bukan milikmu. Kehidupanmu tentu berbeda dengan kehidupan orang lain, begitu pula kehidupan orang lain berbeda dengan kehidupanmu. Sebelum memaksakan pilihan hidupmu kepada orang lain, pikirkan terlebih dulu, “Maukah aku menerima, jika orang lain memaksakan pilihan hidupnya kepadaku?”