“Bagaimana jika kelak kamu mati, sebelum sempat menikah?”
Pertanyaan itu diajukan seorang teman kepada saya, saat kami mengobrol suatu malam. Seperti obrolan antarteman umumnya, kami ngobrol ngalor-ngidul, dari soal-soal penting sampai yang tidak penting, sampai yang tidak penting sekali. Dari urusan perkawinan sampai kematian.
Teman mengobrol saya malam itu akan menikah, tidak lama lagi. Jadi, kami pun sempat mengobrolkan perkawinan. Saat memasuki topik itulah, dia mencetuskan pertanyaan, “Bagaimana kalau kelak kamu mati, sebelum sempat menikah?”
Saya menyahut dengan agak bingung, “Memangnya kenapa?”
Sekarang dia yang tampak bingung. Sambil tampak bingung pula dia mengatakan, “Yeah... maksudku, apa kamu tidak pernah merisaukan itu? Maksudku, mati tanpa istri dan anak-anak...”
Saya menjawab perlahan-lahan, “Mati tanpa istri dan anak-anak, mati setelah punya istri dan anak-anak—kupikir tidak ada bedanya. Setidaknya, bagiku tidak ada bedanya. Wong sama-sama mati.”
Dia menegaskan, “Jadi, kamu sama sekali tidak risau, kalau kelak mati padahal belum menikah?”
“Jangankan kelak,” saya menjawab, “bahkan umpama besok mati, memangnya aku bisa apa?”
....
....
Sebagai manusia, saya juga pernah merisaukan kematian. Bukan hanya merisaukan, dulu saya juga memiliki perasaan takut mati. Ada banyak alasan, dari yang logis sampai yang tidak logis. Tetapi, lama-lama, seiring nalar makin dewasa, saya makin menyadari bahwa kematian tidak perlu ditakuti. Karena, ditakuti seperti apa pun, nyatanya setiap orang tetap akan mati.
Mati adalah satu hal, dan ketakutan terhadap kematian adalah hal lain. Jika saya pikirkan, sebenarnya itulah yang terjadi.
Sebenarnya, setiap orang menyadari bahwa semua manusia—setiap kita—pasti akan mati. Yang belum jelas hanya kapan waktunya. Juga apa yang akan terjadi setelah mati. Hal terakhir itulah, mungkin, yang menjadikan banyak orang takut mati. Karena ada ketidakpastian. Bagaimana pun, ketidakpastian memang kadang—bahkan sering—membuat takut dan risau. Termasuk ketidakpastian setelah mati.
Agama mengajarkan, ada kehidupan lain setelah kematian. Bahwa setiap orang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, bahwa urusan manusia tidak selesai setelah kematian. Ajaran itu pula yang—bisa jadi—membuat sebagian orang takut mati, karena mungkin menyadari belum cukup baik menjalani hidup, sehingga khawatir kalau kelak dimintai pertanggungjawaban.
Dulu saya juga berpikir seperti itu. Saya risau, karena membayangkan, apa jadinya kalau kelak saya dimintai pertanggunjawaban setelah kematian, dan ternyata saya dinilai “tidak bertanggung jawab”? Saya takut, kalau kelak—di alam setelah kematian, atau di akhirat—saya masuk neraka karena dinilai tidak baik selama menjalani kehidupan di dunia.
Setelah menyadari kenyataan itu, saya pun melihat akar masalahnya. Bahwa yang membuat saya risau, khawatir, dan takut, tergantung pada cara saya menjalani hidup.
Dengan kata lain, kalau saya menjalani kehidupan dengan baik, dengan lurus, kenapa harus takut jika kelak ada pertanggungjawaban setelah kematian? Itu tak jauh beda kalau kita berkendara dengan baik, membawa surat-surat lengkap, dan tanpa diduga di tengah jalan ada operasi lalu lintas. Ya tidak masalah, wong kita tidak salah.
Begitu menyadari kenyataan semacam itu, saya lebih santai dalam menatap kematian. Sejak itu pula, saya pun memegang prinsip sederhana dalam menjalani hidup, yaitu berusaha hidup dengan baik. Itu saja.
Jika Tuhan memang ada, tentu Dia menyadari bahwa saya manusia biasa, bahwa saya makhluk yang tidak sempurna, bahwa saya memiliki begitu banyak kekurangan. Dan dengan segala ketidaksempurnaan serta segala kekurangan, saya berusaha menjadi pribadi yang baik, menjalani kehidupan dengan baik—semampu yang saya bisa.
Tentu bohong, dan takabur, kalau saya mengatakan tidak pernah berbuat salah atau dosa. Sebagai manusia yang daif, saya menyadari—sesadar-sadarnya—bahwa saya juga penuh salah dan dosa. Namun, di antara kesalahan dan dosa yang saya lakukan sebagai manusia, saya juga berusaha mengimbangi dengan hal-hal baik yang saya bisa. Karena manusia bukan malaikat, juga bukan iblis. Begitu pun saya.
Jadi, terkait kematian, prinsip hidup saya sederhana. Saya akan menjalani kehidupan sebaik-baiknya, semampu yang saya bisa. Dalam kehidupan sehari-hari, misal, saya berusaha agar tidak menimbulkan masalah apalagi keburukan, bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Bagaimana kalau orang lain mencari masalah dengan saya? Oh, saya kan orang biasa, bukan malaikat. Tentu saja saya akan marah... dan bisa jadi akan membalas! Persetan dengannya!
Intinya, saya akan berusaha untuk tidak mencari masalah dengan siapa pun. Jika saya bisa berbuat baik kepada orang lain, saya akan bersyukur. Namun jika tidak, minimal saya tidak membuat masalah. Itu saja.
Prinsip itu pula yang menjadikan saya lebih menikmati kesunyian dan kesendirian, karena meminimalkan kemungkinan timbulnya masalah dengan orang lain. Sunyi tak pernah melukai, sebagaimana saya tak bisa melukai sunyi.
Itu terkait dengan orang lain. Dengan alam tempat hidup, saya juga memberlakukan prinsip sederhana yang sama. Jika saya bisa memberikan kebaikan bagi lingkungan sekitar, saya akan bersyukur. Namun jika tidak, minimal saya tidak menimbulkan masalah atau kerusakan bagi lingkungan.
Lalu bagaimana dengan Tuhan? Terus terang, itu urusan saya pribadi, karena hubungan antara manusia dengan Tuhan—setidaknya bagi saya—adalah urusan privat. Saya tidak butuh penilaian orang lain terkait hubungan saya dengan Tuhan. Terkait dengan sesama manusia, tugas saya adalah memastikan diri saya tidak menimbulkan masalah bagi sesama. Sementara terkait Tuhan, biarlah itu urusan saya dengan-Nya.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip sederhana itu, hidup saya lebih tenteram, dan ketakutan atau kerisauan terhadap kematian perlahan-lahan berkurang. Kini, saya bahkan tidak lagi takut mati. Karenanya, bisa dibilang, saya siap mati kapan pun, karena tidak ada lagi yang ditakuti. Bahkan umpama besok saya mati, tidak apa-apa. Mungkin saya masih banyak dosa, tapi saya yakin Tuhan Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Sekarang, setiap hari, saya menjalani kehidupan pribadi dengan pikiran seperti ini, “Aku akan mengisi hari ini sebaik-baiknya, sebaik yang aku bisa.”
Sudah, hanya itu. Lalu saya mengisi hari dengan berbagai aktivitas biasa—belajar, bekerja, berikhtiar—dari bangun tidur sampai tidur lagi. Prinsip yang sederhana, dan membuat pikiran serta jiwa saya tenteram.
Jika kelak setelah mati memang ada alam akhirat, dan saya harus mempertanggungjawabkan kehidupan selama di dunia, saya siap mempertanggungjawabkan.
Jika di sana memang ada pengadilan, saya percaya pengadilan akhirat adalah seadil-adilnya pengadilan. Tidak ada hakim yang berat sebelah, tidak ada jaksa yang gelap mata, tidak ada kasus yang diperjualbelikan. Berhadapan dengan pengadilan yang adil semacam itu, saya tidak akan gentar. Bahkan umpama hasil akhirnya saya dinyatakan bersalah.
Sebaliknya, jika kelak setelah mati ternyata akhirat tidak ada, Tuhan tidak ada, surga dan neraka tidak ada, juga tidak apa-apa. Setidaknya, saya telah berusaha menjalani kehidupan sebaik yang saya bisa, dan telah berusaha meninggalkan hal-hal baik untuk generasi setelah saya.
Oh, well, tidak apa-apa.
Jadi, bagi saya, ada akhirat ya tidak masalah, tidak ada akhirat juga tidak masalah. Ada surga dan neraka ya silakan, tidak ada juga tidak apa-apa. Saya hidup bukan untuk mengejar surga atau menghindari neraka. Saya hidup untuk menjadi manusia yang baik... sebaik yang saya bisa. Karena hidup adalah soal pilihan, dan saya telah menetapkan pilihan saya.
Pada akhirnya, saya juga menyadari, bahwa hidup terbaik bukan mengharapkan hal-hal baik di luar kita, melainkan berusaha mengeluarkan hal-hal baik dari dalam diri kita. Toh surga dan neraka—kalau memang ada—bukan hak manusia, melainkan pilihan dan keputusan Pemiliknya.
Sebagai manusia, saya hanya bisa berusaha sebaik yang saya bisa. Selebihnya, saya bisa apa?