Seharusnya saya tidur lebih lama, tapi pagi itu telah terbangun, ketika matahari baru saja terbit. Usai mandi dan melakukan beberapa hal yang perlu dilakukan, saya menuju tempat sarapan. Waktu itu pukul 8.00 pagi, dan saya punya janji dengan seseorang pukul 11.00. Artinya ada tiga jam yang kosong menuju waktu pertemuan.
Usai sarapan, saya mendekati seorang pelayan, dan berkata, “Saya ada janji pukul sebelas, dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk menunggu waktu pertemuan. Anda bisa menyarankan tempat yang bagus untuk saya kunjungi?”
Dia menjawab ramah, “Sekitar dua ratus meter dari sini, ada taman yang asri. Mungkin Anda ingin menikmati pemandangan dan udara segar sambil duduk santai?”
Saya mengangguk. “Perfect!”
Berjalan kaki dengan santai, saya menuju ke taman yang dimaksud. Jalanan tidak terlalu ramai, karena waktu itu hari libur. Saya terus melangkah di trotoar, seiring toko-toko yang mulai buka.
Sesaat kemudian, saya sudah sampai di taman yang dimaksud pelayan tadi. Saya pasti tidak akan tahu di sana ada taman, kalau saja tidak diberi tahu. Tidak ada papan petunjuk apa pun di bagian gerbang, selain hanya dua pilar besar yang tampak digerogoti waktu. Tidak ada portal, tidak ada penjaga, tidak ada apa pun.
Saya melangkah masuk, dan seketika suasana perkotaan seperti lenyap. Sekitar sepuluh langkah memasuki taman, saya disambut pohon-pohon besar di kanan kiri, yang memberikan suasana asri. Semakin dalam saya masuk, saya juga mendapati tempat-tempat duduk yang tampak nyaman. Sepertinya ini taman untuk rekreasi keluarga, pikir saya.
Semakin dalam saya masuk, suasana semakin asri. Pohon-pohon besar di sana-sini memberikan suasana adem. Di tempat parkir, tampak jejeran mobil—mungkin milik orang-orang yang datang—dan beberapa penjaga terlihat duduk-duduk santai sambil merokok. Sementara di bagian lebih dalam tampak orang-orang yang sedang asyik menikmati suasana taman. Suara-suara mereka tidak terlalu terdengar dari tempat saya berada.
Merasakan kaki mulai lelah, saya memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ada di sana—sebuah kursi panjang berwarna putih yang nyaman—tidak jauh dari tempat parkir. Saya duduk dengan nyaman, merasakan adem yang sama nyaman, lalu menyulut rokok.
Selama beberapa menit, saya duduk dengan tenang, menikmati keheningan yang sangat nyaman. Angin berembus perlahan, menyejukkan, menenangkan. Setiap kota seharusnya memiliki taman seperti ini, pikir saya.
Rokok saya tinggal setengah, ketika sebuah Prius hitam memasuki lokasi parkir, dan berhenti. Sebuah keluarga turun dari mobil, dengan suasana yang jelas penuh kegembiraan. Sepertinya mereka sebuah keluarga yang utuh—orang tua, anak-anak, serta para cucu. Ada sepasang pria-wanita lanjut usia, sepasang pria-wanita yang lebih muda, serta dua anak kecil. Mungkin mereka ingin menikmati suasana taman, dan kenyataannya mereka segera menjauh dari mobil untuk memasuki kawasan taman di bagian dalam.
Tapi salah satu dari mereka melihat saya duduk sendirian di kursi, dan terdengar berkata, “Biar saya duduk-duduk di sana saja.” Lalu dia melangkah mendekati tempat saya berada.
Laki-laki itu mungkin berusia 60-an, berambut kelabu, paling tua di antara yang lain, dan dia benar-benar mendekati tempat saya duduk, melangkah dengan perlahan. Dengan senyum ramah yang menyenangkan, dia menyapa, “Sendirian?”
Saya membalas keramahannya, “Seperti yang Anda lihat.”
Dia lalu duduk di kursi samping saya, dan tampak santai. “Keluarga saya sering ke sini,” ujarnya, “dan saya sering kelelahan kalau menemani mereka.”
“Anda sepertinya memiliki keluarga yang menyenangkan.”
“Harta saya yang paling berharga,” sahutnya. “Setelah setua ini, saya tahu, merekalah yang paling penting bagi hidup saya.”
“Anda orang beruntung, kalau begitu.”
Kami pun lalu bercakap-cakap santai, dan saya mendapat kesan dia orang berpendidikan. Dia santun, tapi bisa menjelaskan maksudnya dengan baik, tanpa membosankan lawan bicara. Seiring percakapan, rokok saya makin habis, dan saya membuangnya ke tempat sampah di dekat tempat duduk kami.
“Berapa usiamu, Nak?” dia bertanya.
Saya tersenyum. “Berapa, menurut Anda?”
“Ah... tiga puluh tahun?”
“Sekitar itu.”
Dia tersenyum puas, lalu berkata, “Saya telah menjalani hidup, jauh lebih lama darimu. Usia saya sekarang enam puluh delapan tahun. Kau tahu apa yang saya miliki, yang belum kaumiliki?”
Saya menjawab perlahan, “Kebijaksanaan seorang pria tua?”
“Kau mengatakannya dengan baik.” Dia terkekeh dengan nada menyenangkan. “Saya pernah muda, seusiamu, dan pikiran saya di masa itu penuh hal-hal besar, dari membangun kehidupan pribadi sampai membangun dunia yang saya inginkan. Tetapi, seiring usia yang makin menua, semua keinginan itu sirna. Saat tubuh makin tua dan rapuh, yang saya inginkan hanya tetap sehat, dan menjalani sisa hidup dengan baik.”
“Maafkan saya. Bagaimana rasanya menjadi tua?”
“Mungkin tidak seburuk yang kaubayangkan. Tapi jelas ada banyak hal dari masa muda yang akan hilang saat usiamu menua. Kekuatan fisikmu menghilang—tulang-tulangmu, gigimu, bahkan jari-jarimu—seperti mesin tua yang kelelahan. Karena itulah, seperti yang saya katakan tadi, yang diharapkan orang tua seperti saya hanya tetap sehat, agar dapat menjalani sisa hidup dengan baik.”
“Dan Anda sepertinya mendapatkan yang Anda inginkan. Anda tampak sehat, dan Anda memiliki keluarga yang sempurna.”
Dia mengangguk. “Anak sulung saya, yang tadi mungkin kaulihat, dia seorang dokter. Begitu pula istrinya. Mereka merawat kami—istri dan saya—dengan baik, dan kami benar-benar beruntung hingga bisa menjalani kehidupan tenteram sampai setua sekarang. Karenanya, kadang saya membayangkan, bagaimana dengan orang-orang lain yang mungkin tidak seberuntung kami? Maksud saya, ada orang-orang yang tidak seberuntung keluarga kami—mereka hidup terpisah-pisah, berjauhan, dengan masalah dan kesibukan sendiri-sendiri. Saya kadang mendapati ada laki-laki setua saya yang masih harus bekerja keras. Hidup tampaknya tidak adil, eh?”
Saya mencoba tersenyum. “Hidup tampaknya tidak dibuat untuk adil.”
“Bagaimana denganmu, Nak? Sepertinya kau tidak menikah?”
“Saya belum menikah,” saya menjawab. “Ada banyak hal yang harus saya kerjakan, dan saya pikir pernikahan akan menghambat langkah saya.”
Dia tersenyum menggoda, “Membangun dunia yang lebih baik?”
“Something like that.”
Dia lalu berkata dengan serius, “Saya tidak ingin berceramah yang akan membuatmu bosan. Saya hanya bisa menyarankan, kejarlah apa pun yang ingin kau raih. Bangunlah dunia seperti yang kauinginkan. Saya pernah mengimpikan hal sama, tapi saya gagal. Mungkin kau lebih beruntung dari saya. Kau masih muda, waktumu masih banyak, dan kau punya tenaga untuk mewujudkannya. Kelak, setelah kau setua saya, semua keinginan itu akan lenyap tanpa bekas, dan kau akan lebih sering menyesali hal-hal yang tidak kaulakukan, daripada hal-hal yang kaulakukan.”
Percakapan kami terhenti sejenak, ketika seorang pria mendatangi tempat duduk kami—dia anak lelaki tua yang bercakap-cakap dengan saya.
Pria itu mungkin sedikit lebih tua dari saya. Dia berkata kepada saya dengan nada ramah yang menyenangkan, mirip ayahnya, “Terima kasih telah menemani ayah saya.”
Saya menjawab keramahannya, “Sebenarnya, ayah Anda yang telah menemani saya.”
Dia lalu berkata kepada ayahnya, menawari apakah ingin ikut ke dalam bersama keluarga yang lain, namun si ayah menolak, dan memutuskan untuk tetap bersama saya.
Kemudian dia kembali berkata pada saya, “Sepertinya ayah saya menemukan teman bercakap yang menyenangkan. Saya harap Anda tidak bosan.”
“Sebaliknya,” saya menjawab, “saya sangat menikmati.”
Dia pun berlalu, dan kembali ke tempat keluarganya yang lain.
Saya berkata pada lelaki tua di samping saya, “Benar-benar cermin Anda.”
Dia terkekeh. “Keajaiban penciptaan, eh?” ujarnya. “Dia memang benar-benar mirip saya, dan saya masih sering takjub saat menyadari bagaimana dia tersenyum, berbicara, sampai menggerakkan tangan, dengan gaya persis seperti saya.”
“Bagaimana rasanya memiliki anak seperti itu? Maksud saya, apa yang Anda rasakan menyaksikan sosok yang benar-benar mirip Anda, dengan sikap, kebiasaan, dan keramahan yang sama?”
“Tentu saja saya bangga, dan bersyukur.” Dia terdiam sesaat, lalu melanjutkan, “Orang tua cenderung membanggakan anaknya, dan bisa jadi kau akan bosan. Tapi biar saya katakan. Saya bersyukur telah berusaha menjadi pribadi yang baik, karena ternyata hal itu menurun pada anak yang saya miliki. Saat kau punya anak, kelak, kau akan mendapati anakmu tidak hanya akan mewarisi ciri fisik dan kebiasaanmu, tapi juga sifat, kepribadian, karaktermu. Kau akan melihat kebaikanmu pada sosok anakmu, sebagaimana—mungkin—kau juga akan melihat keburukanmu pada sosok anakmu.”
“Anda membuat saya khawatir punya anak.”
Dia terkekeh. “Tentu saja kau tidak seburuk yang kaubayangkan—kalau itu yang kaumaksud.”
Percakapan kami masih panjang, dan menyenangkan.
Ketika kemudian kami berpisah, saya merasa telah mengenalnya bertahun-tahun, meski saya tetap tidak tahu siapa namanya, sebagaimana dia tidak tahu siapa saya.